Translate

Powered by FeedBurner

Monday, August 16, 2010

PERANG BANJAR Islam Vs Kristen

PERANG BANJAR 
Sultan Tahmidillah I (1778 - 1808) mempunyai anak tiga orang, yang berhak
menggantikannya sebagai sultan, yaitu Pangeran Rahmat, Pangeran Abdullah dan
Pangeran Amir. Dalam perebutan kekuasaan, Pangeran Nata salah seorang saudara
Sultan Tahmidillah I, berhasil membunuh Pangeran Rahmat dan Abdullah.
Keberhasilan ini disebabkan bantuan Belanda yang diberikan kepada Pangeran Nata.
Oleh karena itu Pangeran Nata diangkat oleh Belanda menjadi sultan dengan gelar
Sultan Tahmidillah II.

Tampilnya Sultan Tahmidillah II menjadi sultan Banjar mendapat tantangan dan
perlawanan dari Pangeran Amir, salah seorang putera Sultan Tahmidillah I yang selamat
dari pembunuhan Sultan Tahmidillah II. Dalam pertarungan antara Sultan Tahmidillah
II yang sepenuhnya dibantu oleh Belanda, dengan Pangeran Amir, maka akhirnya
Pangeran Amir dapat ditangkap oleh Belanda dan di buang ke Ceylon.

Kemenangan Sultan Tahmidillah II atas Pangeran Amir harus dibayar kepada Belanda
dengan menyerahkan daerah-daerah Pegatan, Pasir, Kutai, Bulungan dan Kotawaringin.

Pangeran Amir mempunyai seorang putera bernama Pangeran Antasari, yang lahir pada
tahun 1809. Sejak kecil Pangeran Antasari tidak senang hidup di istana yang penuh
intrik dan dominasi kekuasaan Belanda. Ia hidup di tengah-tengah rakyat dan banyak
belajar agama kepada para ulama, dan hidup dengan berdagang dan bertani.


Pengetahuannya yang dalam tentang Islam, ketaatannya melaksanakan ajaran-ajaran
Islam, ikhlas, jujur dan pemurah adalah merupakan akhlaq yang dimiliki Pangeran
Antasari. Pandangan yang jauh dan ketabahannya dalam menghadapi setiap tantangan,
menyebabkan ia dikenal dan disukai oleh rakyat. Dan ia menjadi pemimpin yang ideal
bagi rakyat Kalimantan Selatan, khususnya Banjarmasin.

Wafatnya Sultan Tahmidillah II digantikan oleh Sultan Sulaiman (1824-1825) yang
memerintah hanya dua tahun; kemudian digantikan oleh Sultan Adam (1825-1857).
Pada masa ini kesultanan Banjar hanya tinggal Banjarmasin, Martapura dan Hulusungai.
Selebihnya telah dikuasai oleh Belanda. Setelah Sultan Adam wafat, Belanda
mengangkat Pangeran Tamjidillah menjadi Sultan Banjar, sedangkan rakyat
menghendaki Pangeran Hidayat; karena ia adalah putra langsung dari Sultan Adam.
Dalam menghadapi keruwetan ini Belanda tetap mempertahankan pangeran Tamjidillah
menjadi sultan dan mengangkat Pangeran Hidayat menjadi Mangkubumi.

Perlakuan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Belanda terhadap kesultanan Banjar
dan penindasan terhadap rakyat membangkitkan kemarahan rakyat untuk menentang
Belanda. Dalam kondisi seperti ini adalah wajar jika Pangeran Antasari sebagai
pemimpin rakyat tampil ke depan untuk memimpin perlawanan ini.

Dalam usaha menghadapi kekuasaan Belanda yang besar, Pangeran Antasari berusaha
untuk menghimpun semua potensi rakyat, termasuk pangeran Hidayat yang menjabat
sebagai Mangkumi. Pada pertengahan April, dua minggu sebelum pecah perang Banjar
tanggal 28 April 1859, terjadi dialog yang tegang dan penting antara Pangeran Antasari
dengan Pangeran Hidayat, dalam rangka mengajak Pangeran Hidayat untuk bersamasama
melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Dialog yang terjadi di rumah kediaman Pangeran Hidayat, antara lain berbunyi sebagai
berikut.

"Begini, Hidayat! Aku kemari atas nama rakyat dan semua pejuang-pejuang Banjar ...."

"...Sebentar !" Pangeran Hidayat memutus. "Siapa yang Paman maksudkan, dengan
rakyat dan pejuang-pejuang Banjar itu ?"

Pangeran Antasari dengan sabar menjawab: "Rakyat yang selama ini ditindas dan
diperlakukan sewenang-wenang, semua pejuang-pejuang Banjar yang berjuang untuk
mengakhiri penindasan dan perlakuan yang sewenang-wenang itu !".

"Dan Paman termasuk pula di antara pejuang-pejuang itu?" sela Pangeran Hidayat.

"Itu bukan suatu hal yang aib!" Jawab Pangeran Antasari dengan tajam. "Dan kau pun
akan bangga menjadi salah seorang dari mereka, jika kau tahu untuk apa dan siapa kau
baktikan hidupmu ini sebaik-baiknya".

"Jadi apa yang Paman harapkan dari saya ?" tanya Pangeran Hidayat.

"Kesediaanmu untuk berjuang bersama kami. Kesediaanmu untuk memimpin semua
perjuangan ini nanti !" Jawab Pangeran Antasari dengan tegas.


Pangeran Hidayat bangkit. Ia berjalan-jalan mondar-mondir sambil berpikir. "Tapi ini
berarti pemberontakan besar-besaran, Paman !"

Pangeran Antasari menjawab: "Pemberontakan adalah bahasa yang dipergunakan oleh
Belanda. Dan ini kedengaran sumbang di telinga kita. Kita tidak pernah menganggap
kompeni itu memerintah dengan sah di kerajaan ini. Karena itu, kita memakai bahasa
kita sendiri. Perang ! Perang mengusir penjajah asing !"

"Apapun bahasa yang Paman pakai, semuanya berakibat pertumpahan darah. Dan saya
telah melihat bahwa telah banyak darah mengalir di kerajaan ini. Ini sudah cukup dan
harus segera kita akhiri. Bukan sebaliknya akan kita mulai".

"Bagus, dan ironis. Kamu mempergunakan bahasa perikemanusiaan. Dan ini memang
merdu menggugah perasaan seperti suara bilal pada azan subuh. Tapi dapatkah kau
harapkan Kompeni akan mengucapkan apalagi mengamalkan bahasa yang serupa itu
terhadap kita ? Tidak, tidak dapat ! Kompeni akan mempergunakan bahasa kegemaran
mereka: merabit-rabit kita sekaum dan pertumpahan darah! Coba kau tunjukkan
kepadaku, bagaimana caranya kita menunjukkan sikap kemanusiaan kita terhadap
perlakuan yang tidak berperikemanusiaan ini ?"

Pangeran Hidayat nadanya melemah: "Saya hanya benci dan jemu melihat pertumpahan
darah yang sia-sia, Paman. Rakyat telah banyak berkorban untuk kita."

"Kau lupa, Hidayat. Peperangan ini baru hendak kita mulai. Adapun pertumpahan darah
yang kau takutkan itu sebenarnya belum lagi sungguh-sungguh terjadi. Agama kita akan
membenarkan peperangan ini sebagai perang sabil. Dan kematian yang dituntut dari
perjuangan ini tidaklah sia-sia, melainkan syahid. Kita hidup untuk Allah dan mati
untuk Allah!" ucap Pangeran Antasari bersemangat.

Namun Pangeran Hidayat merasa belum yakin. "Tidakkah ada jalan lain selain
pertumpahan darah ini, Paman" tanyanya kemudian.

"Ada!" Pangeran Antasari menjawab dengan tegas. "Dan jalan satu sudah dan sedang
kau tempuh untuk menghindari pertumpahan darah itulah kau mau menjadi apa saja,
sekalipun kau korban harga dirimu pada kompeni dan Tamjid!"

Pangeran Hidayat tersinggung. "Jika kata pengkhianat yang Paman maksudkan dengan
kata-kata: mau menjadi apa saja, maka saya berhak menolak tuduhan itu," bantahnya.
"Kecintaan saya kepada rakyat dan bumi di mana kita hidup dan bernapas ini, sama
besarnya dengan apa yang Paman rasakan. Dan apa artinya harga diri saya. Jika karena
itu saya harus menumpahkan sekian banyak darah mereka ".

