Translate

Powered by FeedBurner

Tuesday, April 12, 2011

PERANG ACEH BAG 2

Nieuwenhuyzen minta diberi kuasa untuk memerintahkan pasukan penyerbunya
kembali dan ini diperolehnya pada tanggal 23 April 1873. Dua hari kemudian pasukan
Belanda pun masuk kapal. Kekuatan inti tetap tujuh belas hari berada di darat. Dari tiga
ribu anggota, 4 orang perwira dan 52 orang bawahan tewas, 27 orang perwira dan 41
orang bawahan luka dari pasukan Belanda yang berasal dari Eropa dan hampir 400
orang serdadu lainnya yang mati dan luka, yang berasal dari pasukan pribumi. Jadi,
hampir lima ratus dari tiga ribu serdadu Belanda yang mati dan luka-luka; itulah akibat
kerugian Perang Aceh pertama, yang ulang-alik perjalanannya belum sampai memakan
waktu enam minggu.

Usaha pasukan Belanda untuk menguasai Aceh gagal. Namun, berdasarkan kebiasaan
masih pula dibentuk panitia penyambutannya di Batavia bagi kembalinya pasukan yang
kalah. Ketuanya Tuan Kleijn bekas komandan artileri. Tiada pesta pora; tetapi
penembak meriam ini berseru kepada pasukan, yang kembali pada tanggal ll Mei 1873:
"Anda berhak dihormati, Anda telah berjasa terhadap Nederland dan Raja, Anda telah
mempertinggi kemasyhuran tentara Hindia yang gagah perwira!"

Dari ucapan terima kasih Kolonel Van Daalen ternyata bahwa tidak setiap orang di
Batavia, sependapat dengan sang penembak meriam yang gagah perwira itu. "Anda
menunjukkan bahwa Anda tidak tertolong dalam tumpukan besar arang tolol, yung
menilai suatu ekspedisi militer semata-mata dari hasil yang dicapai, tanpa memperhatikan
keagungan dan kemasyhuran yang tercapai karenanya," kata-katanya pahit.

Dan benarlah, tumpukan orang tolol demikian memang ada; dan ke dalamnya termasuk
orang-orang seperti Gubernur Jenderal sendiri yang harus mendukung dan


mempertanggungjawabkan beban kegagalan itu. Tidak diketahuinya apa yang memang
dipahami orang-orang sejati 'tempo dulu', bahwa suatu ekspedisi militer yang kalah
bukanlah berarti kalah perang, tetapi suatu peristiwa yang biasanya memulai setiap
usaha perang kolonial di nusantara ini.


Tidakkah sudah tiga ekspedisi yang dikirim ke Bali, Sulawesi Selatan, dan ke
Kalimantan pun entah sudah berapa ? Tidakkah baru sesudah dua puluh tahun lamanya
perang Padri Sumatera Barat ditaklukkan dan dua setengah tahun lamanya dilakukan
pengepungan terus menerus dengan empat ribu orang pasukan Belanda (NIL) yang
diperlengkapi dengan meriam-meriam gunung dan artileri penembak kubu pertahanan
di sana, dapat merebut benteng Bonjol di gunung dari kaum Padri ? Nah, pasukan
Belanda akan mengambil balas pula di Aceh.


Tetapi kali ini akan terbukti jauh berbeda dari harapan pasukan Belanda. Operasi militer
Belanda selanjutnya, hanya perlengkapannyalah yang lebih baik dari yang sudah-sudah;
tetapi hasilnya belum bisa menaklukkan Aceh. Kegagalan akan terus menghantui
pasukan Belanda di Aceh sepanjang masa.


Pada tanggal 18 Mei 1873 Raja Willem III mengadakan kunjungan belasungkawa
kepada ayah Jenderal Kohler yang tewas dalam perang Aceh pertama, yang tinggal di
Groningen. Peristiwa itu merupakan semacam peristiwa nasional bagi bangsa Belanda.
Kunjungan itu diabadikan pada sebuah lito yang dibuat oleh J.W. Egenberg, yang
memperlihatkan Raja bersama-sama ajudannya bersikap bagaikan dibuat-buat berdiri
dekat si orang yang membungkuk beserta anak-anak sang jenderal.


Peristiwa kunjungan belasungkawa ini menumbuhkan semangat bagi rakyat Belanda
untuk melakukan balas dendam atas kekalahannya kepada rakyat Aceh. P Haagsman
telah mengarang, satu Lagu Militer untuk Perang Aceh yang lengkap dengan musiknya.
Sajian Haagsman yang penuh penghinaan terhadap rakyat Aceh, telah diperjual-belikan
dan dilagukan di mana-mana, antara lain berisi:


Ke Aceh, keraton sarang segala kejahatan,
Persekongkolan, pembajakan dan khianat berkecamuk;
Tumpas semua selingkuh, hajar si laknat;
Dengan sang Tiga Warna Belanda 'peradaban' tumbuh.


Tanda kutip pada kata peradaban seluruhnya menjadi tanggungjawab penyair; yang
menutupnya dengan:


Ke Aceh keraton itulah semboyan kita kini;
Kita gugur atau hidup, terserah Tuhan;
Tapi Aceh pasti jatuh, atau kami tak kembali lagi,
Menang atau mati, demi kehormatan Belanda.


Tidak ada yang begitu besar pengaruhnya dalam membuat perang Aceh kedua menjadi
kenyataan di negeri Belanda, hingga perang itu adalah perang orang Belanda melawan
Aceh, yaitu dengan diangkatnya Jenderal Van Swieten menjadi panglima tertinggi
penyerbuan kedua. Dulu pun pernah terjadi pasukan-pasukan dikirimkan ke Hindia,
tetapi tidak terjadi seorang jenderal turut serta. Pengangkatan Jenderal Van Swieten
menjadi panglima tertinggi perang Aceh kedua; karena pengalamannya yang banyak
tentang Indonesia. Ia pernah ikut dalam perang Jawa dan Bali, juga dalam penaklukkan
Bone serta pernah menjadi Gubernur di Sumatera Barat.



Pada tanggal 6 Juni 1873, belum sebulan setelah kembali pasukan Belanda dari perang
Aceh pertama, Loudon mengirimkan telegram kepada Fransen van de Putte, yang katakata
pertamanya mangandung arti: "Dengan rahasia sedalam-dalamnya saya ajukan
saran untuk mengirimkan Jenderal van Swieten sebagai komisaris sipil dan panglima
militer ke Aceh. Prestise besar Nieuwenhuyzen tidak mungkin. Dan Verspijk dapat
menjadi pemimpin kedua."

Pemerintah Belanda mengambil alih usul tersebut dan bertindak cepat sekali. Putusan
Raja, yang menugasi kembali Van Swieten dalam dinas aktif, tertanggal 11 Juni 1873.
Dalam satu hal Den Haag menunjukkan kegembiraan lebih daripada yang dapat diterima
Loudon dengan senang hati.

Keberangkatan Van Swieten dari Nederland pada bulan Juli 1873 merupakan
kemenangan Fransen van de Putte mengadakan jamuan malam di Wisma Renang Kota
Scheveningen di mana Pangeran Mahkota Willem, semua menteri dan semua duta
hadir. Pangeran, dan menteri jajahan mengangkat gelas untuk kemenangan penyerbuan
tentara Belanda ke Aceh itu.

Ketika berangkat dari Den Haag beberapa orang menteri dan beberapa pejabat tinggi
lain berada pula di stasiun. Seorang gadis putri Fransen van de Putte mempersembahkan
bunga. Di Rotterdam kereta api khusus dengan jenderal dan stafnya itu, disertai oleh
Komisaris Raja di propinsi Holland Selatan, disambut oleh Walikota Joost van
Vollenhoven dan sebuah korps musik. Ketika naik kapal di Bellevoetsluis ada lagi
upacara kecil-kecilan. Keberangkatan yang luar biasa, yang tidak pernah dialami oleh
pengangkatan seorang Gubernur Jenderal sekalipun.

Suasana perang untuk menaklukkan Aceh secepat mungkin dilaksanakan dengan cara
bagaimanapun telah ditulis oleh Busken Fuet dalam koran Algexeen Dagblad voor
Nederlandsch Indie di Batavia, dimana antara lain berbunyi: "Siapa di nusantara ini
tidak memihak kita, menentang kita, dan siapa menentang kita, kita tumpas. Bukan
Sultan Aceh yang mewakili peradaban, tetapi kita, dan kepada kitalah, bukan dia yang
berhak menguasai lautan ini. Bagi kita kedaulatan senenuhnya atas pulau-pulau di
nusantara ini merupakan soal hidup-mati. Bersamanyalah jatuh atau tegaknya negara
kolonial, dan dari padanyalah kita peroleh nama orang Belanda. Kekuasaan itu
merupakan hak kita."

Penyerbuan pasukan militer Belanda ke Aceh yang pertama gagal, karena
pelaksanaannya terlalu tergesa-gesa, perlengkapan buruk, dan tidak ada rencana
peperangan, dernikian dalih mereka. Hal ini tidak akan terjadi pada Van Swieten. Sudah
sejak di negeri Belanda dia mempertimbangkannya secara panjang lebar dengan
Fransen van de Putte. Pemerintah Belanda menaikkan anggaran belanja Perang Aceh
dan memasukkannya dalam anggaran belanja negeri tersebut. Sebab Belanda menyadari
bahwa prestise nasional, internasional dan kolonial harus dipulihkan dengan tercapainya
suatu kemenangan hebat. Anggaran belanja Hindia Belanda dinaikkan dengan 5,5 Juta
gulden, dimana setengah daripadanya disediakan untuk angkatan laut, yang memang
begitu parah keadaannya. Segala yang dapat berlayar di Hindia dikumpulkan antara
ekspedisi militer pertama ke Aceh dan kedua, asal saja dapat dipasangi sebuah meriam.

Di Negeri Belanda militer diperkenankan merekrut dua ribu orang pasukan militer
untuk Hindia, dengan menaikkan uang persen menjadi empat ratus gulden, dan gaji
untuk tugas dua tahun di Aceh mendapat gratifikasi 1500 gulden. Walaupun begitu,


tenaga-tenaga militer yang direkrut belum mencukupi, karena banyak yang takut
mendengar beratnya Perang di Aceh. Karenanya pemerintah Belanda menaikkan
gratifikasi menjadi 4500 gulden.

Persenjataan mendapat banyak perhatian. Artileri memiliki 72 meriam dan dua
mitralyur. Seluruh kekuatan tentara Belanda untuk menyerbu Aceh yang kedua ini
berjumlah hampir 13.000 ribu orang: 389 perwira, 8.156 bawahan, 1.037 pelayan
perwira, 3.280 narapidana, dan 243 wanita. Mereka harus diangkut ke Aceh dari Batavia
dan beberapa kota garnisun lain di Jawa. Untuk Indonesia jarak ini tidak terlalu jauh,
tetapi bagaimanapun selalu lebih jauh dari dua ribu kilometer. Sembilan belas kapal
pengangkut disewa, pendeknya apa saja yang bisa didapat di Batavia dan Singapura.

Pelayaran dengan maut di kapal --bukan sebagai panjar atas kesulitan-kesulitan yang
diharapkan akan terjadi di Aceh-- tetapi sebagai warisan salah satu wabah kolera
berkala, yang terjadi pada akhir oktober 1873 tepat mencapai Batavia. Ribuan orang
yang masuk kapal itu mudah sekali menjadi mangsa penyakit kolera. Keberangkatan
yang ditetapkan pada tanggal 1 Nopember 1873 diundurkan sepuluh hari tanpa adanya
upacara. Sebelum armada angkutan pasukan Belanda tiba di Aceh, telah meninggal
enam puluh orang di dalam kapal. Begitu kapal mendarat, jumlah korban meningkat
setiap hari. Hujan tanpa henti, bedeng-bedeng becek, dan terasa kekurangan tenaga
dokter

Pada tanggal 9 Desember 1873, satu dari tiga brigade (yang keempat dalam cadangan
dikirim ke Padang) sesudah melancakan gerakan tipu, didaratkan ke pantai rawa.
Pendaratan itu dilakukan terlalu cepat, karena bila tinggal lebih lama di kapal yang
kotor dan menyesakkan napas, bencana kolera akan menimpa. Empat belas hari
lamanya dengan gerakan berhati-hati, barulah pasukan induk ditempatkan di sekitar
kampung Peunayong di tepi Sungai Aceh, letaknya satu setengah kilometer dari
keraton.

Pada akhir Desember 1875 pasukan Belanda yang meninggal sebanyak 150 orang
terserang kolera. Dalam rumah sakit tenda, yang sebentar-sebentar harus dipindahkan ke
tempat yang lebih kering, dirawat lima ratus pasien; 'dirawat' berarti ditempatkan dalam
suatu perkemahan dengan jerami basah tanpa perawatan. Delapan belas orang Perwira
dan dua ratus orang bawahan harus dibawa dalam keadaan sakit ke Padang, karena
rumah sakit darurat yang ada sudah tidak menampungnya. Mereka dibawa dengan
kapal-kapal pengangkut, tanpa lebih dahulu diadakan pembasmian hama kolera, lalu
diangkut lagi pasukan-pasukan pengganti: Jadi, sebelum penyerbuan yang benar-benar
dimulai, pasukan Belanda telah kehilangan 10% dari kekuatannya.

Sebelum mendarat, Van Swieten telah mengirimkan beberapa orang utusan dengan
surat kepada sultan muda usia itu bersama para penasehatnya. Surat-surat yang
mengultimatum untuk menyerah tidak dijawab, bahkan para utusan Belanda dibunuh.
Sesudah pendaratan dilakukan, memang beberapa orang pemuka yang rendah
pangkatnya di pesisir menyatakan takluk. Di antara mereka terdapat pemuka turuntemurun
dari daerah Marasa, Teuku Nek. Di luar Aceh orang akan menamakannya 'raja',
tetapi di situ dia disebut 'hulubalang'.

Tidak seorang pun dalam kubu Belanda yang mengetahui arti Teuku Nek. Daerahnya
berada di delta segitiga Sungai Aceh, salah satu dari masyarakat Mukim yang banyak
jumlahnya. Di Aceh ada pembagian kekuasaan berdasarkan mukim-mukim, yang
masing-masing terdiri dari desa-desa masyarakat muslim. Sesuai dengan jumlah mukim


pada permulaannya, maka mukim tersebut dinamakan mukim IX.. Mukim-mukim
dipersatukan lagi menjadi tiga federasi besar, yaitu ketiga sagi di Aceh, yang juga
disebut menurut jumlah mukim yang dipunyainya.

Sagi Mukim XXV meliputi daerah tepi kiri hilir sungai Aceh, Sagi Mukim XXVI
lembah lebar tepi kanan. Lebih ke hulu, Sagi Mukim XXII pada kedua tepi sungai
membentuk titik segitiga delta yang bersama-sama membentuk ketiga sagi.