"Aku tidak menyangkal bahwa kau pun mencintai rakyat dan kerajaan ini," Pangeran
Antasari balas menyanggah. "Karena itulah seluruh rakyat dan pejuang-pejuang Banjar
masih menaruh kepercayaan penuh kepadamu; masih menggantungkan keyakinan yang
sebesar-besarnya kepadamu, bahwa kelangsungan hidup kerajaan ini ada di tanganmu."

"Hanya yang tidak bisa kupahami ialah caramu menyatakan dan menunjukkan
kecintaanmu itu! Untuk mencegah pertumpahan darah kau bersedia ditunjuk oleh
Kompeni sebagai Mangkubumi!"


"Belum lagi kering air mata di atas jenazah kakekmu Sultan Adam yang disusul dengan
penobatan Tamjid, kau dengan kebencianmu kepada pertumpahan darah dan
kepercayaanmu yang penuh kepada Kompeni merupakan satu-satunya yang dapat
mencegah malapetaka yang tak berperikemanusiaan itu, telah sengaja atau tidak
menyerahkan pamanmu sendiri, Perabu Anom, yang menyebab pembuangannya!"

"Kemudian baru-baru ini kudengar lagi kabar, bahwa kau telah menyanggupi kepada
Residen Belanda untuk mendamaikan perlawanan rakyat dengan janji kepada mereka
yang melakukan perlawanan itu, pemeriksaan yang teliti dan keputusan hukuman yang
seadil-adilnya! Tentu saja aku termasuk pula di dalamnya, bukan ?" Jawab Pengeran
Antasari dengan getir.

"Ingatan paman sangat baik," jawab Pangeran Hidayat. "Apa yang Paman katakan itu
semua benar. Tentu Paman ingin menambahkan pula, bahwa karena tindakan-tindakan
itu semua, saya telah merugikan perjuangan rakyat. Saya bukan lagi menolongnya
malah menjerumuskannya!"

"Paman, saya tidak bermaksud membela diri. Semua itu saya lakukan karena pada dasar
hati saya, saya mempunyai kepercayaan penuh kepada manusia. Saya percaya bahwa
sebagian besar manusia menyukai hidup tenteram dan membenci pertumpahan darah.
Saya percaya bahwa segala macam pertentangan dapat diselesaikan dengan perundingan
tanpa kita harus saling membunuh."

"Sungguh akan menjadi khotbah yang menarik. Hanya jangan kau harapkan bahwa
Kompeni akan berbondong-bondong datang mendengarkan khotbahmu! Hidayat, apa
kamu masih juga percaya, bahwa kemerdekaan kita yang telah diinjak-injak oleh
Kompeni sekarang ini dapat ditebus dengan berunding hanya karena sebagian besar
umat manusia di muka bumi ini menyukai hidup tenteram dan membenci pengaliran
darah?"

Sejurus Pangeran Antasari berhenti sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Kita yang
sudah banyak mengaji mengetahui benar," lanjutnya, "bahwa Allah tidak akan
mengubah nasib kita, jika kita sendiri tidak berusaha mengubahnya".

"Saya tidak tahu lagi, Paman,'' Pangeran Hidayat terdesak. "Saya tidak tahu lagi apa
yang harus saya katakan."

"Kamu boleh tidak tahu apa yang harus kau katakan, tapi kau harus tahu apa yang harus
kau lakukan. Dan itu cuma satu. Pimpinlah perjuangan ini!" desak Pangeran Antasari.

"Mengapa Paman masih terus mengharapkan supaya saya memimpinnya?"

"Karena kau adalah ahli waris yang sah dari kerajaan ini."

Pangeran Hidayat menyanggah : "Saya tidak terlalu gembira dengan sebutan ahli waris
yang sah, karena saya tahu Paman pun berhak penuh atas kerajaan ini," katanya jujur.

"Saya tidak terlalu berterima kasih kepada leluhur saya yang menyebabkan saya
mendapat kehormatan dengan sebutan putera mahkota, karena saya tahu mereka telah
merebutnya dari datu-datu Paman. Turun-temurun keluarga Paman telah berjuang
mengusir Kompeni. Sedangkan saya...," ia menggeleng-geleng. "Tidak, Paman.
Mengapa tidak Paman sendiri meneruskan memimpinnya."


"Jangan kita seperti anak kecil, Hidayat," keluh orang tua itu kesal. "Membangkitbangkit
kesalahan orang yang telah dikubur. Apapun yang telah terjadi diantara mereka,
tidak menghapuskan adanya pertalian darah diantara kita. Aku sudah lanjut usia. Jika
Allah membenarkannya, sebenarnya aku tidak mengharapkan lebih daripada
kedudukanku yang sekarang ini. Tambahan pula rakyat masih percaya penuh kepada
wasiat kakekmu almarhum."

"Tetapi wasiat itu telah beliau batalkan sendiri dengan pengangkatan saya sebagai
Mangkubumi sekarang ini...Namun demikian", jawab Pangeran Antasari, "Bagi mereka
kau tidak saja ahli waris yang sah dari kerajaan ini, tetapi juga yang maha utama bagi
mereka. Kau merupakan lambang dari perasaan mereka yang ingin bebas, lambang dari
perjuangan mereka untuk satu. Karena itulah mereka mempertaruhkan segala-galanya
untukmu."

Pangeran Hidayat berjalan mondar-mandir, dan rupanya mulai termakan di hatinya.
"Siapa diantara pemuka-pemuka rakyat yang ikut…?" tanyanya.

"Aku telah menghimpun semua mereka. Pasukan dari daerah Barito, Kapuas, dan
Kahayan dipimpin oleh Tumenggung Surapati. Dari daerah Hulu Sungai dan Tanah
Laut dipimpin oleh tangan kananmu sendiri; Demang Lehman, bersama-sama
Tumenggung Antaluddin, Haji Buyasin, dan lain-lain. Benar-benar tenaga-tenaga muda
yang jarang ada tandingannya. Adapun pasukan dari daerah Benua lima, juga dipimpin
oleh orang kepercayaanmu sendiri, Jalil; dan Aling dari Muning telah memihak kepada
kita."

"Yang terakhir ini sudah saya dengar juga. Rupanya Paman tidak saja berhasil untuk
menyatukan Gerakan Benua Lima dengan Gerakan Maning, tapi sempat juga
menjadikannya besan."

"Ini suratan jodoh semata-mata," jawab Pangeran Antasari.

Setelah itu keduanya terdiam merenung sejenak. "Jadi semuanya mereka telah satu
mufakat ?" tanya Pangeran Hidayat.

"Kau jangan menyangsikan lagi", sahut pengeran Antasari tegas.

"Apakah Paman yakin bahwa Paman akan memenangkun peperangan ini?"

"Kita harus yakin, bahwa kita akan memenangkan kebenaran dari peperangan ini,"

Dua minggu kemudian, tepatnya tanggal 28 April 1859, Perang Banjar yang dipimpin
oleh Pangeran Antasari meletus, dengan jalan merebut benteng Pengaron milik Belanda
yang dipertahankan mati-matian. Pertempuran di benteng pengaron ini disambut dengan
pertempuran-pertempuran di berbagai medan yang tersebar di Kalimantan Selatan, yang
dipimpin oleh Kiai Demang Lehman, Haji Buyasin, Tumenggung Antaluddin, Pangeran
Amrullah dan lain-lain.

Pertempuran mempertahankan benteng Tabanio bulan Agustus 1859, pertempuran
mempertahankan benteng Gunung Lawak pada tanggal 29 september 1859;
mempertahankan kubu pertahanan Munggu Tayur pada bulan Desember 1859;


pertempuran di Amawang pada tanggal 31 Maret 1860. Bahkan Tumenggung Surapati
berhasil membakar dan menenggelamkan kapal Onrust milik Belanda di Sungai Barito.

Sementara itu Pangeran Hidayat makin jelas menjadi penentang Belanda dan memihak
kepada perjuangan rakyat yang dipimpin oleh Pangeran Antasari. Penguasa Belanda
menuntut supaya Pangeran Hidayat menyerah, tetapi ia menolak. Akhirnya penguasa
kolonial Belanda secara resmi menghapuskan kerajaan/kesultanan Banjar pada tanggal
11 Juni 1860. Sejak itu kesultanan Banjar langsung diperintah oleh seorang Residen
Hindia Belanda.

Perlawanan semakin meluas, kepala-kepala daerah dan para ulama ikut memberontak,
memperkuat barisan pejuang Pangeran Antasari bersama-sama pangeran Hidayat,
langsung memimpin pertempuran di berbagai medan melawan pasukan kolonial
Belanda. Tetapi karena persenjataan pasukan Belanda lebih lengkap dan modern,
pasukan Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayat terus terdesak serta semakin lemah
posisinya. Setelah memimpin pertempuran selama hampir tiga tahun, karena kondisi
kesehatan, akhirnya Pangeran Hidayat menyerah pada tahun 1861 dan dibuang ke
Cianjur, Jawa Barat.

Setelah Pangeran Hidayat menyerah, maka perjuangan umat Islam Banjar dipimpin
sepenuhnya oleh pangeran Antasari, baik sebagai pemimpin rakyat yang penuh dedikasi
maupun sebagai pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya
sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Kalimantan Selatan, maka pada
tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan
seruan: "Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah," seluruh rakyat, pejuang-pejuang,
para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat
Pangeran Antasari menjadi 'Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin'.

Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran Antasari untuk menolak, ia harus menerima
kedudukan yang dipercayakan kepadanya dan bertekad melaksanakan tugasnya dengan
rasa tanggung jawab sepenuhnya kepada Allah dan rakyat.

Dengan pengangkatan ini menyebabkan ia sekaligus secara resmi memangku jabatan
sebagai Kepala Pemerintahan, Panglima Perang dan Pemimpin Tertinggi Agama Islam.

Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin
dengan pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang
ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil
mendesak terus pasukan Khalifah. Dan akhirnya Khalifah memindahkan pusat benteng
pertahanannya di hulu Sungai Teweh. Pada awal Oktober 1862, bertempat di markas
besar pertahanan Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (Pangeran Antasari) di
hulu Sungai Teweh diselenggarakan rapat para panglima, yang dihadiri oleh Khalifah
sendiri, Gusti Muhammad Seman, Gusti Muhammad Said (keduanya putera khalifah
sendiri), Tumenggung Surapati dan Kiai Demang Lehman. Sedangkan para panglima
yang lain-lain tidak bisa hadir, karena perhubungan yang sulit dan letaknya jauh-jauh.

"Adakah kabar penting Lehman ?" Khalifah membuka percakapan.

"Oo tidak ... Tidak ada hal-hal yang terlalu luar biasa," jawab Lehman. "Hanya saja
kami semua mendengar bahwa Khalifah-sakit."


"Seperti yang kamu lihat sendiri, Lehman .... penyakit orang-orang telah berumur. Tapi
Insya Allah, aku akan sehat kembali. Hanya buat sementara pimpinan perjuangan di sini
kuserahkan kepada mereka bertiga ini ....," jawab Khalifah, Gusti Muhammad Seman,
Gusti Muhammad Said dan Tumenggung Surapati mengangguk, yang dibalas pula oleh
Kiai Demang Lehman.

Selanjutnya Kiai Demang Lehman menyampaikan pesan para panglima dari Hulu
Sungai dan Tanah Laut, yaitu Haji Buyasin dan Kiai Langlang, yang tidak sempat hadir
pada saat pelantikan Khalifah serta permohonan maaf dan doa semoga khalifah cepat
sembuh. "Kami para panglima yang berada di daerah Hulu Sungai dan Tanah Laut telah
berikrar dan bertekad bulat dibawah pimpinan Khalifah untuk berjuang dan bertempur
terus di mana pun kami berada, selama Allah subhanahu wata'ala memberikan daya dan
kemampuan kepada kami."

"Alhamdulillah…," ucap Khalifah. "Aku mengucapkan syukur dan terima kasih, kamu
semua masih tetap menaruh kepercayaan yang begitu besar demi kelangsungan
perjuangan kepadaku. Karena itu aku sungguh-sungguh yakin dan percaya, sekalipun
aku kelak sudah tidak ada lagi, kamu sekalian yang masih muda-muda ini, akan terus
memimpin dan melanjutkan perjuangan membela rakyat dan menegakkan syari'at Islam.
Kepadamu semua aku tidak dapat mewariskan apa-apa kecuali perjuangan ini. Kapan
berakhirnya perjuangan ini aku sendiri tidak tahu. Hanya yang pasti, perjuangan
manusia untuk menegakkan kebenaran dan keadilan akan terus berlangsung sepanjang
usia umat manusia.

Pembicaraan dalam pertemuan ini beralih kepada Muhammad Said, putera Khalifah,
dimana antara lain ia berucap: "Sulit menemukan kesempatan seperti dalam pertemuan
ini. Medan yang terpencar-pencar memaksa kita tidak dapat selalu bertempur bersama,
bertemu dan apalagi memperbincangkan sesuatu. Namun demikian kita diikat oleh satu
persamaan cita-cita dan tujuan, yang dihidupkan dan digerakkan oleh semangat perang
sabil.

"Inilah…," tekannya. "Tiga setengah tahun sudah kita menjalani perang ini. Korban
benda dan jiwa sudah tidak terkatakan. Korban harta dan orang-orang yang kita cintai.
Dan saya sendiri sudah kehilangan seorang isteri, ipar dan mertua dalam perang ini.
Allah Maha Tahu apa artinya mereka semua bagiku.."

Kembali ia terdiam merenung, lanjutnya: "Perang adalah sungguh-sungguh
kesengsaraan. Siapapun harus mengakui ini. Tetapi menyesalkah kita telah
melakukannya? Tidak! Karena kita tahu untuk apa kita ini berjihad!" katanya
bersemangat.

"Biar seribu kali Nieuwenhuyzen mengeluarkan maklumat proklamasinya yang
menyebut-nyebut bahwa tujuan pemerintah Belanda sekarang ialah menciptakan
kemakmuran rakyat, memegang teguh keadilan, ketertiban dan keamanan serta
menganggap kita binatang buruan yang mengembara dalam rimba-rimba belantara dan
menuduh kita menyalahgunakan nama Agama dan tanah air untuk membenarkan tujuan
perang kita, semuanya itu tidak ada artinya dan tidak melemahkan iman kita! Kompeni
boleh membunuh kita, tetapi tidak semangat kita! Lalu menyerah ... Menyerah setelah
sekian banyak korban, sekian banyak kesengsaraan? Lalu apa artinya korban dan
kesengsaraan selama tiga setengah tahun perang ini? Inilah yang menjadi tanda tanya
tentang menyerahkan kak Hidayat kepada Belanda. Kiai Demang Lehman adalah orang
yang paling dekat dengan kak Hidayat, tolong jelaskan."


Kiai Demang Lehman mengangguk, menunduk sebentar kemudian mengangkat muka.
"Mungkin sebagian kesalahan itu ada pada saya," ia mulai dengan suatu pengakuan
yang jujur. "Dan jika itu dinamakan kesalahan juga, maka kesetiaan itulah saya kira
asal-mula sebabnya. Hanya, kesetiaan saya itu bukanlah karena saya dari seorang
pemuda tanggung bernama Idis yang diangkatnya menjadi Lalawangan di Riam Kanan
dengan gelar Kiai Demang Lehman dan kemudian mendapat hadiah kedua macam
senjata ini," katanya sambil memperlihatkan senjata-senjatanya.

"Kesetiaan saya adalah kesetiaan seorang rakyat biasa terhadap pemimpin yang
dicintainya dan sebaliknya menyintai pula rakyatnya; kesetiaan kepada pemimpin yang
diharapkan membimbing rakyatnya keluar dari penindasan dan kesengsaraan. Dan di
atas segala-galanya kesetiaan kepada manusia."