Daerah di muara sungai yang sebenarnya --dengan tempat kediaman sultan, dengan
keraton sebagai intinya-- adalah satu-satunya daerah yang langsung atau lebih tepat atas
nama sultan diperintah oleh para pejabat, yang seperti juga para kepala sagi memperoleh
kebebasan yang besar dari Yang Dipertuan. Selain keraton, daerah sultan meliputi
beberapa kampung asing pada sungai, masjid raya --tempat Kohler tewas-- dan
beberapa kampung Aceh Asli.

Semuanya itu, yaitu daerah sultan ditambah beberapa sagi, merupakan sebagian kecil
dari Aceh: tidak lebih dari delta, tanah subur diantara gunung-gunung yang melingkungi
pantai barat Aceh. Bagian terbesar dari Aceh yang jumlah penduduknya setengah juta
jiwa, dan mungkin 250.000 jiwa tinggal di delta, seluruhnya bebas dan diperintah oleh
hulubalang.

Satu-satunya kekuasaan yang dapat dilaksanakan oleh sultan atas seluruh konfederasi
adalah kekuasaan moral, yang pada akhir-akhir ini menjadi sangat lemah, terutama di
daerah-daerah pedalaman seperti Tanah Gayo dan Alas. Kewibawaan sultan pada akhir
tahun 1875, karena ditopang oleh perdana Menterinya yaitu Habib Abdurrahman Al
Zahir, yang mengatasi para hulubalang, karena keahlian diplomatik, kealiman ilmunya
dan luasnya pengetahuan duniawinya. Kepentingan bersama antara sultan dan para
hulubalang adalah sama yaitu mengusir pasukan penjajah Belanda dari Aceh.

Mengenai ini semua, Van Swieten, ketika mendarat pada bulan Desember 1873, tidak
banyak tahu seperti juga Kohler dan Nieuwenhuyzen delapan bulan sebelumnya. Ketika
Teuku Nek datang menyatakan takluk, Van Swieten tidak mengetahui bahwa dalam hal
ini perselisihan dengan hulubalang-hulubalang dari mukim bersebelahan memainkan
peranan. Yang bisa diketahui Van Swieten dari stafnya adalah bahwa daerah Teuku Nek
terletak dalam lini serangan pertama pasukan Belanda (NIL) dan bahwa karena itulah
dia datang melapor.

Lebih curiga lagi mereka beberapa minggu kemudian terhadap tawanan Teuku Nya Cut
Lam Reueng, panglima sagi Mukim XXVI melalui surat yang disampaikannya untuk
menyatakan takluk dengan imbalan delapan ribu ringgit Spanyol. Menurut
keterangannya, sang panglima ingin membagi jumlah ini di kalangan para
hulubalangnya. Perbedaan antara kedua pemuka, Teuku Nek kepala mukim yang sederhana
dan Teuku Nya Cut Lam Reueng kepala sagi yang perkasa, tidak berarti suatu
apapun bagi Van Swieten, karena kebodohannya. Dia haya melihat bahwa orang yang
satu menyatakan dirinya takluk tanpa minta apa-apa dan tidak bermaksud mencari
keuntungan, sedangkan orang yang kedua meminta delapan ribu ringgit Spanyol, Dalam
benak sang jenderal tentunya berpikir: masa aku gila.

Tetapi tanpa diketahuinya Van Swieten dalam hal ini kehilangan kesempatan besar yang
pertama dapat digunakannya untuk memainkan peranan penting dalam konflik-konflik
intern Aceh. Teuku Nya Cut Lam Reueng sedang dalam pertentangan sengit
menghadapi seorang saingan. Dia belum dapat memastikan kedudukannya sebagai


kepala sagi, karena ketika penggantian mahkota berdasarkan keturunan, sultan belum
sempat memberikan kepadanya hadiah sultan yang dianugerahkan secara tradisional,
yang selanjutnya harus dibagi kepada sagi di antara kepala mukim. Dengan membayar
delapan ribu ringgit, Van Swieten seharusnya akan dapat memastikan salah seorang dari
mereka yang paling utama di Aceh untuk patuh kepadanya. Hal ini tidak dilakukannya.

Sesudah terjadi beberapa pertempuran kecil, ketika maju dari pantai ke Peunayong
tempat didirikannya perkemahan yang tetap, Van Swieten melancarkan pukulan besar
pertamanya pada tanggal 6 Januari 1874. Yaitu serangan terhadap masjid raya, untuk
ketiga kalinya dalam waktu sepuluh bulan harus direbut oleh pasukan Belanda. Lagilagi
pasukan kolonial Belanda menderita kerugian besar. Serangan itu dilakukan oleh
suatu brigade lengkap yang terdiri dari 1.400 prajurit militer.

Seusai pertempuran, jumlah serdadu Belanda yang luka parah dua ratus orang, dan
empat belas perwira luka. Bagi suatu perang 'modern' dengan tembakan gerak cepat
senapan-senapan otomatis, korban demikian mungkin tidak merupakan kerugian besar
demi merebut kedudukan yang begitu penting. Van Swieten menghitung kerugian lain.
Dalam pertempuran ini pada satu hari saja sepertujuh dari suatu brigade sudah tidak
berdaya. Karena itu, serangan terhadap keraton sendiri diminta agar persiapannya lebih
sempurna dengan pengintaian dan tembakan artileri yang kontinyu.

Atas nasehat Teuku Nek dilakukan gerakan mengitari, mengepung keraton. Lubanglubang
perlindungan pun digali lalu meriam-meriam besar penyasar benteng diseret.
Juga sekoci-sekoci bermeriam kecil turut melakukan penembakan. Ketika pada tanggal
21 Januari 1874 akhirnya diberikan tanda untuk menyerbu, ternyata musuh pada malam
hari telah berangkat. Daerah keraton yang dilindungi tembok serta bangunan besar dan
kecil reot-reot yang tidak satupun menyerupai 'istana' tanpa pertempuran suatu apa pun,
jatuh ke dalam tangan pasukan kolonial Belanda.

Jatuhnya keraton dianggap di Batavia dan negeri Belanda sebagai hasil terpenting yang
dapat dicapai pasukan penyerbu April 1873 telah ditebus pada bulan Januari 1874.

Van Swieten memerintahkan musik staf memainkan Wien Nederlands Bloed (Siapa
Berdarah Belanda) dan menawari tuan-tuan perwira minum sampanye yang khusus
dibawa untuk tujuan itu. Perintah hariannya kepada pasukan disusun dalam gaya militer
yang terbaik (Keraton telah kita kuasai, dan rakyat Aceh yang angkuh terpaksa
menyerah kalah terhadap kegagahan dan keberanian serta keahlian perang Anda), dan
ditambahkannya kecaman yang diterimanya bahwa terlalu lama dia menghabiskan
waktu menempuh jarak dari daerah pendaratan sampai ke tempat kediaman Sultan,
hampir memakan waktu tujuh minggu sejauh lima belas kilometer garis lurus.

"Bahwa keraton ini tidak akan dapat direbut dengan serangan besar, saya tahu, dan
bahwa memang demikian keadaannya yang dapat disaksikan oleh setiap orang yang
sempat melihat tembok-temboknya dengan pertahanan yang ada di depannya. Karena
itu tidak perlu kita sesali bahwa pertahanan musuh ini baru 47 hari sesudah pendaratan
dapat hita kuasai. Karena kemenangan cukup cepat tiba, bila dia diperoleh dengan
hanya sedikit kerugian, dan inilah terutama yang menjadi tujuan gerakan yang kita
lakukun dengan sekop dan sodok," demikian ucapan Van Swieten dengan sombongnya.
Padahal hasil yang dicapai ini hanya fatamorgana bagi pasukan kolonial Belanda.

Segera setelah Van Swieten mengirimkan telegram ke Den Haag dan Batavia sekaligus,
terbit nomor ekstra Berita Negeri Belanda dengan suatu buletin berjudul 'Kraton kita


kuasai'. Di kota-kota di Hindia dan Negeri Belanda dikibarkan bendera tiga-warna dari
gedung-gedung pemerintah kolonial. Malam hari orang membakar petasan, di Gedung
Kesenian Kerajaan di Den Haag sesudah musik tiup dari ruang orkes berkumandang
lagu kebangsaan Belanda, orang pun berpandangan satu sama lain dengan linangan air
mata sebagai tanda gembira.

Pendeknya, hari ini hari pesta yang luar biasa bagi Belanda. Meriam-meriam perunggu
yang tidak terpakai dalam keraton Aceh dikirim ke Negeri Belanda sebagai kenangkenangan.
Beberapa buah diantaranya sebuah howitzer 61 senti dari abad ke-17 dengan
lambang Jacobus Rex Inggeris, mungkin sebuah hadiah lama Inggeris, ditempatkan di
Bronbeek dan masih merupakan kebanggaan museum pasukan Belanda di sini. Yang
lain-lainnya telah dilebur untuk menempa medali Perang Aceh, yarg diberikan kepada
para peserta penyerbuan pertama dan kedua ke Aceh.

Tetapi kemenangan tidak dimulai dari keraton. Berbeda sama sekali dengan pola
tradisional, ternyata jatuhnya tahta sultan tidak ada artinya bagi penaklukan Aceh.
Bahkan mangkatnya sang sultan remaja, karena terserang kolera yang dibawa masuk
oleh pasukan kolonial Belanda, sedikitpun tidak mempengaruhi perlawatan rakyat
Aceh. Penembakan-penembakan dari keraton dan masjid raya dan sergapan-sergapan
atas perkemahan pasukan Belanda tetap terjadi siang malam. Orang Aceh tidak
memiliki pasukan-pasukan tetap, paling hanya ada puluhan atau ratusan orang yang
bersama-sama bertindak, tetapi dengan itu diawalilah gerilya yang mereka lakukan
dengan hebat, bagaikan telah mendapat latihan yang sempurna.

Dan memanglah rakyat Aceh demikian adanya. Makin jelas bahwa pembagian tanah
Aceh menjadi daerah kecil-kecil dengan hulubalang menjadi kepala di tiap-tiap daerah,
melumpuhkan strategi Belanda dalam dua segi. Pertama, ternyata rencana politik Van
Swieten untuk mendesak sultan menandatangani suatu traktat model Siak adalah suatu
yang sia-sia. Tidak ada seorang sultan pun yang dapat mengikat rakyat Aceh tanpa
topangan para hulubalang.

Kedua, puluhan tahun berlangsungnaya otonomi yang luas telah menjadikan rakyat
Aceh terbiasa melakukan gerilya tetap. Tiap kampung berbenteng, tiap laki laki
menyandang bedil, kelewang dan rencong. Kini pejuang-pejuang itu tidak saja dapat
berperang sepuas hatinya, beberapa minggu tinggal di rumahnya di pedalaman dan
kemudian melakukan darmawisata ke daerah kecil yang diduduki Van Swieten dengan
pasukannya. Di samping itu rakyat Aceh berkeyakinan akan dapat memperoleh syurga,
karena melakukan perang sabil terhadap kaum kafir.

Van Swieten terpaksa merombak strategi politiknya dan strategi militernya secara
mendasar sesudah sultan mangkat, dengan proklamasi tanggal 31 Januari 1874, ia
menyatakan, bahwa karena sekarang "rakyat telah dikalahkan, keraton telah direbut,
maka berdasarkan hak menang perang negeri menjadi milik pemerintah Hindia
Belanda."

Belanda tidak akan mengakui sultan Aceh yang baru dipilih dan akan melaksanakan
sendiri pemerintahan. Para panglima ketiga sagi, jika mereka menyatakan dirinya takluk
secara tetulis, akan dapat memerintah daerahnya atas nama pemerintah Hindia Belanda.
Daerah Sultan yang lama langsung diperintah oleh pejabat-pejabat militer Belanda.

Untuk sementara pasukan Belanda kelabakan menolak kawula-kawula Belanda baru itu
masuk dan melindungi daerah Teuku Nek dari serangan tetangga-tetangganya, karena


itu sejak tanggat 31 Januari 1974 tidak ada lagi yang datang menyatakan takluk. Ketika
Van Swieten pada tanggal 16 April 1874 bersama dengan pasukan inti akan berangkat
ke Batavia, pasukan militernya ketika akan berlayar masih harus menderita kekalahan
serius. Usaha merebut suatu benteng Aceh yang baru dibangun tepat di depan keraton
itu gagal. Peristiwa ini pertanda buruk bagi pasukan Belanda yang masih tinggal di
Aceh.

Dari 389 orang perwira dan 8.000 orang bawahan yang menjadi anggota pasukan
penyerbu, telah meninggal dunia di Aceh masing-masing 28 orang perwira dan 1.700
orang bawahan. Karena sakit atau luka, seribu orang lagi dipindahkan melalui laut pada
bulan-bulan sebelumya. Jadi, dalam lima bulan Van Swieten kehilangan sebagian dari
kekuatan militernya.

Angka kematian di kalangan narapidana yang dijadikan kerja paksa membantu pasukan
Belanda jauh lebih tinggi. Dari tiga ribu orang yang masuk kapal di Batavia, seribu
orang meninggal dunia. Jumlah mereka itu diganti, tetapi dari tiga ribu orang yang
ditinggalkan Van Swieten pada bulan April 1874 dibawah pimpinan penggantinya,
Kolonel J.H. Pel, tahun itu juga meninggal dunia sembilan ratus orang. Sedang dua ribu
orang harus diungsikan ke Padang atau ke Jawa karena sakit, dan harus diganti oleh
yang baru lagi. Demi hasil yang bagaimana dengan pengorbanan yang begitu besar?

Sebuah keraton kosong diduduki, yang tidak lama kemudian oleh Belanda disebut
Kutaraja, kota sultan, sebagai inti pertahanan mereka, walaupun tidak pernah lagi
seorang bersemayam di sana. Di daerah hulu sepanjang sungai dibangun beberapa
tangsi yang berbenteng kuat. Suatu wilayah beberapa kilometer luasnya namanya saja
dikuasai. Dari tujuan-tujuan politik tidak ada satu pun yang tercapai!

Penyerbuan kedua, Perang Aceh kedua, pada hakikatnya merupakan bencana. Sambutan
meriah terhadap pasukan-pasukan di Jawa dengan gapura-gapura kehormatan, anggur
kehormatan dan karangan-karangan bunga kehormatan. Dan sambutan meriah terhadap
Van Swieten di Negeri Belanda lima bulan kemudian dengan pesta jamuan lagi, yang
dihadiri oleh pangeran-pangeran dan menteri-menteri di Wisma Renang Scheveningen,
tidak dapat lama menutupi kenyataan yang sebenarnya.