Pembicaraannya terhenti. Kemudian ia lanjutkan: "Saya iba melihat Pangeran Hidayat
dan keluarganya terlunta-lunta dalam buruan Kompeni. Mengingat kekurangan senjata
dan penghidupan rakyat semakin sulit karena pertumpahan darah yang berlarut-larut,
maka saya mengusahakan penyerahannya dengan kepercayaan, tadinya, bahwa
penyerahannya akan mengakhiri semua kekalutan dan kesengsaraan itu. Tetapi diluar
dugaan saya, ia menerima begitu saja tekanan yang ditetapkan oleh Mayor Verspyck
tentang pengasingannya ke Jawa dan pengumuman kepada rakyat untuk meletakkan
senjata."

"Ini menyalahi sama sekali janji Mayor Koch kepada saya yang menjamin bahwa
Pengeran Hidayat tidak akan diasingkan ke Jawa! Akhirnya saya insaf bahwa saya telah
menempuh suatu cara yang salah, terlalu cepat percaya kepada apa yang seharusnya
haram untuk dipercayai!" Kiai Demang Lehman berhenti sebentar untuk menekankan
rasa geramnya atas pengkhianatan Belanda.

"Tetapi ketika Kompeni membawa Pangeran Hidayat dari Martapura ke Banjarmasin,
saya kerahkan rakyat Martapura, untuk membebaskannya kembali dari kapal api
tersebut; dan berhasil. Hanya pada akhirnya, belum sebulan kemudian ia kembali
menyerah untuk kedua kalinya," katanya menyesal.

"Adapun saya sendiri, Insya Allah pantang untuk mengulang kembali kesalahan itu buat
kedua kalinya. Dan saya bersumpah untuk menebus kesalahan pertama itu, kalau tadi
dinamakan juga kesalahan, dengan seluruh jiwa raga saya!" ujarnya dengan hati
berkobar tapi penuh taqwa. "Baru kemudian terasa, bahwa selain keimanan terhadap
Agama, kesetiaan terhadap perjuangan juga menuntut dan mengatasi kesetiaankesetiaan
lainnya"

Khalifah yang semenjak tadi berdiam diri, mulai sngkat bicara: "Yah…, kesalahan
semacam itu bukan tidak mungkin dapat juga kami perbuat. Hanya yang penting
sekarang ialah bahwa kita telah belajar dari pengalaman pahit," ujar khalifah lebih
lanjut.

"Mayor Verspyck ini telah mengirim surat kepadaku dengan perantaraan orang
kepercayaannya Kiai Rangga Niti Negara. Katanya, bahwa bilamana aku dan kawankawan
seperjuangan ingin memperbaiki kesalahan dan berhajat minta ampun kepada
Kompeni, maka Kiai itu berkuasa membawa kami ke Mentalat untuk mendapatkan
pengampunan dari Kompeni! Begitu kira-kira bunyi suratnya, Surapati?" tanyanya
kepada Tumenggung Surapati.


"Sungguh surat yang mentertawakan," jawab Tumenggung Surapati. "Menyerah dan
meminta ampun dengan perantaraan surat ? Bah…! Dengan meriam-meriamnya pun
haram kami menyerah, apalagi hanya dengan selembar kertas yang dibawa oleh kaki
tangan Kompeni semacam Niti Negara itu !"

Khalifah mengangguk, membenarkan pandangan itu. "Aku telah membalas surat itu,
Lehman", katanya. Kukatakan, bahwa aku berterima kasih atas segala perhatiannya!
Aku menyadari bahwa sebagai manusia aku mempunyai banyak kesalahan. Tetapi
kesalahan yang dimaksudnya adalah dari sudut pandangannya, pandangan seorang
kompeni terhadap seorang pribumi yang hina-dina!"

"Semua orang-kultt putih di Banjarmasin telah digaji oleh kompeni untuk mengadakan
segala macam perbuatan terkutuk, haram dan durhaka! Selanjutnya kukatakan, bahwa
mungkin usulnya akan kupertimbangkan jika ada surat resmi dari Gubernur Jenderal
dimana ditetapkan tegas-tegas, bahwa kesultanan Banjar dikembalikan sepenuhnya
kepada kami! Adapun usulnya supaya kami minta ampun kutolak dengan tegas. Kami
akan berjuang terus menuntut hak kami, hak kita semua! Inilah antara lain yang penting,
Lehman."

"Kita tidak akan mendapatkan apa-apa dari peperangan ini dengan berunding apalagi
menyerah! Kalau kita melakukannya juga, anak cucu kita sebagai pelanjut perjuangan
kita, akan menyalahkan kita, menghukum tindakan kita sebagai suatu kelemahan
perangai atau iman. Janji-janji kompeni membuat saya semakin jijik. Terutama dengan
pengalaman Hidayat yang dibuang sebagai rakyat jajahan ke Jawa. Jangankan Hidayat,
orang kepercayaannya sendiri seperti Tamjid dibuangnya, apalagi kita semua orang
yang terang-terangan menentangnya mati-matian."

Pertemuan diakhiri setelah mendengar suara azan Maghrib yang terdengar dari
kejauhan. Dan beberapa hari kemudian, pada tanggal 11 Oktober 1862, Panembahan
Amiruddin Khalifatul Mukminin (Pangeran Antasari) wafat; dan dimakamkan di Bayan
Begok, Hulu Teweh.

Walaupun Khalifah telah wafat, namun perlawanan berjalan terus, dipimpin oleh puteraputeranya
seperti Gusti Muhammad Seman, Gusti Muhammad Said dan para panglima
yang gagah perkasa. Pada tahun 1864, pasukan Belanda berhasil menangkap banyak
pemimpin perjuangan Banjar yang bermarkas di gua-gua.

Mereka itu ialah Kiai Demang Lehman dan Tumenggung Aria Pati. Kiai Demang
Lehman kemudian dihukum gantung. Sedangkan yang gugur banyak pula dari para
panglima, seperti antara lain Haji Buyasin pada tahun 1866 di Tanah Dusun, kemudian
menyusul pula gugur penghulu Rasyid, Panglima Bukhari, Tumenggung Macan Negara,
Tumenggung Naro.

Dalam pertempuran di dekat Kalimantan Timur, menantu Khalifah Pangeran Perbatasari
tertangkap oleh Belanda dan pada tahun 1866 diasingkan ke Tondano, Sulawesi Utara.
Kemudian Panglima Batur dari Bakumpai tertangkap oleh Belanda dan dihukum
gantung pada tahun 1905 di Banjarmasin.Terakhir Gusti Muhamad Seman wafat dalam
pertempuran di Baras Kuning, Barito pada bulan Januari 1905.

Gambaran singkat dari Perang Banjar yang berlangsung dari tahun 1859 dan berakhir
tahun 1905, terlihat dengan jelas bahwa landasan ideologi yang diperjuangkan adalah


Islam, dengan semboyan "Hidup untuk Allah dan mati untuk Allah", dengan jalan
perang Sabil dibawah pimpinan seorang Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin,
dan targetnya berdaulatnya kembali kesultanan Banjar. Dengan kata lain perang Banjar
adalah perang untuk menegakkan negara Islam yang utuh.

Baca Juga Yang Ini
Islam Vs Kristen






Sunday, July 25, 2010

PERANG PADRI Islam Vs Kristen

PERANG PADRI

Apabila diteliti masa Perang Padri di daerah Sumatera Barat dalam abad ke-19 dapat
digolongkan kepada beberapa priode, yaitu: 
(a) Priode 1809 - 1821
Priode ini adalah merupakan pembersihan yang dilakukan oleh kaum Padri terhadap
golongan penghulu adat yang dianggap menyimpang dan bertentangan dengan syari'at
Islam. Dalam masa ini terjadilah pertempuran antara kaum Padri melawan golongan
penghulu adat.

(b) Priode 1821 - 1832
Priode ini adalah merupakan pertempuran antara kaum Padri dengan Belanda-Kristen
yang dibantu sepenuhnya oleh golongan penghulu adat. Dalam masa ini sifat
pertempuran telah berubah antara penguasa kolonial Belanda-Kristen yang mau
menjajah Sumatera Barat yang dibantu oleh para penguasa bangsa sendiri yang
berkolaborasi untuk mempertahankan eksistensinya sebagai penguasa yang ditentang
secara gigih oleh kaum Padri.

(c) Priode 1832 - 1837
Priode ini adalah merupakan perjuangan seluruh rakyat Sumatera Barat, dimana kaum
Padri dan golongan penghulu adat telah barsatu melawan penguasa kolonial Belanda-
Kristen. Dalam masa ini rakyat Sumatera Barat dengan dipelopori dan dipmimpin oleh
para ulama yang tergabung dalam kaum Padri bahu-membahu di medan pertempuran
untuk mengusir penguasa kolonial Belanda-Kristen dari Sumatera Barat.

Latar belakang lahirnya kaum Padri mempunyai kaitan dengan gerakan Wahabi yang
muncul di Saudi Arabia, yaitu gerakan yang dipimpin oleh seorang ulama besar
bernama Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787). Nama gerakan Wahabi
sesungguhnya merupakan nama yang mempunyai konotasi yang kurang baik, yang
diberikan oleh lawan-lawannya, sedangkan gerakan ini lebih senang dan menamakan
dirinya sebagai kaum 'Muwahhidin' yaitu kaum yang konsisten dengan ajaran tauhid,
yang merupakan landasan asasi ajaran Islam.

Paham kaum Muwahhidin (Wahabi) ini antara lain:


(a) Yang boleh dan harus disembah hanyalah Allah semata; dan siapa saja yang
menyembah selain Allah, adalah musyrik;
(b) Umat Islam yang meminta safaat kepada para wali, syeikh atau ulama dan kekuatan
ghaib yang dipandang memiliki dan mampu memberikan safaat adalah suatu
kemusyrikan;
(c) Menyebut-nyebut nama Nabi, wali, ulama untuk dijadikan perantara dalam berdo'a
adalah termasuk perbuatan syirik;
(d) Mengikuti shalat berjamaah adalah merupakan kewajiban;
(e) Merokok dan segala bentuk candu adalah haram;
(f) Memberantas segala bentuk kemungkaran dan kemaksiatan;
(g) Umat Islam, harus hidup sederhana, segala macam pakaian mewah dan berlebihlebihan
diharamkan.
Sifat gerakan Wahabi yang keras ini, benar-benar merupakan tenaga penggerak yang
sanggup membangkitkan kembali kesadaran kaum muslimin yang sedang tidur lelap
dalam keterbelakangannya. Dibantu dengan para sahahatnya seperti Ibnu Sa'ud dan
Abdul Azis Ibnu Sa'ud, pemikiran dan cita-cita ini diwujudkan dalam gerakan yang
keras, akhirnya pada tahun 1921 menjelma menjadi satu pemerintahan yang berdaulat di
Saudi Arabia dengan ibukotanya Riyadh.

Paham dan gerakan Wahabi inilah yang mewarnai pandangan Haji Miskin dari Pandai
Sikat (Luhak Agam), Haji Abdur Rahman dari Piabang (Luhak Lima Puluh) dan Haji
Muhammad Arief dari Sumanik (Luhak Tanah Datar) yang bermukim di Mekah Saudi
Arabia dan pada tahun 1802 mereka kembali ke Sumatera Barat.

Sesampainya di Sumatera Barat, mereka berpendapat bahwa umat Islam di
Minangkabau baru memeluk Islam namanya saja, belum benar-benar mengamalkan
ajaran Islam yang sejati. Berdasarkan penilaian semacam itu, maka di daerahnya
masing-masing mereka mencoba memberikan fatwanya. Haji Muhammad Arifin di
Sumanik mendapat tantangan hebat di daerahnya sehingga terpaksa pindah ke Lintau.
Haji Miskin mendapat perlawanan hebat pula di daerahnya dan terpaksa harus pindah ke
Ampat Angkat. Hanya Haji Abdur Rahman di Piabang yang tidak banyak mendapat
halangan dan tantangan.

Kepindahan Haji Miskin ke Ampat Angkat membawa angin baru, karena di sini ia
mendapatkan sahabat-sahabat perjuangan yang setia; diantaranya yaitu Tuanku Nan
Renceh di Kamang, Tuanku di Kubu Sanang; Tuanku di Ladang Lawas, Tuanku di
Koto di Padang Luar, Tuanku di Galung, Tuanku di Koto Ambalau, Tuanku di Lubuk
Aur. Itulah tujuh orang yang berbai'ah (berjanji sehidup semati) dengan Tuanku Haji
Miskin. Jumlah para ulama yang berbai'ah ini menjadi delapan orang, yang kemudian
terkenal dengan sebutan 'Harimau Nan Salapan'.

Harimau Nan Salapan ini menyadari bahwa gerakan ini akan lebih berhasil bilamana
mendapat sokongan daripada ulama yang lebih tua dan lebih berpengaruh, yaitu Tuanku
Nan Tuo di Ampat Angkat. Oleh sebab itu Tuanku Nan Renceh yang lebih berani dan
lebih lincah telah berkali-kali menjumpai Tuanku Nan Tuo untuk meminta agar ia
bersedia menjadi 'imam' atau pemimpin gerakaa ini. Tetapi setelah bertukar-pikiran
berulang kali, Tuanku Nan Tuo menolak tawaran itu. Sebab pendirian Harimau Nan
Salapan hendak dengan segera menjalankan syari'at Islam di setiap nagari yang telah
ditaklukkannya. Kalau perlu dengan kekuatan dan kekuasaan.


Tetapi Tuanku Nan Tuo mempunyai pendapat Yang berbeda; ia berpendapat apabila
telah ada orang beriman di satu nagari walaupun baru seorang, tidaklah boleh nagari itu
diserang. Maka yang penting menurut pandangannya ialah menanamkan pengaruh yang
besar pada setiap nagari. Apabila seorang ulama di satu nagari telah besar pengaruhnya,
ulama itu dapat memasukkan pengaruhnya kepada penghulu-penghulu, imam-khatib
mantri dan dubalang.

Pendapat yang berbeda dan bahkan bertolak belakang antara Tuanku Nan Tuo dengan
Harimau Nan Salapan sulit untuk dipertemukan, sehingga tidak mungkin Tuanku Nan
Tuo dapat diangkat menjadi imam atau pemimpin gerakan ini. Untuk mengatasi
masalah ini, Harimau Nan Salapan mencoba mengajak Tuanku di Mansiangan, yaitu
putera dari Tuanku Mansiangan Nan Tuo, yakni guru daripada Tuanku Nan Tuo Ampat
Angkat. Rupanya Tuanku yang muda di Mansiangan ini bersedia diangkat menjadi
imam atau pemimpin gerakan Harimau Nan Salapan, dengan gelar Tuanku Nan Tuo.

Karena yang diangkat menjadi imam itu adalah anak daripada gurunya sendiri, sulitlah
bagi Tuanku Nan Tuo Ampat Angkat itu untuk menentang gerakan ini. Padahal
hakikatnya yang menjadi imam dari gerakan Hariman Nan Salapan adalah Tuanku Nan
Renceh; sedangkan Tuanku di Mansiangan hanya sebagai simbol belaka.

Kaum Harimau Nan Salapan senantiasa memakai pakaian putih-putih sebagai lambang
kesucian dan kebersihan, dan kemudian gerakan ini terkenal dengan nama 'Gerakan
Padri'.

Setelah berhasil mengangkat Tuanku di Mansiangan menjadi imam gerakan Padri ini,
maka Tuanku Nan Renceh selaku pimpinan yang paling menonjol dari Harimau Nan
Salapan mencanangkan perjuangan padri ini dan memusatkan gerakannya di daerah
Kameng. Untuk dapat melaksanakan syari'at Islam secara utuh dan murni, tidak ada
alternatif lain kecuali memperoleh kekuasaan politik. Sedangkan kekuasaan politik itu
berada di tangan para penghulu. Oleh karena itu untuk memperoleh kekuasaan politik
itu, tidak ada jalan lain kecuali merebut kekuasaan dari tangan para penghulu. Karena
Kamang menjadi pusat perjuangan Padri, maka kekuasaan penghulu Kamang harus
diambil alih oleh kaum Padri, dan berhasil dengan baik.

Sementara itu para penghulu di luar Kamang yang telah mendengar adanya gerakan
Padri ini, ingin membuktikan sampai sejauh mana kemampuan para alim-ulama dalam
perjuangan mereka untuk melaksanakan syari'at Islam secara utuh dan murni. Bertempat
di Bukit Batabuah dengan Sungai Puar di lereng Gunung Merapi, para penghulu dengan
sengaja dan mencolok mengadakan penyabungan ayam, main judi dan minum-minuman
keras yang diramaikan dengan bermacam pertunjukan. Para penghulu itu dengan para
pengikutnya seolah-olah memancing apakah para alim-ulama mampu merealisasikan
ikrarnya untuk betul-betul melaksanakan syari'at Islam secara keras.