Van Swieten telah menasehatkan pada penggantinya, Kolonel Pel, agar sementara
waktu mengambil sikap menanti, dengan perkiraan bahwa lama kelamaan akan lebih
banyak pemuka Aceh yang akan datang melapor. Baru saja Van Swieten kembali ke
Negeri Belanda, dan dielu-elukan sebagai Pemenang di Aceh, Pel pun atas
permintaannya yang mendesak telah menerima bala bantuan dari Jawa. Bahkan dengan
itu pun hampirhampir dia tidak mampu mengisi sederetan pos benteng yang dibuatnya
sendiri, yaitu kubu-kubu dari tanah menurut model Aceh; sekitar pangkalan terdepan
yang terancam.

Menurut pendapat Pel, perlu sekali bersama dengan beberapa pasukan mengikuti hulu
sungai Aceh agar musuh dapat dipaksa mundur. Baru pada ketika bulan Desember 1874
tenaga-tenaga tempurnya dibandingkan dengan bulan April 1784 menjadi dua kali lipat,
hal yang demikian dapat dipikirkannya. Tetapi ketika itu pun seluruh kekuatan tentara
Belanda yang tersedia dikerahkan. Yang masih berada di kota-kota garnisun di Jawa
dalam keadaan sakit atau luka.

Baru pada bulan Desember 1874, operasi militer secara b esar-besaran oleh Belanda;
terhadap pasukan gerilya Muslim Aceh dilakukan, tetapi justru saat itu seluruh Lembah


Aceh Besar dilanda banjir. Sungai Aceh dengan tepinya yang terjal dan semua anak
sungainya banjir hebat sekali. Jembatan yang dipasang oleh pihak zeni beberapa
kilometer ke hilir keraton dekat Peunayong, untuk menghubungkan kedua tepi tangsi
yang besar antara kedua tepi sungai, hancur sama sekali.

Berminggu-minggu lamanya hubungan tetap sulit. Sungai yang hampir tidak dapat
diseberangi dengan kapal sama sekali. Juga sebagian besar keraton tergenang. Maka,
jelas sekarang mengapa ada bidang dari lapangan di dalam tembok dulu tetap tidak
diterjakan: semuanya terlanda banjir di sini. Celakanya pula, justru disinilah letak
barak-barak rumah sakit yang baru dibangun. Maka, terpaksalah korban-korban kolera
dipindahkan

Juga semua pos dan tangsi pasukan Belanda, kecuali satu, dilanda banjir di
lembah.Harus segera ditinggalkan dan diganti oleh bivak-bivak sementara di lapangan
terbuka yang tinggi letaknya. Satu-satunya sarana pengangkutan adalah perahu-perahu
kecil. Berbeda dengan pasukan Belanda, pasukan gerilya Aceh tahu bahaya-bahaya apa
yang akan ditimbulkan oleh sungai Aceh, seperti waduk dan saluran keluarnya air hujan
dan gunung-gunung di sekitarnya. Mereka berdiam di rumah-rumah tiang atau tanahtanah
yang lebih tinggi agar tidak banyak gangguan.

Dengan kondisi medan seperti ini, barulah Kolonel Pel dengan pasukannya pada akhir
Desember 1874 dapat melaksanakan operasi militernya. Salah satu sasarannya adalah
Kampung Lueng Bata, yang jaraknya menurut garis lurus tidak sampai dua kilometer
dari keraton ke arah hulu. Di tempat itu terdapat Masjid Lueng Bata, tempat yang
terpenting, yang menjadi pusat mukim dengan nama yang sama. Di sini pula tempat
kediaman kepala mukim yang sangat berpengaruh, Imam Lueng Bata namanya.

Imam Lueng Bata adalah salah seorang tergolong 'raja pemilih' dan dalam tahap
perjuangan rakyat Aceh ini, ia menjadi jiwa perlawanan terhadap Belanda. Sesudah
sultan mangkat, bersama Panglima Polim kepala sagi Mukim XXII dan dengan
Teungku Hasyim, dia tampil sebagai wali sultan terpilih yang baru.

Kini pun para hulubalang pemilih menetapkan bahwa yang menjadi sultan adalah
seorang anak, yaitu Tengku Muhammad Daud yang masih berusia tiga tahun, cucu salah
seorang bekas sultan. Ketiga wali ini, dengan tidak adanya Perdana Menteri
Abdurrahman Al Zahir, yang bermukim di luar negeri, kelompok yang memimpin di
Aceh, yaitu Imam Lueng Bata, Panglima Polim dan Teungku Hasyim.

Sejauh mana pel setepatnya mengetahui kedudukan imam Lueng Bata, tidaklah dapat
dipastikan. Satu hal yang dia tahu pasti dari ketiga orang pemimpin perlawanan;
seorang berada di pedalaman yang tidak dapat terjangkau yaitu Panglima Polim, yang
kedua yakni Teungku Hasyim tidak ditemui, dan hanyalah yang ketiga menjadi pusat
kekuasaan yang mudah terjlangkau, yaitu Imam Leung Bata.

Pada tanggal 1 April 1875 akhirnya operasi militer Belanda, benar-benar dapat
dilaksanakan. Pukul lima pagi pasukan telah dikumpulkan di depan suatu pasukan mobil
diam bivak dekat keraton. Dinas mereka telah mulai tengah malam dan malahan lebih
dahulu lagi waktunya bagi kompi-kompi yang harus datang dengan berjalan kaki dari
tempat pendaratan, Olehleh.

Mereka terdiri dari sebuah batalyoa infanteri atau menurut pembagian ketika itu dua
paruh batalyon yang melakukan operasi tersendiri, satu bateri tembakan medan, dua


bagian mortir; dan satu kompi anggota yang melakukan pekerjaan zeni. Semuanya kirakira
seribu orang pasukan militer, sebagian besar terdiri pasukan Eropa, yang lebih
dipercayai untuk melakukan jenis operasi mihter ini daripada pasukan 'bumiputra'.
Menurut rencana, pertempuran dibentuk tiga pasukan kecil. Yang dua akan
menyeberang langsung melalui lapangan, yang ketiga akan berbaris sepanjang sungai
yang tinggi, sehingga di Lueng Bata pasukan dapat bersatu kembali.

Pada hari-hari belakangan ini air agak menurun, tetapi sawah semuanya masih
tergenang air dan pematang-pematang sawah, yang seharusnya digunakan sebagai jalan,
menjadi alur lumpur. Kendati demikian, pasukan Belanda berbaris menurut cara biasa
seakan-akan menempuh jalan dari Meester Cornelis ke Buitenzorg (Jatinegara ke
Bogor), bukan pematang sawah. Jadi, seebanyak mungkin terkumpul, meriam lapangan
di tengah-tengah kolonne, dan panji di depan sekali. Lebih baik rasanya dengan
menggunakan pakaian seragam serba-biru, kaus panjang putih dan senapan-senapan
panjang tidak praktis menjadi sasaran bagi jago-jago tembak pasukan Aceh.

Pasukan Belanda bukan main takutnya terhadap kelewang Aceh. Dengan parang yang
begitu tajamnya, seorang Aceh yang tangkas --dan kebanyakan mereka ini tangkastangkas--
dengan sekali ayun bisa membelah bahu orang miring sampai ke jantungnya.
Menghadapi serangan kelewang, pasukan Belanda tidak dapat berbuat lain selain
mempergunakan sangkurnya yang tidak praktis terpasang pada senapan panjangnya
yang lebih tidak praktis.

Pada setiap rumpun bambu, di belakang setiap pematang sawah, pasukan Aceh
berkelompok sambil duduk untuk menembak. Berkali-kali mereka mendekati kolonnekolonne
itu dengan teriakan perang (Allahu Akbar) yang seram dan mengayunkan
kelewang serta rencong dekat sekali. Pejuang-pejuang muslim yang fanatik, yang
sekarang pun ingin memasuki syurga sebagai syahid, dengan pakaian putih-putih
menyerbu dengan menari-nari dan dengan hasrat ingin mati syahid menghadapi
sangkur-sangkur pasukan Belanda kafir. Semenjak subuh para mujahidin muslim ini di
masjid telah bersiap mati syahid dan berada dalam kondisi mental yang tinggi.

Dalam medan yang demikian, tidak mungkin pasukan Belanda kafir untuk melepaskan
tembakan gencar yang beraturan dari pematang sawah. Meriam lapangan yang dengan
susah payah dihela oleh dua pasang kuda, tidak bisa cepat-cepat dipasang untuk segera
ditembakkan bila pasukan gerilya muslim Aceh datang menyerang berlompatan melalui
pematang.

Kedua kolonne darat itu merambat maju sendiri-sendiri dengan susah payah dan hilang
dari pandangan masing-masing, dari pukul lima pagi sampai pukul setengah tiga petang,
dalam panas yang menyengat, mereka sampai pada satu titik yang jarak garis lurusnya
hanya kira-kira dua kilometer jauhnya dari keraton. Sebagian besar waktu
sesungguhnya hilang karena meriam-meriam itu berulang kali meluncur ke dalam
sawah karena licin. Pasukan perintis terus-menerus menebas membuat jalan menerobos
pagar-pagar, belukar lebar berduri yang melingkari setiap pasang rumah. dan mengitari
sawah.

Mestinya pasukan Belanda sudah tiba di Lueng Bata, tetapi entah di mana mereka
sekarang. Pada suatu saat kolonne-kolonne darat mendengar kolonne sungai meniup
isyarat terompet Wilhelmus van Nassauwe. Kedua komandan ini masing-masing
menyimpulkan bahwa rekannya telah berhasil mencapai Leung Bata dengan menyusuri
sungai. Karena mereka (kedua kolonne darat ini) tidak melihat kemungkinan sampai ke


situ dan beranggapan bahwa tujuan gerakan telah tercapai, kemudian untuk kembali ke
keraton.

Tetapi isyarat itu lain sekali artinya. Komandan kolonne sungai --dua kompi infanteri
tidak lengkap dan dua peleton zeni-- menyuruh meniup terompet untuk memberitahukan
bahwa mereka berada dalam kesulitan. Batalyonnya memang dapat jauh lebih cepat
maju daripada yang lain-lain. Kira-kira tengah hari mereka telah mencapai Masjid
Lueng Bata dan mendudukinya, dan ada perintah lewat kurir untuk terus bergerak
menuju sebuah benteng tidak jauh dari situ. Dengan mencari-cari tujuannya, beberapa
kilometer, selanjutnya mereka tiba di Kampung Lhong yang diperkuat, yang diserbunya
dengan melakukan pertempuran hebat.

Ketika sang Komandan pasukan Belanda telah kehilangan sepuluh orang tewas dan lima
orang luka-luka berat dari kira-kira 150 orang anggotanya, sedangkan tidak seorangpun
yang luput tanpa cedera, dekat dari situ terdengar olehnya suara tembakan mendatang.
Pikirnya tentu salah satu kolonne darat berada di sekitar tempat itu. Di Lhong
keadaannya lebih sulit lagi. Dengan meniup isyarat Wilhelmus van Nassouwe serta
memancangkan bendera Belanda di pohon yang tertinggi dalam kampung itu, dia ingin
minta perhatian dan minta komandan-komandan rekannya membantu dia.

Alangkah terperanjatnya ketika dia mendengar orang meniup sebagai jawaban isyarat
"Batalyon X kembali Pulang". Dari cepatnya suara tembakan-tembakan menjauh dapat
disimpulkan bahwa kolonne darat itu merasa kira-kira jauh lebih gembira harus pulang
kembali daripada terus.

Namun, tampaknya masih belum gawat. Sebagian dari kolonne sungai tertinggal di
Masjid Lueng Bata, dan tentunya akan datang membantu. Akan tetapi peleton yang
tinggal ini setengah mati keadaannya di masjid itu, bahkan ditembaki dengan lila, yaitu
meriam kecil Aceh yang dapat dibawa ke mana-mana.

Pukul setengah enam komandan pasukan Belanda di Lhong menganggap posisinya
tidak dapat dipertahankan lagi. Bayangan harus bermalam di kampung yang terkepung
ini sangat berbahaya, diputuskannya untuk pulang kembali ke masjid, tapi dalam
kebingungan dia mengambil jalan lain daripada yang ditempuhnya pagi-pagi. Sesudah
dilalui beberapa ratus meter ternyata jalan ini buntu.

Betul-betul panik mereka dan lari pontang-panting ketika kelompok kecil ini masuk ke
dalam sawah. Dengan dikelilingi pasukan Aceh yang bertakbir menghabisi pasukan
Belanda yang telah jatuh terluka, pelarian-pelarian ini mencoba menyelamatkan
nyawanya. Beberapa orang yang luka, bunuh diri atau memohon pada teman-temannya
agar menembak mati mereka. Yang lain-lain, di antaranya seorang mati tenggelam di
dalam rawa.

Hanya dengan susah payah sebagian pasukan Belanda dari Lhong dapat mencapai
masjid Lueng Bata untuk bergabung dengan teman-teman mereka yang masih tinggal di
sana. Markas besar pasukan Belanda, segera mengirimkan bala bantuan, karena kolonne
sungai yang tidak pulang-pulang. Baru kira-kira pukul enam petang, bala bantuan
datang.

Dengan bala bantuan baru itu, pasukan Belanda baru dapat kembali pada malam yang
pekat, disertai dengan iringan pasukan gerilya muslim Aceh, yang setiap saat
menyerang pasukan Belanda yang sedang jalan kembali pulang. Serangan-serangan


gerilya semacam ini jauh lebih berbasil, karena pasukan Belanda yang kecapaian, sulit
untuk melakukan serangan balasan terhadap gerilya, sehingga kematian biasanya jauh
lebih besar dibandingkan dengan pasukan yang bergerak maju.

Tahun 1876, akhir Perang Aceh kedua ini, memecahkan semua rekor. Kekuatan
pasukan Belanda di Aceh rata-rata terdiri dari tiga ribu pasukan Eropa, lima ribu
pasukan pribumi, dan 180 orang pasukan Afrika. Sebagai tukang-pikul dan pekerja
diturut-sertakan tiga ribu narapidana, dan lima ratus orang kuli lepas. Pada tahun itu
meninggal dunia 1.400 orang anggota militer dan 1.500 orang narapidana kerja paksa.
Karena sakit atau luka tidak kurang dari 7.599 orang militer harus diungsikan ke Padang
atau Jawa. Jadi dalam satu tahun diperlukan tujuh belas ribu orang militer untuk memelihara
suatu kekuatan pasukan yang terdiri dari delapan ribu orang. Dan masih lagi
kekuatan ini seluruhnya terikat pada lima puluh benteng besar dan kecil dalam
lingkungan terdekat sekitar Kutaraja.

Di kota-kota terpenting di Jawa dibentuk depot narapidana kerja paksa. Gubernur
Jenderal memberi kuasa bagi semua bangunan pekerjaan umum, yang hingga sekarang
ini dikerjakan dengan bantuan tenaga narapidana, untuk mengambil kuli-kuli lepas.
Siapa yang bernasib sial bagi narapidana pada Perang Aceh mendapat hukuman
tambahan untuk melakukan kerja paksa di luar daerah tempat tinggalnya, tinggal mati
sajalah. Besar sekali kebutuhan pengangkutan tenaga manusia. Kecuali jalan dari kota
pelabuhan Olehleh ke Kutaraja, yang mempunyai jalan trem kecil, semua pengangkutan
harus dilakukan oleh tukang pikul. Baik tenaga pasukan maupun tenaga narapidana
kerja paksa Jawa tidak dapat terus-menerus mengantar penyediaan yang diserap oleh
Aceh.