Tentu saja tantangan ini menimbulkan kemarahan dari pihak kaum Padri. Dengan segala
persenjataan yang ada pada mereka, seperti setengger (senapan balansa), parang,
tombak, cangkul, sabit, pisau dan sebagainya kaum Padri pergi ke Bukit Batabuh
tersebut untuk membubarkan pesta 'maksiat' yang diselenggarakan oleh golongan
penghulu (penguasa). Sesampainya pasukan kaum Padri di Bukit Batabuh disambut
dengan pertempuran oleh golongan penghulu. Dengan sikap mental perang sabil dan
mati syahid, pertempuran yang banyak menelan korban di kedua belah pihak, akhirnya
dimenangkan oleh pasukan kaum Padri. Dengan peristiwa Bukit Batabuh, berarti
permulaan peperangan Padri.


Kemenangan pertama yang gemilang bagi kaum Padri, mendorong Tuanku Nan Renceh
sebagai pimpinan gerakan ini untuk memperkuat dan melengkapi persenjataan pasukan
Padri. Tindakan ofensif bagi daerah-daerah yang menentang kaum Padri segera
dilakukan. Daerah Kamang Hilir ditaklukkan, kemudian menyusul daerah Tilatang.
Dengan demikian seluruh Kamang telah berada di tangan kaum Padri.

Dari Kamang operasi pasukan Padri ditujukan ke luar yaitu Padang Rarab dan Guguk
jatuh ketangan kaum Padri. Lalu daerah Candung, Matur dan bahkan pada tahun 1804
seluruh daerah Luhak Agam telah berada di dalam kekuasaan kaum Padri.

Keberhasilan kaum Padri menguasai daerah Luhak Agam, selain kesungguhan yang
keras, tetapi juga kondisi masyarakatnya memang sangat memungkinkan untuk cepat
berhasil. Sebab daerah Luhak Agam terkenal tempat bermukimnya ulama-ulama besar
seperti Tuanku Pamansiangan dan Tuanku Nan Tuo, sedangkan pengaruh para penghulu
sangat tipis. Wibawa para penghulu berada di bawah pengaruh para ulama.

Operasi pasukan Padri ke daerah Luhak Lima Puluh Kota berjalan dengan damai. Sebab
penghulu daerah ini bersedia menyatakan taat dan patuh kepada kaum Padri serta siap
membantu setiap saat untuk kemenangan kaum Padri.

Dengan berkuasanya kaum Padri; maka daerah-daerah yang berada di dalam
kekuasaannya diadakan perubahan struktur pemerintahan yaitu pada setiap nagari
diangkat seorang 'Imam dan seorang Kadhi'. Imam bertugas memimpin peribadahan
seperti sembahyang berjamaah lima waktu sehari semalam, puasa, dan lain-lain yang
berhubungan dengan masalah-masalah ibadah. Kadhi bertugas untuk menjaga
kelancaran dijalankannya syari'at Islam dalam arti kata lebih luas dan menjaga
ketertiban Umum.

Di daerah Luhak Tanah Datar, pasukan kaum Padri tidak semudah dan selicin di daerah
Luhak Adam dan Lima Puluh Kota untuk memperoleh kekuasaannya. Di sini
pasukan kaum Padri mendapat perlawanan yang sengit dari golongan penghulu dan
pemangku adat. Sebab Luhak Tanah Datar adalah merupakan pusat kekuasaan adat
Minangkabau. Kekuasaan itu berpusat di Pagaruyung yang dipimpin oleh Yang
Dipertuan Minangkabau. Di waktu itu Yang Dipertuan atau Raja Minangkabau adalah
Sultan Arifin Muning Syah.

Pada pemerintahan Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung terdapat tiga orang raja
yang berkuasa yang dikenal dengan nama Raja Tigo Selo, yaitu :

(a) Raja Alat atau Yang Dipertuan Pagaruyung, adalah yang memegang kekuasaan
tertinggi di seluruh Minangkabau.
(b) Raja Adat, adalah yang memegang kekuasaan dalam masalah adat.
(c) Raja Ibadat adalah yang memegang kekuasaan dalam masalah agama.
Dalam pelaksanaan pemerintah sehari-hari Raja Tigo Selo dibantu oleh Basa Empat
Balai yang berkedudukan sebagai menteri dalam pemerintahan Minangkabau di
Pagaruyung. Mereka itu adalah :

-Dt. Bandaharo atau Tuan Tittah di Sungai Tarab, yang mengepalai tiga orang

lainnya atau dapat dikatakan sebagai Perdana Menteri;
-Makkudun di Sumanik, yang menjaga kewibawaan istana dan menjaga bubungan

dengan daerah rantau dan daerah-daerah lainmya;


-Indomo di Suruaso, yang bertugas menjaga kelancaran pelaksanaan adat;
-Tuan Kadhi di Padang Ganting; yang bertugas menjaga kelancaran syari'at atau

agama.

Di samping Basa Empat Balai ada seorang lagi, yaitu Tuan Gadang di Batipuh yang
bertindak sebagai Panglima Perang, kalau Pagaruyung kacau dialah bersama
pasukannya untuk mengamankannya.

Kekuasaan Raja Minangkabau sebetulnya tidak begitu terasa oleh rakyat dalam
kehidupan sehari-hari, karena nagari-nagari di Minangkabau mendapat otonomi yang
sangat luas, sehingga segala sesuatu di dalam nagari dapat diselesaikan oleh kepala
nagari melalui kerapatan adat nagari. Kalau masalahnya tidak selesai dalam nagari baru
dibawa ke pimpinan Luhak (kira-kira sama dengan kabupaten sekarang). Kalau masih
belum selesai diteruskan ke Basa Empat Balai untuk selanjutnya diteruskan ke Raja
Adat atau Raja Ibadat, tergantung pada masalahnya. Kalau semuanya tak dapat
menyelesaikan masalahnya, maka akan diputuskan oleh Raja Minangkabau.

Oleh karena itu gerakan Padri oleh Raja Minangkabau dan stafnya dianggap satu bahaya
besar, sebab gerakan ini akan mengambil kekuasaan mereka. Selain itu para bangsawan
pun cemas, karena khawatir adat nenek-moyang yang telah turun-menurun akan lenyap,
jika kaum Padri berkuasa.

Pertempuran sengit di daerah Luhak Tanah Datar antara pasukan Padri dengan pasukan
Raja berjalan sangat alot. Perebutan daerah Tanjung Barulak, salah satu jalan untuk
masuk ke pusat kekuasaan Minangkabau dari Luhak Agam, sering berpindah tangan,
terkadang dikuasai pasukan Padri, terkadang dapat direbut kembali oleh pasukan raja.
Walaupun begitu, pasukan Padri makin hari makin maju, sehingga daerah kekuasaan
para penghulu makin lama makin kecil. Untuk mencegah hal-hal yang lebih buruk bagi
para penghulu, akhirnya atas persetujuan Yang Dipertuan di Pagaruyung, Basa Empat
Balai mengadakan perundingan dengan kaum Padri.

Perundingan itu dilaksanakan di nagari Koto Tangah pada tahun 1808, sesudah enam
tahun gerakan kaum Padri melancarkan aksinya. Kaum Padri dalam perundingan itu
dipimpin oleh Tuanku Lintau yang datang dengan seluruh pasukannya, sedangkan para
penghulu dipimpin oleh Raja Minangkabau sendiri. Seluruh staf raja dan sanak
keluarganya hadir dalam pertemuan tersebut, tanpa menaruh curiga sedikit juga, karena
gencatan senjata telah disepakati sebelumnya.

Tetapi sekonyong-konyong keadaan menjadi kacau sebelum perundingan dimulai.
Karena kesalah-pahaman antara bawahan Tuanku Lintau yang bernama Tuanku Belo
dengan para staf raja, yang berakibat meledak menjadi perkelahian dan pertumpahan
darah.

Raja dan hampir sebagian terbesar staf dan keluarganya mati terbunuh dalam
perkelahian itu, hanya ada beberapa orang dari para penghulu dan seorang cucu raja
yang dapat selamat meloloskan diri sampai ke Kuantan.