Salah seorang korban perang Aceh adalah Kolonel Pel sendiri, yang kemudian
pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor Jenderal. Dia meninggal dunia pada bulan
Februari 1875, sebelum ia memperoleh kesempatan melaksanakan rencananya untuk
menutupi seluruh Lembah Aceh dengan deretan pos ganda dari laut. Memang terus juga
diperintahkan untuk membangun benteng lagi, dengan titik terjauh sembilan kilometer
dari Kutaraja, tetapi dengan demikian kekuatan pasukan Belanda menjadi terpecahpecah.
Bila pos-pos ini seminggu sekali harus dibawakan perbekalan, maka kolonnekolonne
yang bertugas harus bertempur merintis jalan menuju benteng-benteng yang
terkepung itu.

Tidak lama sebelum Pel meninggal, telah iewas 45 dari 60 orang pasukan pengawal
dekat keraton pada pengangkutan demikian. Banyaknya korban yang jatuh pada
peristiwa-peristiwa demikian di kalagan para tukang pikul, telah biasa terjadi.
Berbatalyon-batalyon lengkap di kirim ke benteng-benteng yang terjauh letaknya untuk
melindungi pengangkutan dan `masih juga terjadi kolonne ini harus kembali dengan siasia.


Kian menjadi jelas bahwa pasukan Aceh tidak lagi bertindak liar sewaktu-waktu, tetapi
mereka beroperasi secara teratur. Orang yag mengatur segalanya ini adalah Habib
Abdurrahman A1 Zahir.

Setelah usaha diplomatik yang diusahakan semenjak awal Perang Aceh tidak berhasil,
terutama untuk mendapatkan bantuan senjata dari Turki, maka Habib Abdurrahman A1
zahir, dengan mencukur jangkut dan rambut kepalanya, dan mengenakan pakaian orang
Keling, ia menyamar masuk ke Aceh. Dengan menyamar demikian, dia berlayar dengan
sebuah kapal uap kecil pada awal tahun 1875 ke seberang di pantai Aceh. Di tengah laut


kapalnya ditahan; tetapi ternyata surat-suratnya beres, dan Habib tidak dikenali,
walaupun semua kapal blokade Belanda telah diberitahu akan kedatangannya di negeri
pantai Aceh yang kecil, Idi, yang ditujunya, tidak suiit orang mengenalnya.

Kedatangannya kembali ke Aceh merupakan suatu kemenangan. Lebih dari dua tahun
dia menghilang, tetapi tidak dilupakan. Di Pedir (Pidie), negeri terbesar dari konfederasi
Aceh, dihimpunnya sebuah tentara yang terdiri dari ribuan orang, dan dibawanya ke
Indrapuri melalui pegunungan, sebuah kota dalam Sagi Mukim XXII di hulu sungai
Aceh. Di mana-mana di tengah jalan orang-orang bersenjata menggabung padanya,
dengan memberikan uang dan hadiah kepadanya. Pada suatu pertemuan para
hulubalang, dia diangkat menjadi panglima besar Perang Aceh.

Bantuan yang lebih penting untuk memperkokoh pasukannya adalah datangnya dari
pihak ulama, terutama Teungku di Tiro yang termasyhur bersama pasukan pengikutnya,
sesudah Habib Abdurrahman Al Zahir menetapkan markas besarnya di Montasik, yang
letaknya hanya kira-kira dua belas kilometer dari Kutaraja. Teungku di Tiro berasal dari
pusat Islam Tiro di Pidie tempat keluarga-keluarga Aceh sejak dahulu mengirimkan
puteranya untuk memperdalam ajaran agama Islam. Ia besar pengaruhnya, juga di luar
Pidie. Turut sertanya dalam perjuangan menentang Belanda kafir ini mengabsahkan
sifat suci perang ini, yaitu perang suci (perang sabil) terhadap kaum kafir kepada para
pejuang yang melakukan perjuangan menurut ketentutan-ketentuan Islam, apabila wafat
berhak menjadi syuhada.

Teungku di Tiro dan para ulama yang lain memberikan gambaran terinci kenikmatankenikmatan
yang diberikan kepada seorang yang mati syahid. Di Aceh beredar tulisantulisan
suci, anjuran-anjuran perang, dengan uraian panjang lebar dan terinci: pada
waktu tiba di akhirat sejumlah bidadari dengan tubuhnya yang putih bagaikan pualam
dan mata yang jeli bagaikan mata kijang, tetirah beberapa hari di taman syurgawi
dengan pepohonan rimba dan pancuran sejuk, akhirnya mencapai penyempurnaan
nikmat.

Dengan semangat perang sabil yang maksimal, pasukan Habib Abdurrahman Al Zahir,
yang disokong sepenuhnya oleh apara ulama, mampu menggerakkan satuan-satuan
gerilyanya menyusup terus sampai dekat Kutaraja.

Pada pertengahan tahun l877 Jenderal K. van der Heijden diangkat menjadi Gubernur
militer Aceh. Gerakan Pertamanya, ia melakulaan operasi militer dengan mengerahkan
tiga ribu pasukan tentara dan sepuluh kapal perang dan kapal pengangkut untuk
menyerbu daerah Samalanga. Daerah ini merupakan wilayah yang makmur dengan tiga
puluh ribu orang penduduk di pantai timur laut. Para pemimpinnya pada tahun 1876 dan
1877 telah melarang mengerjakan sawah, agar semua laki-laki dapat digunakan untuk
pertempuran di Aceh Besar. Bagi Jenderal K. van der Heijden sangat menjengkelkan,
karena daerah-daerah pesisir sama saja keadaannya, peperangan yang berlangsung jauh
dari daerah yang mereka alami, tidak sampai menyulitkan mereka untuk mengirimkan
ribuan pejuang gerilya Aceh ke Aceh Besar guna menyerang Belanda.

Pendaratan pasukan militer yang besar itu --yang sama besarnya dengan seluruh
pasukan penyerbuan Perang Aceh I-- tidak banyak mengalami rintangan. Sesudah
melakukan pertempuran seru dalam waktu singkat di wilayah pesisir, pemimpin
Samalanga menandatangani Ikrar Panjang, yang terdiri atas delapan belas pasal, yang
memuat pengakuan akan kedaulatan Belanda. Walau begitu Van der Heijden tidak dapat
merebut Batu Iliek (Batee Iliek), walau berulang kali diadakan serbuan ke sana.


Batu Iliek merupakan pusat kerohanian, kira-kira dapat disamakan dengan Tiro di Pidie.
Benteng ini dipertahankan oleh para santri yang penuh dengan ruhul jihad memimpin
Samalanga tidak bisa banyak berbuat apa-apa. Dengan daerah pedalaman yang
demikian, tidaklah mengherankan bila ia sama sekali tidak mempedulikan pelaksanaan
Ikrar Panjang dalam praktek. Pada tahun 1880 dikirim lagi pasukan militer Belanda
untuk kedua kalinya menyerang Batu Iliek, tetapi kali ini Jenderal K. van der Heijden
sendiri yang kena hajar. Dia sendiri kehilangan sebelah matanya dalam pertempuran ini,
sehingga kemudian dalam cerita rakyat Aceh ia disebut Jenderal Mata Sebelah.

Operasi-operasi militer di Aceh Besar yang diiakukan oleh Jenderal K. van der Heijden
lebih berhasil. Pada tahun 1878 pasukan Habib Abdurrahman Al Zahir memasuki
mukim XXV. Di sini terjadi pertempuran yang sengit dan seru, sehingga Gubernur
Jenderal Van Lansberge mengirimkan empat batalyon bala bantuan dari Batavia untuk
membantu Van der Heijden, yang sedang kewalahan menghadapi pasukan Habib
Abdurrahman Al Zahir.

Van Lansberge menginstruksikan kepada Jenderal van der Heijden, yang bunyinya
antara lain: "Serbuan dalam Mukim XXV merupakan tindakan permusuhan yang begitu
berat, sehingga tidak boleh tidak harus dilakukan penghukuman yang tiada taranya. Hal
ini pada mulanya telah begitu rupa mengguncangkan prestise kita dan kepercayaan pada
kekuatan kita, sehingga tidak cukup bagi kita hanya melakukan penghukuman, tetapi
mutlak haruslah ditaklukkan seluruhnya kepada kita bagian Aceh Besar yang bermusuhan
sikapnya, sekiranya kita tidak ingin mempertaruhkan hasil yang telah kita
peroleh dengan begitu banyak mengorbankan harta dan darah."

Van der Heijden tidak memecah-mecah bala bantuan barunya pada puluhan pos di
lembah itu, yang tidak akan dapat mencegah suatu serangan di bagian yang paling
ditakuti di situ. Dia membentuk kolonne mobile yang kuat, yang terdiri dari dua
pasukan militer dengan seribu orang tukang pikul. Pertama-tama ia membebaskan
Krueng Raba yang terkepung, kemudian maju menuju markas besar Habib
Abdurrahman A1 Zahir di Montasik, yang baru saja direbutnya, sekitar bulan Juli 1878.
Pada bulan-bulan berikutnya Van der Heijden diperintahkan untuk mengejar pasukan
Abdurrahman Al Zahir yang kecil-keci1 yang bersembunyi di Mukim XXII dan XXVI.

Penyerbuan pasukan Belanda ke pusat. pertahanan pasukan Habib Abdurrahman al
Zahir berhasil, di mana pada tanggal 25 Agustus 1878, tiga orang utusan Habib
Abdurrahman muncul di pos Belanda Lam Baro dengan membawa permohonan tertulis
meminta ampun dan minta berunding tentang penyerahan. Dalam hubungan tertulis itu
ternyata Habib Abdurrahman bersedia menghentikan pertempuran, bila ia dan empat
ratus orang anggota keluarga dan pengikutnya diperkenankan berangkat ke Arab dengan
kapal Belanda dan menerima pensiun di sana.

Tuntutan itu tidak kecil. Tetapi Van Lansberge dan Van der Heijden yakin bahwa
penyerbuan Abdurrahman akan membuat peperangan ini lain sekali jalannya. Pada
bulan Oktober 1878 menyusul persetujuan setelah ada izin dari pemerintah Belanda.
Habib Abdurrahman akan diangkut ke Mekah bersama dengan dua puluh orang
pengikut naik kapal Belanda dan di sana menerima pensiun untuk seumur hidupnya
dengan sepuluh ribu ringgit tiap-tiap tahunnya.

Sebelum berangkat pada tanggal 24 Desember 1878, melalui surat tertulis, ia
menganjurkan kepada para pemimpin Aceh untuk menyerah kepada Belanda, tetapi


tidak mendapat tanggapan sedikitpun. Para pemimpin dan ulama Aceh, yang selama ini
telah berperang dengan pasukan Belanda kafir; telah bertekad bulat untuk mengusirnya
dari bumi Aceh. Gabungan para pemimpin dan ulama Aceh dengan Habib
Abdurrahman Al Zahir, pada saat-saat terakhir memang sudah goyah, dan kepercayaan
yang diberikan kepadanya telah hilang, karena sikapnya yang banci.

Oleh karena itu, kesan terakhir di saat ia menyerah kepada Belanda, tidak ada kata lain
yang terbaik, kecuali 'pengkhianat'.

Jenderal Van der Heijden telah berhasil menaklukkan Lembah Aceh Besar, sehingga
pada bulan Januari 1880 kenaikan pangkatnya pun dipercegat menjadi Letnan Jenderal.
Ini merupakan hadiah yang indah, sekiranya dia sebulan sebelumnya tidak menerima
sepucuk surat yang agak aneh dari Gubernur Jenderal van Lansberge yang
memberitakan bahwa dia diberi kuasa oleh Raja "…bila van der Heijden akan berhenti
kelak…" untuk membentuk pemerintahan sipil di Aceh. Karena itu "…ingin saya
mengetahui dari anda, kiranya pada saat mana pada awal tahun depan ini arida merasa
waktu yang sebaik-baiknya untuk meletakkan jabatan anda, hingga saya dengan
demikian dapat mengharapkan diajukannya permintaan berhenti anda…"

Sama sekali Van der Heijden tidak mempunyai rencana ke arah itu. Berlawanan dengan
kehendaknya, bersama dengan residen Palembang, A. Pruys van der Hoeve, dia
diangkat menjadi komisaris untuk penyusunan kembali pemerintahan sipil di Aceh. Dan
Lansberge ingin sekali mengakhiri Perang Aceh semasih dalam masa pemerintahannya.
Secara militer memang Van der Heijden-lah yang menaklukkannya, secara politik
keadaan aman akan diresmikan dengan diberlakukannya pemerintahan sipil biasa.
Ternyata, kedua kesimpulan itu salah perhitungan.

Gubernur Jenderal dapat mengharapkan bahwa penggantinya selambat-lambatnya akan
diangkat pada tahun 1881. Ia mengusahakan dengan cepat menyusun rencana-rencana
perubahan pemerintahan. Pada bulan Oktober 1880 Van der Heijden dan Pruys sudah
memasukkan laporan mereka. Kedua orang itu berpendapat bahwa lama lagi baru Aceh
siap melaksanakan pemerintahan sipil. Paling-paling dalam prinsip pemerintahan
karesidenan di Jawa, yaitu dengan residen dengan kepalanya, tiga orang asisten residen,
dan sepuluh orang kontarolir; tetapi residennya (dalam hal ini dengan pangkat gubernur
langsung di bawah Batavia karena keadaannya yang luar hiasa) haruslah seorang
militer, sekaligus merangkap menjadi komandan angkatan bersenjata setempat. Usul ini
ditolak oleh Gubernur Jenderal di Batavia.

Maka pada tahun 1881 Pruys van der Hoeven dengan resmi diangkat menjadi Gubernur
sipil pertama di Aceh. Ketertiban dan keamanan akan dijaga oleh polisi yang baru. Dia
hanya sedikit memberikan perhatian kepada gangguan-gangguan dan serangan-serangan
yang dilakukan oleh pasukan gerilya Aceh baik yang dilakukan oleh para ulama yang
fanatik maupun oleh kelompok Teuku Umar.

Ketika Pruys van der Hoeven pada bulan Maret 1883 menyerahkan jabatannya kepada
pejabat pemerintahan P.F. Laging Tobias, dia memberikan gambaran yang
menggembirakan tentang keadaan Aceh. Persoalannya, menurut dia, hanyalah
melanjutkan suatu politik yang akan menjamin diperolehnya bantuan para hulubalang
Aceh untuk kepentingan Belanda. "…Para pemuka yang sah harus menduduki tempat
yang menjadi haknya…" daripada kita "…menolak mereka karena tidak sadar akan
bahaya mereka…" Bila suatu kebijaksanaan demikian digabungkan dengan suatu


pengaturan pengawasan yang bijaksana atas pelayaran-pelayaran di negeri-negeri
pesisir, maka seluruh keamanan Aceh hanyalah soal menanti dengan tenang.