Mendengar peristiwa berdarah ini, Tuanku Nan Renceh sebagai pimpinan tertinggi
gerakan Padri sangat marah terhadap Tuanku Lintau dan pasukannya, karena dianggap
melanggar gencatan senjata yang telah disepakati dan berarti menggagalkan usaha
perdamaian.


Dengan peristiwa ini, maka praktis seluruh Luhak Tanah Datar menyerah kepada kaum
Padri tanpa perlawanan, karena takut melihat pengalaman di Koto Tangah.

Untuk mengokohkan gerakan kaum Padri, Tuanku Nan Renceh telah memerintahkan
salah seorang muridnya yang bernama Malin Basa atau Peto Syarif atau Muhammad
Syahab, untuk membuat sebuah benteng yang kuat, sebagai markas gerakan kaum Padri.
Pemilihan Malin Basa, yang kemudian bergelar Tuanku Mudo nntuk membuat benteng
besar, guna menjadi pusat gerakan kaum Padri, disebabkan karena Malin Basa (Tuanku
Mudo) seorang murid yang pandai, alim dan berani.

Perintah Tuanku Nan Renceh sebagai pimpinan tertinggi gerakan Padri dan guru dari
Tuanku Mudo, dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan keberanian dan berhasil
memilih tempat di sebelah timur Alahan Panjang, di kaki bukit yang bernama Bukit
Tajadi. Dengan bantuan seluruh umat Islam yang tinggal di sekitar Alahan Panjang,
dimana setiap hari bekerja tidak kurang dari 5000 orang, akhirnya 'Benteng Bonjol'
yang terletak di bukit Tajadi itu menjelma menjadi kenyataan dengan ukuran panjang
kelilingnya kira-kira 800 meter dengan areal seluas kira-kira 90 hektar, tinggi tembok
empat meter dengan tebalnya tiga meter. Di sekelilingnya ditanami pagar aur berduri
yang sangat rapat.

Di tengah-tengah benteng Bonjol berdiri dengan megahnya sebuah masjid yang lengkap
dengan perkampungan pasukan Padri dan rakyat yang setiap saat mereka dapat
mengerjakan sawah ladangnya untuk keperluan hidup sehari-hari. Sesuai dengan
fungsinya, maka benteng Bonjol juga diperlengkapi dengan persenjataan perang, guna
setiap saat siap menghadapi pertempuran. Benteng Bonjol itu dipimpin langsung oleh
Tuanku Mudo yang bertindak sebagai 'imam' dari masyarakat benteng Bonjol, yang
sesuai dengan struktur pemerintahan kaum Padri. Oleh sebab itu, Tanku Mudo digelari
dengan 'Imam Bonjol'.

Setelah benteng Bonjol selesai dan struktur pemerintahan lengkap berdiri, Imam Bonjol
memulai gerakan Padrinya ke daerah-daerah sekitar Alahan Panjang dan berhasil
dengan sangat memuaskan. Keberbasilan Imam Bonjol dengan pasukannya
menimbulkan kecemasan para penghulu di Alahan Panjang seperti antara lain Datuk
Sati. Kecemasan ini melahirkan satu gerakan para penghulu di Alahan Panjang untuk
menyerang pasukan Imam Bonjol dan merebut benteng sekaligus. Pada tahun 1812
Datuk Sati dengan pasukannya menyerbu benteng Bonjol, tetapi sia-sia dan kekalahan
diderita olehnya. Untuk mencegah hal-hal yang lebih buruk, maka Datuk Sati mengajak
diadakannya perdamaian antara para penghulu dengan Imam Bonjol.

Keberhasilan Imam Bonjol menguasai seluruh daerah Alahan Panjang, ia kemudian
diangkat menjadi pemimpin Padri untuk daerah Pasaman. Untuk meluaskan kekuasaan
kaum Padri, Imam Bonjol mengarahkan pasukannya ke daerah Tapanuli Selatan. Mulai
Lubuk Sikaping sampai Rao diserbu oleh pasukan Imam Bonjol. Dari sana terus ke
Talu, Air Bangis, Sasak, Tiku dan seluruh pantai barat Minangkabau sebelah utara.

Setelah seluruh Pasaman dikuasai, maka untuk memperkuat basis pertahanan untuk
penyerangan ke utara, didirikan pula benteng di Rao dan di Dalu-Dalu. Benteng ini
terletak agak ke sebelah utara Minangkabau. Benteng Rao dikepalai oleh Tuanku Rao,
sedangkan benteng Dalu-Dalu dikepalai oleh Tuanku Tambusi. Kedua perwira Padri ini
berasal dari Tapanuli dan berada di bawah pimpinan Imam Bonjol.


Dengan mengangkat Tuanku Rao dan Tuanku Tambusi sebagai pimpinan kaum Padri di
Tapanuli Selatan, gerakan Padri berjalan dengan sangat berhasil, tanpa menghadapi
perlawanan yang berarti. Daerah-daerah di sini begitu setia untuk menjalankan syari'at
Islam secara penuh, sesuai dengan misi yang diemban oleh gerakan Padri.

Sementara kaum Padri bergerak menguasai Tapanuli Selatan dan daerah pesisir barat
Minangkabau, Belanda muncul kembali di Padang. Tuanku Pamansiangan salah
seorang pemimpin di Luhak Agam mengusulkan kepada Imam Bonjol untuk menarik
pasukan Padri dari Tapanuli Selatan dan menggempur kedudukan Belanda di Padang
yang belum begitu kuat. Karena baru saja serah terima kekuasaan dari Inggris (1819).
Tetapi perwira-perwira Padri seperti Tuanku Raos, Tuanku Tambusi dan Tuanku Lelo
dari Tapanuli Selatan berkebaratan untuk melaksakan usul itu, oleh karena itu Imam
Bonjol hanya dapat memantau kegiatan dan gerakan pasukan Belanda melalui kurirkurir
yang sengaja dikirim ke sana.

Belanda yang tahu bahwa daerah pesisir seperti Pariaman, Tiku, Air Bangis adalah
daerah strategis yang telah dikuasai kaum Padri, maka Belanda telah membagi pasukan
untuk merebut daerah-daerah tersebut. Dalam menghadapi serangan Belanda ini, maka
terpaksa kaum Padri yang berada di Tapanuli Selatan di bawah pimpinan Tuanku Rao
dan Tuanku Tambusi dikirim untuk menghadapinya. Pertempuran sengit terjadi dan
pada tahun 1821 Tuanku Rao gugur sebagai syuhada di Air Bangis. Perlawanan
pasukan Padri melawan pasukan Belanda diteruskan dengan pimpinan Tuanku Tambusi.

Kemenangan yang diperoleh Belanda dalam medan pertempuran menghadapi pasukan
Padri, menumbuhkan semangat bagi golongan penghulu, yang selama ini kekuasaannya
telah lepas. Dengan secara diam-diam para penghulu Minangkabau mengadakan
perjanjian kerjasama dengan Belanda untuk memerangi kaum Padri. Para penghulu
yang mengatasnamakan yang Dipertuan Minangkabau langsung mengikat perjanjian
kerjasama dengan Residen Belanda di Padang yang bernama Du Puy.

Dengan terjalinnya kerjasama antara para penghulu dengan Belanda, maka berarti kaum
Padri akan menghadapi bahaya besar. Dalam kondisi demikian, tiba-tiba Tuanku Nan
Renceh, Yang menjadi pimpinan tertinggi kaum Padri yang gemilang pada tahun 1820
wafat. Kekosongan ini secara demokrasi diisi oleh Iman Bonjol. Atas persetujuan para
perwira pasukan Padri, Imam Bonjol langsung memimpin gerakan Padri untuk
menghadapi pasukan gabungan Belanda-Penghulu.

Pada tahun 1821 pertahanan Belanda di Semawang diserang oleh pasukan Padri;
sedangkan pasukan Belanda yang mencoba memasuki Lintau dicerai-beraikan. Untuk
menguasai medan, pasukan Belanda membuat benteng di Batusangkar dengan nama
'Benteng atau Fort van der Capellen'. Berulang kali pasukan Belanda-Penghulu
menyerang kedudukan pasukan Padri di Lintau, tetapi selalu mendapati kegagalan,
bahkan pernah pasukan Belanda-Penghulu terjebak.