Tetapi optimisme yang berlebihan ini, tidak cocok dengan kenyataan, sebab seranganserangan
pasukan gerilya Aceh, baik yang dipimpin oleh para ulama maupun para
hulubalang makin hari makin meningkat. Laging Tobias segera menyalahkan
pendahulunya dan meminta bala bantuan militer, karena keadaan di daerah terdekat
dengan Kutaraja saja sudah tidak aman. Jalan perhubungan yang terpenting dari
Kutaraja ke Anenk Galong di perbatasan lembah, praktis tidak dapat digunakan lagi.
Pos-pos polisi sedikit pun tidak ada gunanya.

Pemimpin-pemimpin pasukan Perang Aceh yang baru tampil ada yang terdiri dari
ulama Teungku di Tiro, yang tegar dan fanatik, serta di pihak lain seperti Teuku Umar,
yang berani dan licin, mulai memperoleh tenaga tempur yang baru untuk menghadapi
pasukan kolonial Belanda. Selama tahun 1883 kelihatannya perang Aceh ketiga akan
pecah lagi dengan hebat. Hal ini merupakan kekecewaan besar bagi Gubernur Jenderal
s' Jacob, yang sempat mengunjungi Aceh pada bulan Agustus 1883 untuk menyelidiki
apakah dengan penyusutan kekuatan pasukan Belanda tidak dapat dilakukan
pengurangan biaya perang secata drastis.

Kekecewaan ini menjadi panik, karena pada tanggal 8 Nopember 1883 kapal uap
Inggeris Nisero kandas di pantai daerah kecil Teunom dekat Kampung Pangah di pantai
barat Aceh. Kapal itu berukuran 1.800 ton dan membawa muatan gula dari Surabaya
menuju Marseille. Awak kapalnya terdiri dari segala bangsa. Sembilan belas orang
Inggeris, dua orang Belanda, dua orang Jerman, dua orang Norwegia, dua orang Italia
dan satu orang Amerika.

Daerah Teunom yang pada tahun 1882 pernah diserang habis-habisan oleh Belanda dari
laut, membuat perhitungan terhadap kapal Nisero yang terdampar di pantainya. Semua
awak kapal Nisero ditangkap dan dibawa ke pedalaman. Pemimpin Teunom melakukan
tekanan besar kepada Belanda, dengan menuntut uang tebusan sebanyak 25.000 ringgit
Spanyol dan jaminan tidak ada lagi blokade oleh Belanda atas pantai Teunom untuk
membebaskan para sandera.

Laging Tobias berpendapat bahwa suatu aksi militer terhadap Teunom akan
memerlukan pasukan militer yang terdiri dari beberapa batalyon, sedangkan ada
kemungkinan para sandera itu sudah terbunuh. Perkara yang menyakitkan hati ini, tetapi
dapat diperhitungkan dengan cukai masuk dan keluar daerah Teunom sendiri.
Dikirimkannya Residen Van Langen dengan 25.000 ringgit Spanyol tunai kepada
pemimpin Teunom. Tetapi sang pemimpin menolak bicara dengan dia dan hanya mau
berurusan dengan perunding-perunding Inggeris. Sia-sia Van Langen kembali ke
Kutaraja. Karena terpaksa, Gubernur menyetujui usul Inggeris dari Singapura, yaitu
sebuah kapal perang Inggeris kecil, disertai oleh dua kapal perang Belanda, dikirim ke
Teunom untuk mengadakan kontak bersama.

Keputusan yang didukung oleh s'Jacob tetapi tidak disetujui oleh Den Haag ini
mempunyai akibat-akibat diplomatik. Sekarang Laging Tobias sendiri turut serta, tetapi
dengan sangat geram ia mengalami nasib buruk, karena sang pemimpin Teunom hanya
mau berbicara dengan orang-orang Inggeris. Ia menaikkan harga tuntutannya menjadi
tiga ratus ribu ringgit dan harus ada jaminan Inggeris tentang berlakunya pelayaran
bebas di pantainya, yang ditandatangani sendiri oleh Ratu Victoria. Perundingan
mengalami jalan buntu.


Pada tahun 1884 pemerintah kolonial Belanda memutuskan untuk bertindak keras
kepada Teunom. Pada tanggal 7 Januari 1884, sebuah detasemen militer Belanda dari
Kutaraja mendarat dekat pantai Teunom, dengan jalan menembaki pantai itu dari laut.
Hasil satu-satunya yang diperoleh dari operasi miiiter Belanda ini ialah bahwa para
sandera diseret lebih jauh ke pedalaman, dan pemimpin Teunom menaikkan uang
tebusannya menjadi empat ratus ribu ringgit.

Sesudah kegagalan ini, dengan tekanan Inggeris yang berat, Belanda menyetujui agar
seorang dewan pemerintah Singapura, Sir Williem Maxwvell menjadi perunding dan
perantara untuk berbicara dengan pemimpin Teunom. Hampir sebulan lamanya dia terus
berbicara dengan pemimpin Teunom dan tidak saja mengenai sandera Nisero, tetapi
juga mengenai pengaturan perdamaian dengan Aceh yang umum dengan jaminanjaminan
Inggeris. Dan inilah yang ditakutkan oleh Den Haag. Kekhawatiran Den Haag
benar-benar menjadi kenyataan, sebab pada tanggal 26 April 1884, Menteri luar negeri
Inggris, Lord Granville, memberi nota kepada Den Haag, bahwa Inggris bersedia
menjadi perantara untuk memulihkan perdamaian di Aceh.

Nota Menteri Luar Negeri Inggris ini tidak dijawab oleh Den Haag, karena secara diamdiam
Gubernur Laging Tobias telah mengirimkam pasukan militer yang terdiri dari
orang-orang Aceh yang telah bersahabat untuk membebaskan para sandera. Teuku
Umar yang sebelumnya telah menyatakan takluk kepada Belanda telah dipergunakan
untuk memimpin operasi militer ini.

Teuku Umar dengan pasukannya yang dibawa oleh kapal perang Belanda, diperlakukan
sangat tidak enak. Ia harus tidur di geladak sebagai kuli-kuli saja. Rasa dendamnya
dipendamnya selama ia dan pasukannya di kapal Belanda itu. Tetapi begitu Teuku
Umar dengan pasukannya didaratkan oleh sebuah sekoci, maka semua awak kapal dari
sekoci itu dibunuhnya, dan Teuku Umar dengan pasukannya menyatukan diri dengan
rakyat Teunom.

Kegagalan yang ketiga kalinya untuk merebut sandera dari tangan rakyat Teunom,
mendorong Jenderal Van Swieten untuk mengirimkan surat ke dewan menteri Belanda.
Dengan kata-kata singkat diusulkannya agar Inggeris dan Belanda bersama-sama
mengirimkan pasukan penyerbu untuk menghukum rakyat Teunom. Menurut Van
Swieten, ini tidak akan merendahkan prestise Belanda di nusantara, tetapi justru
menaikkannya. Sebab, dengan ini akan ternyatalah bahwa tidak timbul pertentangan
antara Belanda dan Inggeris. "Menurut saya akan merupakan langkah politik jitu bila
panglima skuadron Inggris diminta membuka perundingan atau mengajukan tuntutan.
Maka; dia pun bertindak bagai penuntut yang meminta warga negaranya dibebaskan."

Usul Van Swieten diterima oleh Dewan Menteri Belanda dan juga oleh Inggris,
sehingga pada tanggal 12 Agustus 1884, skuadron Inggris-Belanda dengan pimpinan
Maxwell dan Laging Tobias mengepung daerah Teunom dan tanpa perdebatan yang
berarti, pemimpin Teunom menyerahkan para sandera dengan imbalan tebusan
sebanyak seratus ribu ringgit dan pelabuhannya tidak diblokade lagi.

Setelah masalah kapal Nisero selesai, pada tanggal 20 Agustus 1884, penguasa kolonial
Belanda memulai memasang Lini Konsentrasi, yang luasnya kira-kira 50 km2 dengan
Kutaraja sebagai jantungnya, dikelilingi oleh suatu lini dengan enam belas benteng,
dalam rangka mengamankan daerah kekuasaannya di Aceh. Jarak antara satu benteng
dengan benteng lainnya satu sampai dua kilometer, dan rata-rata lima kilometer, dari


titik tengah. Keseluruhan bentuknya kira-kira merupakan setengah bulatan dengan
bagian terbuka ke arah laut.

Rel trem menghubungkan benteng-benteng itu yang jumlah penghuninya masingmasing
berbeda, dari 160 orang dengan lima perwira dalam benteng terbesar, sampai 60
orang dengan seorang perwira dalam benteng terkecil. Benteng-benteng ini temboknya
tanah dengan pagar kayu runcing-runcing, dan dua meriam atau lebih di baluarti yang
menjorok di pojok-pojok, sehingga baik lapangan depan maupun sebelah temboktembok
itu dapat tersapu oleh tembakan meriam.

Pembuatan Lini Konsentrasi ini bersamaan dengan diberlakukannya kembali
pemerintah militer di Aceh dan memakan waktu setengah tahun. Baru pada bulan
Januari 1885, pos-pos yang berada di luar Lini Konsentrasi dikosongkan oleh pasukan
Belanda, tetapi segera diisi oleh pasukan gerilya Aceh.

Sistem Lini Konsentarsi pasukan Belanda ini, dinilai oleh para pemimpin perjuangan
Aceh sebagai suatu taktik kekalahan Belanda. Hal ini merupakan dorongan semangat
untuk melanjutkan perjuangan bagi rakyat Aceh untuk mengusir Belanda kafir.
Teungku di Tiro yang masih tetap tegar dan tidak kenal damai serta beberapa ulama
lainnya; memainkan peranan penting untuk melanjutkan peperangan di Aceh sampai
penguasa kolonial angkat kaki dari bumi Aceh.

Walau sistem Lini Konsentrasi dianggap yang paling aman buat Belanda, tetapi ternyata
masih saja banyak pasukan gerilya Aceh dapat menembus benteng-benteng mereka dan
melakukan serangan, sehingga keamanan semu tidak pernah dicapai.

Di samping itu sistem Lini Konsentrasi menimbulkan kejenuhan bagi pasukan Belanda,
keadaan terkurung dan tidak ada operasi militer yang dapat meningkatkan prestasi,
apalagi sesudah bulan Agustus 1885 setelah beberapa sergapan pasukan gerilya Aceh
dalam lini terjadi, hampir semua lalu lintas dengan luar tertutup dan semua bahan
makanan harus didatangkan dari laut; akibatnya wabah beri-beri yang parah,
pelanggaran disiplin dan desersi besar-besaran menimpa pasukan Belanda.

Pengaruh demoralisasi kehidupan dalam Lini Konsentrasi dengan baik dilukiskan oleh
banyaknya jumlah mereka yang lari. Berapa banyak pasukan Belanda yang berasal dari
penduduk bumi putera yang melakukan desersi tidak diketahui, tetapi pastilah ratusan,
karena semua berita sependapat mengemukakan bahwa jumlahnya jauh lebih besar
daripada pasukan Belanda yang berasal dari Eropa. Sedangkan jumlah seratus untuk
gologgan yang terakhir ini (pasukan asal Eropa) tidak dilebih-lebihkan.

Pada tahun 1896 pasukan Belanda menyerang tempat kediaman Panglima Polim, kepala
sagi Mukim XXII, di Gle Jeung yang terletak di Sungai Aceh. Banyak keterangan yang
mereka peroleh bahwa di sana sudah sejak lama tidak boleh tidak berdiam sekumpulan
desertir (pelarian) dalam jumlah banyak. Bukti yang paling kurang ajar adalah sepucuk
surat dalam bahasa Belanda yang mereka tujukan kepada paaukan Belanda. Dalam surat
itu dimintanya agar detasemen pasukan Belanda bila kembali ke Kutaraja mau
meninggalkan sedikit jenewer.

Dalam kelompok pelarian ini terdapat pula seorang jago tembak bangsa Belanda yang
bernama Carli dari batalyon XVI. Ia pandai berbahasa Aceh dan menggabungkan diri
dengan pasukan Panglima Polim. Pada pertempuran tahun 1896 dan 1897 yang
dilakukan oleh pasukan Panglima Polim, Carli dengan menggunakan senapan Besumon


modern menyerang pasukan Belanda dengan gigih, sehingga pihak belanda menjadi
kewalahan.

Sistem Lini Konsentrasi ternyata tidak menjamin keamanan dan ketenteraman
kedudukan penguasa kolonial Belanda, karena ternyata pasukan gerilya Aceh masih
mampu melakukan serangan sampai ke daerah-daerah yang terdekat dengan Kutaraja.
Untuk mengatasi serangan gerilya Aceh, maka pada tanggal 20 April 1890, seorang
Jaksa pada pengadilan di Kutararja, bernama Muhammad Arif, menasehatkan kepada
Gubernur militer Aceh ketika itu Jenderal Van Teijn, dan kepala stafnya yang bernama

J.B. van Heutsz, untuk membentuk sejumlah detasemen mobil kecil-kecil yang terdiri
dari orang-orang yang cukup berani untuk mencari gerilya dan melawannya dengan
senjata-senjata mereka sendiri. Kontra gerilya sebagai jawaban atas gerilya. Usul ini
diterima. Nama korps baru ini menunjukkan bahwa pada mulanya ia dimaksudkan
sebagai polisi militer.
Pembentukan pertamna korps ini terdiri dari satu divisi yang terbagi dalam dua belas
brigade, yang masing-mssing terdiri dari dua puluh orang serdadu Ambon dan Jawa
dibawah pimpinan seorang sersan Eropa dan seorang kopral Indonesia. Pada iahun 1897
menyusul perluasan sampai dua divisi dan pada tahun 1899 sampai lima divisi;
semuanya berjumlah seribu dua ratus orang. Kemudian ada lagi beberapa kompi yang
berasal dari Jawa; dan pasukan inilah yang kemudian terkenal dengan pasukan Marsose.

Dalam kisah-kisah romantis perang Aceh biasanya digambarkan bahwa seakan-akan
1200 orang Marsose inilah yang membereskan apa yang tidak dapat dilakukan oleh bala
tentera yang sepuluh kali lebih besar dulu. Ini tidak benar! Secara kekuatan efektif,
kekuatan pasukan Belanda seluruhnya di Aceh di bawah van Beutsz lebih besar
daripada kekuatan-kekuatan sebelumnya.

Di bawah pimpinan beberapa orang perwira telah dilakukan kekejaman-kekejaman yang
tidak terlukiskan dengan pasukan-pasukan teror oleh brigade-brigade marsose, yang
mengakibatkan ratusan dan bahkan ribuan orang laki-laki dan perempuan serta anakanak
yang terbunuh secara menyedihkan.

Kemandirian brigade merupakan rahasia besar marsose. Persenjataannya adalah sebaikbaik
persenjataan pada masa itu, yakni karaben pendek --bukan senapan panjangpanjang,
kelewang dan rencong-- sepatu dan pembalut kaki untuk semua anggota dan
topi. Memang brigade-brigade ini membawa beberapa narapidana untuk mengangkut
perlengkapan mereka dalam setiap operasi militer, tetapi secara keseluruhan pasukan
marsose adalah hidup berdikari. Semangat pasukan senantiasa dipertinggi dengan
berbagai cara: hadiah, kenaikan pangkat dan upacara.

Pasukan marsose tahun 1890 dapat disamakan dengan anggota pasukan komando,
pasukan payung, dan pasukan-pasukan khusus lainnya di kemudian hari. Merekapun
merasa sebagai pasukan istimewa. Adalah merupakan kehormatan bagi perwira untuk
ditempatkan pada korps ini. Sebagian besar para perwira pribumi yang terkenal dan
yang terjahat berasal dari pasukan marsose, dan mereka sangat disanjung-sanjung oleh
penguasa kolanial Belanda, dengan memberikan berbagai gelar militer kehormatan.

Ketika pada tahun 1912 pasukan marsose di bawah pimpinan Letnan B.J. Schmidt
dibubarkan, setelah kedua brigadenya di Tangse selama tiga tahun mengejar-ngejar
pasukan gerilya dibawah pimpinan ulama Tiro terakhir, keempat puluh satu anggota
pasukannya ini semuanya memperoleh dua bintang Militaire Willemsorde kelas tiga,


sebilah Pedang Kehormatan, tiga Militaire Willemsorde kelas empat, dua Bintang
Perunggu, dan sepuluh pernyataan Kehormatan dalam perintah-perintah harian.

Pada bulan Januari 1891, rakyat Aceh mendapat musibah yang sangat besar. Karena
kedua tokoh utama perjuangan rakyat Aceh meninggal dunia karena sakit, yaitu
Panglima Polim dan Teungku di Tiro. Dengan wafatnya kedua tokoh utama Aceh ini,
maka kekuatan pasukan perlawanan terhadap Belanda menjadi terpecah-pecah, sebab
para penggantinya tidak mempunyai kekuatan moral sebagaimana para pendahulunya.

Dalam situasi seperti itu, Teuku Umar tampil menjadi pemimpin Aceh dengan caranya
sendiri, yang membingungkan setiap penulis sejarah Aceh. Pada tahun 1891, daerah
Mukim VI, sebelah barat Lini Konsentrasi telah diserang oleh pasukan gerilya Aceh
yang dipimpin oleh para ulama. Teuku Umar, yang telah bebilang kali membelot dan
mengkhianati Belanda, menawarkan diri nntuk membantu Belanda guna membasmi
pasukan gerilya yang senantiasa mengancam pasukan Belanda bila pemerintah kolonial
Belanda mengampuninya dan membantu sepenuhnya. Tawaran ini diterima oleh
Gubernur militer, Deijkerhoff di Aceh. Atas seizin Gubernur Jenderal Pijnacker
Mordijk, Deijkerhoff mengampuni Teuku Umar dan memberinya senjata untuk
menumpas pasukan gerilya Aceh, terutama yang beroperasi di sekitar Mukim VI.

Pada bulan Juli dan Agustus 1893 untuk pertama kalinya Teuku Umar tampil dengan
bantuan Belanda untuk membersihkan Mukim XXV dan XXVI dari sarang para gerilya
Aceh. Hasilnya sangat besar. Penduduk yang melarikan diri kembali pulang, dan para
hulubalang penting dari kedua sagi menggabungkan diri dengan Teuku Umar. Pada
tanggal 30 Desember 1893, atas jasa-jasanya, Teuku Umar diangkat menjadi 'panglima
perang besar' oleh pemerintah Belanda yang dilaksanakan upacara militer di Kutaraja.
Sebutan geiar yang diberikan kepadanya adalah Teuku Johan Pahlawan.

Pada bulan-bulan terakhir tahun 1893, Teuku Umar telah memiliki dua ribu pasukan
lengkap dengan senjata yang diberikan oleh Belanda untuk melakukan operasi militer
terhadap pasukan perlawanan Aceh. Pada tanggal 30 Oktober 1893, pasukan Teuku
Umar menaklukkan daerah Anenk Galong, pusat kekuatan Panglima Polim (muda).

Keberhasilan Teuku Umar dalam menumpas pasukan perlawanan Aceh, maka pada
tanggal 1 Januari 1894, ia diberi izin untuk membentuk pasukan legiun inti sebanyak
250 orang, yang seluruh biaya, persenjataan dan perlengkapan ditanggung oleh
pemerintah kolonial Belanda. Kolonel Deijkerhoff dinaikkan pangkatnya menjadi
Jenderal. Keadaan Aceh sejak tampil Teuku Umar menjadi Johan Pahlawan membantu
Belanda relatif agak aman dan serangan-serangan gerilya tidak lagi sebesar tahun-tahun
sebelumnya.

Namun demikian, kebijaksanaan Deijkerhoff masih mendapat kecaman pedas dari
seorang penasehat Guber nur Jenderal di Batavia, yaitu C. Snouck Hurgronye. Kecaman
pedas yang dilakukan oleh C. Snouck Hurgronye, bertitik tolak dari hasil penelitiannya
di Aceh yang diselenggarakaa pada tanggal 16 Juli 1891 sampai 4 Februari 1892.
Menurut Snouck dalam 'Laporan Politik Agama' yang disampaikannya kepada
Gubernur Jenderal di Batavia, bahwa di Aceh ada tiga kekuatan yang saling
mempengaruhi rakyat Aceh untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.

Dari ketiga pihak ini, pihak sultan adalah pihak yang bisa disisihkan dan pihak adat
adalah pihak yang bisa diajak kompromi. Sedangkan pihak ulama, adalah pihak yang
paling tidak kenal damai dan paling tegar. Karenanya harus dipukul habis, agar tidak


tumbuh kembali menjadi kekuatan potensial menentang pemerintah kolonial Belanda.
Sebab menurut ajaran Islam, demikian Snouck, setiap muslim diwajibkan untuk
menentang kekuasaan kafir yang bersifat menjajah, selama kaum muslimin masih
mempunyai kekuatan dan keberanian untuk menghadapi musuh.

Pada awal tahun 1896 tampillah di Aceh seorang komandan lini baru, yaitu Letnan
Kolonel F.W. Bisschof van Heems kerck. Di markasnya yang berkedudukan di benteng
Lam Baro dengan 150 orang anggota pasukannya, dirasakannya bahwa optimisme
Jenderal Deijkerhoff tentang politik Teuku Umar sangat berlebihan.

Sebab hampir setiap hari pos-pos pasukan Belanda, terutama yang berada di luar Lini
Konsentrasi, seperti sagi Mukim XXII, yang pernah dibersihkan oleh pasukan Teuku
Umar, senantiasa ditembaki pasukan gerilya Aceh. Bila pos yang terjauh seperti Anenk
Galong (bekas pusat pertahanan Teuku di Tiro) akan diberi perbekalan, maka untuk itu
diperlukan pengawalan dengan satu kolonne yang kuat. Sebab kaum gerilya Aceh yang
terampil menggunakan senjata-senjata modern mampu menembak jitu pengawalpengawal
perbekalan tersebut.

Pada tanggal 7 Maret 1896 jatuhlah giliran patroli pertama kepada Kapten R.F.T.
Blokland. Bolehlah dikatakan seluruh kekuatan operasi militer Anenk Galong
dikerahkannya untuk berangkat. Baru saja patroli maju beberapa ratus meter, lalu ada
tembakan dari kampung yang pertama sekali, yaitu Klieng. Segera sesudah itu beberapa
puluh pasukan gerilya Aceh menyerang patroli Belanda dengan kelewang. Pasukan
Belanda yang telah lama tidak berperang karena hanya menjaga saja di Lini
Konsentrasi, menjadi tidak terampil dan menjadi panik, sehingga lari pontang-panting.
Ketika Kapten Blokland memeriksa anak buahnya sewaktu pertempuran berhenti
sebentar, ternyata sisa-sisa pasukannya yang masih tinggal hanya dua belas orang asal
Eropa dan sepuluh orang asal Indonesia. Beberapa puluh orang yang mati dan luka-luka,
sedangkan sebagian terbesar melarikan diri masuk ke markas mereka.

Peristiwa ini merupakan tamparan yang hebat terhadap Jenderal Deijkerhoff, yang
selama ini dianggap telah berhasil mengamankan daerah Aceh. Namun, ia tidak segera
untuk menghukum Teuku Umar sebagai Johan Pahlawan, malah dia meminta agar
Teuku Umar mengamankan daerah-daerah yang selama ini telah dinyatakan aman itu.
Permintaan Deijkerhoff tidak mudah disanggupi oleh Teuku Umar, sebab memang sejak
sebelum peristiwa 7 Maret 1896, kegiatan para gerilya Aceh dibawah pimpinan para
ulama mulai aktif secara mencolok. Pos-pos Belanda pernah diserang dengan meriam
lapangan, empat buah granat telah dilemparkam ke dalam benteng di Lam Raya.

Dalam keadaan yang demikian, Teuku Umar menjadi bimbang untuk melaksanakan
tugas yang telah diminta oleh Jenderal Deijkerhoff. Untuk mengelakkan tugas itu, ia
meminta diperlengkapi lagi persenjataannya, dengan alasan, bahwa senjata-senjata yang
dimilikinya tidak cukup untuk melakukan operasi militer secara tuntas. Dan ternyata
tuntutan Teuku Umar untuk memperoleh perlengkapan dan persenjataan dipenuhi oleh
sang Jenderal. Pada tanggal 26 Maret 1896, Teuku Umar telah menerima 380 senapan
kokang modern dan 500 senapan lantak kuno, 25.000 butir peluru, 500 kilo mesiu,

120.000 sumbu mesiu dan 5.000 kilo timah, ditambah dengan uang operasi sebanyak
l8.000 ringgit Spanyol.
Setelah Teuku Umar menerima tambahan perlengkapan dan persenjataan untuk
memulai operasi militer, sebagaimana yang dimintakan oleh Deijkerhoff, terbetik berita
bahwa ia akan melakukan pembelotan kepada pasukan perlawanan Aceh. Berita ini


terbukti tidak benar, sebab pada tanggal 28 Maret 1896 Teuku Umar hadir dalam
konferensi Gubernur yang diselenggarakan di Kutaraja.

Kehadirannya dalam konferensi gubernur itu, membuat pemerintah kolonial Belanda
menjadi lega, tetapi besoknya tanggal 29 Maret 1896, Teuku Umar membuat satu
kejutan yang membelalakkan mata Jenderal Deijkerhoff, disana ia menyatakan secara
resmi menanggalkan jabatannya sebagai "Panglima Perang Besar Teuku Johan
Pahlawan", menolak melaksanakan perintah-perintah Deijkerhoff, dan wakil-wakil
panglimanya pada hari itu juga memanfaatkan dengan baik senjata-senjata barunya
untuk melakukan pertempuran terhadap pasukan Belanda.

Pada tauggal 30 Maret 1896, dari tempat kediamannya Lampisang, Teuku Umar
mengirimkan sepucuk surat kepada Gubernur dengan pemberitahuan bahwa ia harus
beristirahat sementara waktu. Dia mengeluh tentang perlakuan penghinaan yang
dilakukan oleh pejabat-pejabat pangreh praja dan perwira-perwira Belanda terhadap
dirinya dan dia menyarankan Deijkerhoff agar menyuruh mereka saja menaklukkan
mukim-mukim Lam Krak.

Di Kutaraja terjadi panik setelah tersebar berita-berita tentang pembelotan itu. Orang
khawatir kota akan diserbu besar-besaran, dan bersiap-siap menghadapinya. Serangan
itu tidak terjadi. Tetapi memang beberapa hari kemudian hampir semua hulubalang
yang berada di luar Lini Konsentrasi membelot ke pihak Teuku Umar.

Teuku Umar dengan pasukannya membentuk garis pertahanannya di sebelah timur Lini
Konsentrasi dengan markas besarnya bertempat di Lam Pisang, tempat kediamannya
sendiri. Daerah ini sangat strategis, karena letaknya dalam sebuah lembah yang sempit.
Hanya dalam beberapa hari saja di Aceh Besar keadaannya telah berubah menjadi
daerah yang mencekam dan menakutkan.

Gubernur Jenderd Van der Wijck, setelah mendengar laporan tentang pembelotan
Teuku Umar, secepat mungkin memberhentikan Deijkerhoff dan menggantikannya
dengan Jenderal Vetter. Diperintahkannya secara telegrafis bala bantuan dari Padang ke
Kutaraja, diberangkatkannya satu baterai meriam lapangan dari Jawa dan
dipersiapkannya dua buah baterai meriam yang lain, dan ditempatkannya sejumlah
besar perwira sementara untuk Aceh, diantaranya Letnan Kolonel Van Heutsz. Operasi
militer besar-besaran, dengan lebih dari dua ribu anggota militer dan seratus perwira,
pada tanggal 7 April 1896 telah berada di Kutaraja.

Jenderal Vetter tidak ingin kehilangan waktu untuk segera melakukan serangan terhadap
pasukan Teuku Umar. Komandan militernya Kolonel J.W. Stemfoord, pada tanggal 8
April 1896 telah bertolak dengan sebuah kolonne yang kuat terdiri dari seribu orang
pasukan, yang sebagian besar terdiri dari pasukan asal Eropa. Tugas utamanya adalah
untuk membebaskan pos-pos luar yang telah dikepung oleh pasukan Teuku Umar.

Semua hubungan dengan sebagian besar pos ini telah putus, kawat-kawat telepon telah
diputuskan, jalan-jalan dirusakkan oleh pasukan Teuku Umar. Vetter dan Stemfoord
sependapat bahwa pos-pos di luar lini sebanyak enam belas buah harus dibebaskan dan
kemudian dihancurkan. Dalam waktu satu minggu usaha pembebasan pos-pos ini
berhasil. Jembatan besi indah yang menghubungkan Anenk Galong dengan Montasik di
seberang sungai Aceh, harus diledakkan sendiri oleh pasukan Belanda.


Kian lama pengosongan berlangsung, kian besar perlawanan Aceh. Pada tanggal 17
April 1896, pos Anenk Galong, Lam Sut, Senelop dan Lam Barik mendapat serangan
pasukan Teuku Umar dan gerilyawan Aceh lainnya; walau dipertahankan oleh empat
batalyon infanteri, delapan brigade marsose dan dua baterai meriam lapangan. Operasi
pembersihan yang dilakukan oleh pasukan Belanda pada hari itu, tidak lebih dari jarak
tiga kilometer di luar lini dengan kerugian delapan orang tewas, lima puluh orang luka-
Iuka, tiga ekor kuda mahal, sebuah meriam, sebuah mortir, sebuah mitralyur dan
berpeti-peti peluru jatuh ketangan pasukan gerilya Aceh.

Pada tahun 1896 dan awal 1897, Vetter dengan pasukannya telah melakukan
penghancuran total terhadap lembah di Aceh Besar itu, yang paling sempurna dibumihanguskan
ialah tempat kediaman Teuku Umar. Di pos lini Lam Jau dipasang sebuah
baterai meriam khusus dengan dua belas meriam dan delapan mortir berat, yang selama
enam belas hari enam belas malam nonstop memuntahkan pelurunya ke Lam pisang,
pusat pertahanan Teuku Umar, sehingga pada tanggal 24 Mei 1896 Lam Pisang jatuh ke
tangan pasukan Belanda dalam keadaan hancur total.

Atas perintah Jenderal Vetter, rumah kediaman Teuku Umar diledakkan dan puingpuingnya
dibakar hangus. Di seluruh daerah Mukim VI dan daerah-daerah di luarnya
dibakar menjadi abu. Kampung Lamasan diratakan lumat. Dengan perlindungan
sepuluh kompi infanteri, dua seksi zeni, delapan ratus orang narapidana kerja-paksa dan
empat ratus orang kuli Cina, mulai tanggai 30 Mei sampai tanggal 3 Juni 1896 sibuk
untuk melakukan pekerjaan ini. Ketika itu semua rumah dan bangunan lainnya seperti
mushalla, masjid, madrasah diratakan dengan tanah, semua pohon ditebang, kuburankuburan
digali. Siapa yang mencari daerah Lamasan pada tanggal 3 Juni 1896 hanya
akan mendapatkan tempat hangus besar di tanah gundul. Tidak pernah lembah di Aceh
Besar ini timbul lagi.

Peristiwa pembelotan Teuku Umar memberikan kesan yang sangat menghancurkan di
negeri Belanda. Bagaimana besarnya rasa ketakutan dan kebencian terhadap Teuku
Umar, tampak dari lagu-lagu yang diciptakan saat itu dan sempat bertahan sampai lebih
dari setengah abad lamanya. Lagu itu antara lain berbunyi: "Teuku Umar mesti
digantung. Gantung di tali, gantung di tali, Teuku Umar dan isteri."

Perang Aceh yang dimulai sejak tahun 1873 sampai tahun 1896, bagi pemerintah
kolonial Belanda telah menderita kerugian sebanyak lima ratus juta gulden, kira-kira
sepuluh ribu pasukan militer Belanda yang tewas, lima belas ribu orang narapidana
kerja-paksa yang mati. Sedangkan di pihak pasukan perlawanan Aceh diperkirakan tiga
puluh lima ribu orang menjadi syahid, sekarang pada tahun 1896 harus dimulai baru
lagi.

Tindakan-tindakan biadab pasukan Belanda-kafir di lembah Sungai Aceh telah
mengakibatkan kehancuran yang tidak terlukiskan. Aceh Besar begitu dihabisi
penduduknya, sehingga puluhan tahun kemudian para pengunjung dari luar masih
merasa heran mendapati kampung-kampung yang ditinggalkan dan sawahsawah yang
tidak dikerjakan, pengairan yang tidak bisa lagi diperbaiki.

Tidak kurang dari sepuluh ribu sampai dua puluh ribu orang Aceh meninggalkan
kampung halamannya sesudah tahun 1896, dan bermukim di Pinang dan Malaka. Dan
puluhan ribu yang lain keluar dari Aceh Besar menuju daerah-daerah pantai. Daerah
ketiga sagi, yang dulu merupakan salah satu wilayah makmur di Aceh, telah menjadi


salah satu wilayah yang paling miskin. Tidak pernah daerah ini pulih dari pukulan yang
dideritanya.

Sampai kemana buasnya pasukan kolonial Belanda dalam menghadapi pasukan
perlawanan Aceh, secara tepat dilukiskan oleh sebuah tanda kenangan yang dipajang di
beranda belakang rumah sakit tentara Belanda, di Kutaraja, pada tahun I897. Ada
sebuah stoples besar berisi alkohol, dan di dalamnya terapung kepala Teuku Nya
Makam. Pemimpin gerilya Aceh ini, pada tahun 1896 tertangkap oleh pasukan Belanda
dalam keadaan sakit parah. Dia diletakkan di atas tandu dan bersama
dengan.keluarganya dihadapkan pada komandan kolonne Letnan Kolonel Soeters.

Perwira ini menyuruh melemparkannya dari tandu serta diperintahkannya agar dia
ditembak mati di tempat. Di hadapan isteri dan anak-anaknya, kepalanya pun
dipancung. Kolonel Stemfoort menyuruh memajang kepala Teuku Nya Makam ini
sebagai tanda kenangan. Seorang saksi mata yang tersayat hatinya menulis:
"Kebiadaban ini dan yang semacamnya tidaklah membantu menaklukkan dan
mengamankan Aceh, sebaliknya pasukan Belanda akan memperoleh ribuan dan ribuan
musuh yang tidak kenal damai."

Lembah Aceh memang bisa saja dihancurkan dan ditaklukkan, tetapi yang jelas perang
di luar Aceh besar tidak akan berakhir. Snouck Hurgronye menganjurkan kepada
Gubernur Jenderal Van der Wijck agar melakukan penyerbuan yang besar ke pedir
(Pidie), dengan
argumentasi bahwa orang yang dapat menaklukkan negeri ini yang dapat menjajah
daerah Aceh seluruhnya. Usul Snouck Hurgronye ini disetujui oleh Van der Wijck
sehingga ia memerintahkan Van Vliet untuk menyerang Pidie dengan kekuatan batalyon
lewat laut dan dua batalyon lewat darat dari Selimun.

Di samping itu Van der Wijck juga menginstruksikan kepada Van Heutsz untuk
membantu serangan ke Pidie ini melalui pantai utara, dengan diperlengkapi satu baterai
meriam gunung dan satu skuadron kavaleri. Bukan dua minggu waktu yang diperlukan,
sebagaimana yang direncanakan oleh pasukan Belanda, tetapi tiga bulan diperlukan
untuk bertempur melawan pasukan gerilya Aceh.

Penyerbuan ke Pidie yang dimulai pada tanggal 1 Juni 1898, yang langsung dipimpin
oleh Van Heutsz dan didampingi Snouck Hurgronye, adalah merupakan penyerbuan
terbesar yang luar biasa dari seluruh perang Aceh. Dari Selimun dan Sigli berangkat dua
kolonne yang semuanya berjumiah 7500 orang pasukam. Dibawa 15 km rel kereta api
kecil untuk memasang lintasan (line) trem sementara dari Sigli ke pedalaman. Semua
anggota militer diberi senjata modern Mauser, dan marsose diberi karaben mauser lima
puluru, dengan diperlengkapi makanan dalam kaleng.

Tidak banyak terjadi pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan pasukan
gerilya Aceh. Tetapi harapan dan khayalan Belanda untuk sekali pukul dapat
menyingkirkan Panglima Polim, Teuku Umar dan Sultan, lenyap sama sekali. Sebab
tokoh-tokoh perlawanan yang diduga berada di daerah Pidie, ternyata tidak dijumpai
sama sekali. Berbulan-bulan waktu yang diperlukan oleh pasukan Belanda untuk bisa
menghancurkan pasukan gerilya Aceh.

Akhirnya, pada tanggal 10 Februari 1899, Van Heutsz menyerang tempat yang
dipergunakan oleh Teuku Umar sebagai markasnya, yang berada di sekitar Meulabohe.
Dalam pertempuran ini, pasukan Belanda berhasil dipukul mundur oleh pasukan Teuku


Umar. Tetapi korban dari pasukan Teuku Umar cukup banyak, bahkan ia sendiri tewas.
Tetapi isterinya, Cut Nya Dien, bersama-sama pasukan yang masih tinggal, melanjutkan
perjuangan suaminya, Teuku Umar, dengan cara bergerilya di daerah pedalaman pantai
barat, selama lebih dari enam tahun.

Pada tahun 1905, Cut Nya Dien terserang penyakit rematik, matanya setengah buta dan
lumpuh. Walau dalam keadaan begitu, ia tidak pernah berniat untuk menyerah kepada
Belanda. Karena pengkhianatan seorang panglimanya, yang bernama Pang Lot, pasukan
Belanda mengetahui dan menyergap tempat persembunyian Cut Nya Dien. Dia
ditangkap dan kemudian dibuang ke Jawa sampai meninggal, tanpa sesaatpun berdamai
dengan pasukan Belanda kafir

Setelah Teuku Umar tewas dan pasukannya mulai cerai-berai, Belanda merasa bahwa
mereka telah berhasil untuk menaklukkan seluruh Aceh, padahal masih terlalu banyak
daerah-daerah yang masih secara utuh dikuasai oleh pasukan gerilya Aceh, dan pasukan
Belanda belum mampu untuk menjejakkan kakinya di sana. Salah satu daerah itu adalah
Samalanga, di mana terdapat sebuah benteng gunung. Batu Ilieq.

Jenderal Heijden, yang dinobatkan menjadi Jenderal Mata Sebelah oleh orang Aceh,
karena matanya buta terkena peluru pasukan santri Batu Ilieq, telah berulang-ulang
tidak berhasil menaklukkan benteng tersebut. Bahkan sesudah daerah Samalanga dapat
takluk kepada Belanda, tetapi benteng Batu Ilieq masih tetap berfungsi sebagai pusat
perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda.

Batu Ilieq adalah sebuah desa, di mana terdapat pusat pendidikan pondok pesantren
yang dipimpin oleh para ulama dengan ratusan santrinya. Di desa inilah didirikan
benteng-benteng pertahanan yang mengambil lokasi di puncak gunung yang
dihubungkan oleh terowongan-terowongan perlindungan. Benteng Batu Ilieq ini sepenuhnya
dipertahankan oleh pasukan santri.

Pada tahun 1901 pasukan Belanda di bawah pimpinan Van Heutsz menyerbu benteng
Batu Ilieq dengan menggunakan meriam-meriam kapal jarak jauh dan howitzer berat.
Peluru-peluru meriam dan howitzer berat itu dimuntahkan ke mulut-mulut benteng Batu
Ilieq ini secara nonstop berhari-hari, tetapi tidak dapat merobohkan benteng dari
pasukan santri, tidak bergeming sedikitpun.

Oleh karena itu serangan harus langsung dilakukan dengan cara menaiki bukit melalui
lapangan depan yang ditaburi ranjau, dan menentang arus batu dan gumpalan-gumpalan
karang yang digelindingkan oleh pasukan santri yang bertahan di benteng. Belum lagi
disebut tentang tembakan-tembakan yang terbidik baik dari senapan-senapan mauser
yang begitu tangkas digunakan para santri, selancar mereka membaca ayat-ayat Al-
Qur'an.

Penyerangan harus dilakukan oleh Belanda, pasukan marsose yang berasal dari Ambon
menerobos ke dalam benteng yang dihadang oleh pasukan santri dengan gagah perkasa,
sehingga pertempuran sengit terjadi. Tetapi, karena kekuatan yang tak seimbang antara
pasukan Belanda dengan pasukan santri, benteng Batu Ilieq sebagian telah jatuh ke
tangan Belanda. Dalam keadaan kritis semacam itu, seorang ulama tua yang berjanggut
putih, dengan obor menyala meledakkan tempat persediaan mesiu, sehingga benteng itu
ambruk. Dalam pertempuran sengit ini, pasukan Belanda yang mati berjumlah lima
orang dan yang luka-luka berat berjumlah 27 orang, sedangkan di pihak santri dan
ulama seluruhnya berjumlah 71 orang menjadi syuhada, tak satu pun yang masih hidup.


Jatuhnya benteng Batu Ilieq, tidak berarti perlawanan rakyat Aceh telah berhenti, sebab
hampir setiap daerah baik di pantai maupun di pedalaman, yang belum sempat dijelajah
oleh pasukan Belanda, masih tetap mengkonsolidasikan diri dengan benteng-benteng
pertahanan, untuk setiap saat menghadapi serangan pasukan Belanda. Para hulubalang
terutama para ulama di daerah tersebut tetap tegar untuk menentang setiap bentuk
kolonial, walau harus ditempuh dengan pertumpahan darah.

Operasi militer yang dilakukan oleh Van Heutsz senantiasa mendapat perlawanan dari
rakyat Aceh, walau akhirnya kemenangan diperoleh pasukan kolonial. Dalam posisi
terdesak, maka pada tanggal 10 Pebruari 1903 Sultan menyerah. Dan pada tanggal 6
Desember 1903 Panglima Polis menyerah pula.

Van Heutsz, setelah diangkat menjadi Gubernur Militer Belanda di Aceh, pada bulan
Februari 1904, telah memerintahkan Letnan Kolonel G.C.E. Van Daalen memimpin
pasukan marsose untuk menyerang Tanah Gayo dan Alas, yang letaknya di tengahtengah
pegunungan Aceh. Serangan pertama direncanakan ke Gayo Laut, kedua ke
Gayo Linge, ketiga ke Gayo Lues dan serangan keempat ke Tanah Alas.

Daerah Gayo dan Alas dapat dianggap merupakan benteng terakhir rakyat Aceh, dan
daerah terakhir dalam perang terbuka yang dilancarkan oleh pasukan Belanda, dalam
sejarah perang kolonial dalam usahanya untuk menjajah seluruh Aceh.

Serangan pasukan Belanda ke daerah Gayo dan Alas pada tahun 1904 ini, dilancarkan
setelah perang Aceh berlangsung selama 31 tahun, sejak meletusnya Perang Aceh pada
tahun 1873. Vaan Heutsz ingin cepat-cepat menaklukkan daerah Gayo dan Alas, daerah
yang selama ini masih utuh dikuasai oleh rakyat Aceh, agar kekuasaan Belanda benarbenar
merata di Aceh, selama ia masih menjadi gubernurnya.

Pada tanggal 8 Februari 1904, pasukan Belanda di bawah pimpinan Van Daalen
berangkat dari Kutaraja menuju Gayo dan Alas, dengan kekuatan sepuluh brigade
bersenjata lengkap, dibantu oleh 450 orang narapidana kerja-paksa. Pasukan ini
merupakan pasukan 'induk' karena masih ada lagi pasukan mobile yang dipimpin oleh
Kapten Creutsz Lecheitmerer dengan kekuatan 150 pasukan tentara yang bergerak dari
arah timur dari Kuala Simpang.

Dengan demikian maka jumlah seluruh pasukan Belanda yang digunakan untuk
menyerbu Gayo dan Alas tidak kurang dari 500 orang pasukan militer bersenjata
lengkap, ditambah dengan kira-kira 1.000 orang tenaga kesehatan, narapidana kerjapaksa
dan tukang-tukang pikul perlengkapan perang dan makanan.

Pada tanggal 12 Februari 1904 pasukan Belanda telah tiba di daerah tujuan, yaitu di
daerah Gayo Laut, kira-kira 50 kilometer dari Takengon. Tetapi begitu Belanda
menginjakkan kakinya di desa dekat Ketol, disambut dengan pertempuran sengit yang
pertama, di mana pasukan Belanda mengalami korban, baik mati maupun luka-luka.

Dalam perjalanan menuju Takengon, pasukan Belanda tidak henti-hentinya mendapat
perlawanan, Sampai mereka berhasil membuat markasnya di desa Kung, kira-kira 7
kilometer ari Takengon. Dari markas yang baru didirikan ini, pasukan Belanda
melakukan operasi militer di sekitar Gayo Laut. Walau perlawanan pasukan rakyat
Gayo cukup sengit, dan hampir setiap daerah yang dilalui pasukan Belanda terjadi
pertempuran, tetapi akhirnya daerah Gayo Laut pun jatuh ke tangan pasukan kolonial.


Setelah pasukan Belanda berhasil menguasai daerah Gayo Laut, operasi militernya maju
menuju Gayo Lues, dimana pada tanggal 9 Maret 1904, pasukannya telah mencapai
daerah Kla, yaitu daerah yang merupakan pintu masuk Gayo Lues. Berbeda dengan
pertempuran di Gayo Laut, di sini rakyat memperkuat pertahanannya dengan bentengbenteng
yang dibangun dari tanah dicampur batu-batu. Di sekelilingnya dibuat pagar
kayu berduri yang telah dibuat runcing, dan dilapisi pula dengan tanaman hidup bambu
berduri, yang oleh orang Gayo disebut 'uluh kaweh' yang berlapis-lapis. Kemudian
dipasang pula bambu runcing dan kayu runcing dalam bentuk ranjau-ranjau.

Di bagian dalam benteng dibuat lobang-lobang perlindungan, lubang pengintaian lubang
penembak di bagian dinding-dinding benteng. Selain itu dibuat pula lubang
perlindungan untuk wanita dan anak-anak di dalam benteng tersebut. Dengan cara ini,
benteng pertahanan rakyat Gayo berusaha menahan serangan pasukan Belanda yang
jauh lebih kuat dan modern.

Benteng-benteng semacam ini tersebar di daerah Gayo Lues dan Alas, serta tidak
kurang dari sepuluh benteng yang besar dan kokoh yang dipertahankan mati-matian
oleh rakyat Gayo, dalam pertempurannya dengan pasukan Belanda.

Salah satu bukti tentang pertempuran benteng yang dahsyat, yaitu benteng Gemuyang,
setelah berhari-hari bertempur, akhirnya baru jatuh setelah rakyat Gayo sebanyak 308
orang tewas : antaranya 168 orang laki-laki, 92 orang wanita dan 48 orang anak-anak.
Sedangkan yang luka-luka sebanyak 47 orang: antaranya seorang pria, 26 orang wanita
dan 20 orang anak-anak. Hanya 12 orang yang tertangkap hidup-hidup, dimana 3 orang
wanita dan 9 orang anak-anak. Sedangkan korban dari pihak pasukan Belanda hanya
dua orang tewas dan 15 orang luka-luka berat.

Pertempuran di benteng Rikit Gaib antara pasukan penyerbu dengan pasukan rakyat
Gayo lebih berimbang, sehingga korban yang jatuh di kedua belah pihak cukup banyak.
Di pihak rakyat Gayo telah meninggal dunia sebanyak 148 orang: antaranya 143 orang
pria, 41 orang wanita dan anak-anak, hanya seorang laki-laki dan dua orang wanita yang
tertangkap hidup-hidup oleh Belanda. Korban di pihak pasukan Belanda: 7 orang mati,
diantaranya 2 orang perwira dan 42 orang luka-luka berat, diantaranya 15 orang
perwira.

Pertempuran dari benteng ke benteng yang tersebar di daerah-daerat Gayo tidak kurang
dari sepuluh buah banyaknya, dengan korban ribuan rakyat Gayo yang mati terbunuh.
Hanya dengan cara itu pasukan Belanda dapat menaklukkan Gayo, sehingga pada
tanggal 2 Juni 1904, Van Daalen berhasil mengumpulkan penghulu-penghulu Gayo
sebanyak dua belas orang untuk memaksa mereka takluk kepada penguasa kolonial
Belanda.

Setelah daerah Gayo berhasil ditundukkan, maka pada tanggal 13 Juni 1904 pasukan
Belanda melanjutkan serangan ke daerah Alas, dengan sasaran utamanya desa Batu
Mbulen dimana tinggal seorang ulama besar bernama Teungku Haji Telege Makar
dengan pondok pesantrennya. Mendengar kedatangan pasukan Belanda mau menyerbu
kaum muslimin, dengan pimpinan para ulama mereka mengosongkan desa tersebut dan
semuanya berkumpul di benteng Kute Reh yang telah disiapkan jauh sebelum pasukan
musuh datang.


Pertempuran dahsyat dan bermandikan darah berlangsung berhari-hari antara pasukan
musuh dengan pasukan kaum muslimin di benteng Kute Reh tersebut. Benteng Kute
Reh jatuh ke tangan pasukan Belanda, setelah 561 orang pasukan yang mempertahankan
benteng itu tewas, diantaranya 313 orang pria, 189 orang wanita, dan 59 orang anakanak.
Yang luka-luka sebanyak 51 orang, antaranya 25 orang wanita dan 31 orang anakanak,
yang tertangkap hidup-hidup dua orang wanita dan 61 orang anak-anak.
Sedangkan di pihak musuh hanya dua orang mati dan 17 orang luka-luka berat.

Pada tanggal 20 Juni 1904 pasukan Belanda dibawah pimpinan Van Daalen sendiri
melanjutkan penyerbuannya ke benteng Likat. Pertempuran sengit bermandikan darah
berlangsung dahsyat dan ngeri. Sebab pasukan Belanda main bantai tanpa pandang
bulu, sehingga 432 orang mati terbunuh, diantaranya 220 pria, 124 wanita, dan 88 orang
anak-anak. Yang luka-luka berat dan ringan sebanyak 51 orang, diantaranya 2 orang
pria, 17 orang wanita dan 32 orang anak-anak, yang tertangkap hidup-hidup hanya
anak-anak sebanyak 7 orang. Dipihak pasukan musuh yang mati hanya seorang dan 18
orang tentara luka-luka, termasuk Letnan Kolonel Van Daalen dan Kapten Watrin.

Daerah Alas dapat dikuasai pasukan Belanda setelah jatuhnya benteng Lengat Baru
pada tanggal 24 Juli 1904, dengan korban yang sangat besar di pihak rakyat Alas, di
mana 654 orang tewas, diantaranya 338 orang pria dan 186 wanita serta anak-anak 130
orang. Sedangkan yang luka-luka seorang pria, 16 orang wanita dan 32 orang anak
anak. Di pihak musuh hanya 4 orang mati dan 28 orang luka-luka.

Sebagaimana telah terjadi di daerah-daerah lainnya di Aceh, jika pertempuran terbuka
telah tidak mungkin dilakukan, karena kekuatan yang tak seimbang dengan pasukan
musuh, maka 'perang gerilya' merupakan satu-satunya jawaban untuk melumpuhkan
pasukan Belanda. Di Gayo dan Alas pun berlaku hal yang sama. Apalagi daerah Gayo
dan Alas adalah daerah bergunung-gunung dan berhutan lebat, sehingga 'perang gerilya'
yang dilakukan rakyat Gayo dan Alas sangat menguntungkan. Dan sebaliknya pasukan
Belanda tidak pernah bisa tinggal tenteram di daerah-daerah yang didudukinya, karena
mendapat serangan gerilya.

Walaupun perang kontra gerilya dengan pasukan marsose yang dianggap berani dan
kejam, sebagaimana digariskan oleh Van Heutsz, dinilai berhasil dengan gemilang,
tetapi tidak berarti pasukan gerilya muslimin Aceh dianggap pengecut dan senantiasa
kalah. Bahkan terkadang pasukan gerilya muslimin Aceh jauh lebih berani dan lebih
lincah dari pasukan marsose yang paling dibanggakan. Hal ini terbukti dari pengalaman
salah seorang komandan marsose yang paling terkenal, Kapten M.J.J.B.H. Campion,
yang pada tahun 1904 di daerah Meulaboh di pantai barat, dengan kekuatan setengah
divisi melakukan penyerbuan terhadap pasukan gerilya Teuku Keumangan dan
kakaknya, Teuku Johan.

Pada bulan Maret 1904 sebuah kolonne yang terdiri dari enam brigade marsose, yaitu
kira-kira 160 orang tentara, masuk ke dalam jebakan pasukan gerilya muslimin yang
berkekuatan sebanyak 300 orang gerilyawan. Dengan gerak cepat dan ketangkasan yang
luar biasa, pasukan gerilyawan muslimin Aceh ini menyerang dengan kelewang dan
rencong terhadap pasukan marsose yang terjebak itu. Seluruh pasukan Belanda
sebanyak 160 orang tentara mati terbunuh, termasuk Kapten Campion yang mati karena
luka-luka berat.

Pasukan gerilyawan muslimin Aceh masih terus efektif melakukan serangan-serangan
terhadap pasukan Belanda di daerah-daerah seperti Lhong, dimana pada tahun 1925 dan


tahun 1926 dan kemudian pada tahun 1953 telah berkembang menjadi 'perang terbuka'.
Untuk mengatasi kekuatan gerilyawan muslimin Aceh ini, pemerintah kolonial Belanda
mengumpulkan kembali bekas-bekas pasukan marsose dari seluruh Hindia Belanda.
Operasi-operasi pasukan marsose di sungai atau di darat seringkali terjebak oleh
pasukan gerilyawan muslimin, sehingga dapat dihancurkan secara total. Bahkan bivakbivak
rahasia pasukan marsose sering diserang dan dibakar oleh pasukan gerilyawan.

Idola gerilyawan muslimin Aceh terlukiskan dalam person tokoh ulama Aceh Teungku
di Tiro Syeikh Saman. Ia mempunyai lima orang pntera, yang tertua bernama
Muhammad Amin, yang gugur pada pertempuran dengan pasukan Belanda pada tahun
1896. Empat orang putera lainnya dan dua orang cucu semuanya gugur sebagai syuhada
pada pertempuran antara tahun 1904 dan 1911.

Pada bulan Desember 1909, Letnan B.J. Schmidt mendapat perintah untuk menyerang
pasukan gerilyawan muslimin Tiro di daerah Tangse. Menurut taksiran, kekuatan
pasukan gerilyawan muslimin Tiro ini berjumlah 250 orang. Dengan menggunakan dua
brigade pasukan marsose, Schmidt secara sistimatis menyerang dan menangkap pasukan
gerilyawan muslimin Tiro, di mana pada tahun 1909 dan 1911 dapat dikatakan hampir
seluruhnya tertangkap.

Keberhasilan pasukan Belanda dalam menumpas pasukan gerilyawan muslimin Tiro ini
karena pengkhianatan orang-orang Aceh sendiri, yaitu para kaum bangsawan yang
menjadi kolaborator Belanda. Tetapi tidak seorang pun dari pimpinan gerilyawan
muslimin Tiro ini yang menyerah hidup-hidup. Akhirnya keturunan Syeikh Saman,
tokoh gerilyawan muslimin Tiro, tinggal seorang lagi, seorang pemuda remaja yang
terus bergerilya menyerang pasukan Belanda kafir.

Letnan Schmidt meminta bantuan tokoh-tokoh Aceh untuk bisa membujuk tokoh
pemuda-remaja gerilyawan muslimin Tiro ini supaya menyerah dengan jaminan oleh
Gubernur Jenderal tidak akan dijatuhi hukuman. Hasilnya, tidak mungkin menyerah.
Hidup mulia atau mati syahid itulah semboyan gerilyawan muslimin Tiro.

Pada bulan Desember 1911, perwira Marsose dengan pasukannya bernama Nussy
menyerang tempat persembunyian gerilyawan muslimin Tiro yang terakhir, yang
tinggal tiga orang saja lagi. Dalam serangan ini, dua orang dari tiga gerilyawan
muslimin Tiro ini tewas menjadi syuhada, dan ternyata yang seorang itu bernama Cit
Ma'az (Ma'at), adalah keturunan terakhir dari Syeikh Saman, tokoh utama perang Aceh.
Dengan wafatnya Cit Ma'az, yang baru berusia lima belas tahun, maka berarti tiga
generasi Teuku di Tiro di abadikan di dalam Perang Aceh.

Perang gerilya yang berkepanjangan tidak hanya dilakukan oleh gerilyawan muslimin
Tiro, tetapi juga dilakukan oleh pasukan gerilyawan Teuku di Mata Ie, Teungku di
Barat dan Pang Naggru di daerah-daerah sekitar Lhok Seumawe dan Lhok Sukon.
Daerah medannya yang berubah-ubah dari gunung-gunung sampai ke laut, sangat
memungkinkan pasukan gerilyawan muslimin ini dapat melakukgn gerakan yang sulit
untuk diketahui dan dikejar oleh pasukan Belanda.

Pasukan gerilyawan dibawah pimpinan Pang Nanggru , masih aktif sampai tahun 1910,
pasukan gerilyawan Teungku di Barat aktif sampai tahun 1912. Sedangkan pasukan
gerilyawan Teungku di Mata Ie masih terus aktif sampai tahun 1913, dan wafat pada
tahun 1917 karena luka-luka kena peluru.


Perang Aceh tidaklah berakhir pada tahun 1913 atau 1914. Dari tahun 1914 terentang
benang merah sampai tahun 1942, alur perlawanan di bawah tanah. Perang gerilya, yang
pada tahun 1925, tahun 1926, sampai tahun 1933 berkembang menjadi perlawanan
terbuka lagi.

Dengan demikian perang Aceh berlangsung mulai sejak tahun 1873, terus sambungmenyambung
sampai tahun 1942, dimana Belanda angkat kaki untuk selama-lamanya,
adalah perang terlama di dalam sejarah perang kolonial Belanda di Indonesia. Perang
Aceh yang melanda hampir setiap daerah Aceh, dari mulai pantai sampai ke puncakpuncak
gunung, dengan pertempuran tanpa henti dan lelah, adalah bentuk perang yang
spesifik bagi Aceh.

Keberanian, pengorbanan dan daya tahan yang mengagumkan bagi setiap orang yang
mempelajari sejarah Perang Aceh, adalah berkat keyakinan yang kokoh terhadap ajaran
Islam, yang telah dimiliki sejak kelahiran Kesultanan Aceh pada tahun 1507. 



Baca Juga Yang Ini
ISlam Vs Kristen











[URL=https://cldmine.com/account/registration/13614][IMG]https://cldmine.com/assets/banners/en/728-90/1.gif[/IMG][/URL]