Perlawanan yang sengit dari pasukan Padri, mendorong Belanda untuk memperkuat
pasukannya di Padang. Pada akhir tahun 1821 Belanda mengirimkan pasukannya dari
Batavia di bawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff. Dengan bantuan militer yang
lengkap persenjataannya, pasukan Belanda melakukan ofensif terhadap kedudukan
pasukan Padri.

Operasi militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda-Penghulu ditujukan ke daerah
yang dianggap strategis yaitu Luhak Tanah Datar. Dengan menaklukkan Luhak Tanah


Datar, yang berpusat di Pagaruyung, menurut dugaan Belanda perlawanan pasukan
Padri akan mudah ditumpas. Oleh karena itu pada tahun 1822 pasukan Belanda-
Penghulu di bawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff menyerang Pagaruyung.
Pertempuran sengit terjadi, korban dari kedua pihak banyak yang berjatuhan. Karena
kekuatan yang tidak seimbang, akhirnya pasukan Padri mengundurkan diri ke daerah
Lintau setelah meninggalkan korban di pihak Belanda yang cukup besar.

Usaha pengejaran dilakukan terus oleh pasukan Belanda dengan jalan mendatangkan
bantuan dari Batusangkar. Tetapi pasukan Belanda sesampainya di Lintau seluruhnya
dapat dipukul mundur dan terpaksa kembali ke pangkalan mereka di Batusangkar.

Setelah Belanda memperkuat diri, ofensif dilakukan kembali dengan jalan memblokade
daerah Lintau, sehingga terputus hubungannya dengan Luhak Lima Puluh Kota dan
Luhak Agam. Walaupun nagari Tanjung Alam dapat direbut oleh pasukan Belanda,
tetapi usahanya untuk merebut Lintau dapat dipatahkan, karena pasukan Padri di Luhak
Agam di bawah pimpinan Tuanku Pamansiangan memberikan perlawanan yang sengit.
Kemudian Letnan Kolonel Raaff menyusun kembali pasukannya untuk merebut Luhak
Agam, Koto Lawas, Pandai Sikat dan Gunung; dan kali ini berhasil, setelah melalui
pertempuran dahsyat, di mana Tuanku Pamansiangan dapat tertangkap, yang kemudian
dihukum gantung oleh Belanda.

Pada akhir tahun 1822 pasukan Padri di bawah pimpinan Imam Bonjol melakukan
serangan balasan terhadap pasukan Belanda di berbagai daerah yang pernah
didudukinya. Pertama-tama Air Bangis mendapat serangan pasukan Padri. Operasi ke
Air Bangis ini langsung dipimpin oleh Imam Bonjol dibantu oleh perwira-perwira
pasukan Padri dari Tapanuli Selatan. Hanya dengan pertahanan yang luar biasa dan
dibantu dengan tembakan-tembakan meriam laut, Air Bangis dapat selamat dari
serangan pasukan Padri. Kegagalan ini, pasukan Padri mencoba merebut kembali daerah
Luhak Agam. Serangan pasukan Padri ke daerah ini berhasil merebut kembali daerah
Sungai Puar, Gunung, Sigandang dan beberapa daerah lainnya.

Awal tahun 1823 Kolonel Raaff mendapatkan tambahan pasukan militer dari Batavia.
Dengan kekuatan baru, pasukan Belanda mengadakan operasi militer besar-besaran
untuk merebut seluruh Luhak Tanah Datar. Tetapi di bukit Marapalam terjadi
pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan pasukan Padri selama tiga hari tiga
malam, sehingga Belanda terpaksa harus mengundurkan diri. Tetapi operasi militer
Belanda itu diarahkan ke Luhak Agam seperti daerah Biaro dan Gunung Singgalang.
Pertempuran sengit terjadi antara pasukan Belanda dengan pasukan Padri, tetapi karena
kekuatan pasukan Belanda jauh lebih besar, akhirnya daerah-daerah itu dapat
direbutnya. Kemenangan pasukan Belanda diikuti oleh tindakan biadab dengan jalan
melakukan pembunuhan massal terhadap penduduk, besar-kecil, laki-laki maupun
perempuan.

Pengalaman pertempuran selama tahun 1823, membuat Belanda berhitung dua kali.
Sebab banyak daerah yang telah direbutnya, ternyata dapat kembali diambil oleh
pasukan Padri. Operasi militer besar-besaran dengan tambahan pasukan dari Batavia
terbukti tidak dapat menumpas pasukan Padri. Oleh karena itu, untuk kepentingan
konsolidasi, Belanda berusaha untuk mengadakan perjanjian gencatan senjata. Usaha ini
berhasil, sehingga pada tanggal 22 Januari 1824 perjanjian gencatan senjata di Masang
ditanda-tangani oleh Belanda dan kaum Padri.


Perjanjian Masang hanya dapat bertahan kira-kira satu bulan lebih sedikit. Sebab
Belanda dengan tiba-tiba mengadakan gerakan militer ke daerah Luhak Tanah Datar dan
Luhak Agam. Melalui pertempuran dahsyat, pusat Luhak Tanah Datar dan Luhak Agam
dapat sepenuhnya dikuasai pasukan Belanda, dan mereka mendirikan benteng dengan
nama Fort de Kock di sana. Dengan kekalahan pasukan Padri di Luhak Tanah Datar dan
Luhak Agam, maka Imam Bonjol memusatkan kekuatan kaum Padri di benteng Bonjol
dan sekitarnya sambil sekaligus melakukan konsolidasi pasukan yang telah jenuh
berperang selama lebih dari dua puluh tahun lamanya.

Sementara itu pada tahun 1825 di Jawa telah pecah perang Jawa. Dengan timbulnya
perang Jawa ini, kekuatan pasukan Belanda menjadi terpecah dua: sebagian untuk
menghadapi perang Padri yang tak kunjung selesai, dan yang sebagian lagi harus
menghadapi Perang Jawa yang baru muncul. Karena perang Jawa dianggap oleh
Belanda lebih strategis dan dapat mengancam eksistensi Belanda di Batavia, pusat
pemerintahan kolonial Belanda (Hindia Belanda), maka mau tidak mau semua kekuatau
militer harus dipusatkan untuk menghadapi perang Jawa.

Untuk itu perlu ditempuh satu kebijaksanaan guna mengadakan perdamaian kembali
dengan kaum Padri di Sumatera Barat. Pada tahun 1825 usaha perdamaian dan gencatan
senjata dengan kaum Padri berhasil dicapai, dengan jalan mengakui kedaulatan kaum
Padri di beberapa daerah Minangkabau yang memang masih secara penuh dikuasainya.
Perjanjian damai dan gencatan senjata dipergunakan oleh Belanda untuk menarik
pasukannya dari Sumatera Barat sebanyak 4300 orang, dan mensisakannya hanya 700
orang saja lagi. Pasukan sisa sebanyak 700 orang serdadu itu, digunakan hanya untuk
menjaga benteng dan pusat-pusat pertahanan Belanda di Sumatera Barat.

Setelah Perang Jawa selesai dan kemenangan diperoleh oleh penguasa kolonial Belanda,
maka kekuatan militer Belanda di Jawa sebagian terbesar dibawa ke Sumatera Barat
untuk menghadapi Perang Padri. Dengan kekuatan militer yang besar Belanda
melakukan serangan ke daerah pertahanan pasukan Padri. Pada akhir tahun 1831,
Katiagan kota pelabuhan yang menjadi pusat perdagangan kaum Padri direbut oleh
pasukan Belanda. Kemudian berturut-turut Marapalam jatuh pada akhir 1831, Kapau,
Kamang dan Lintau jatuh pada tahun 1832, dan Matur serta Masang dikuasai Belanda
pada tahun 1834.

Kejatuhan daerah-daerah pelabuhan ke tangan Belanda mendorong kaum Padri, yang
memusatkan kekuatannya di benteng Bonjol, mencari jalan jalur perdagangan melalui
sungai Rokan, Kampar Kiri dan Kampar Kanan, di mana sebuah anak sungai Kampar
kanan dapat dilayari sampai dekat Bonjol. Hubungan Bonjol ke timur melalui anak
sungai tersebut sampai ke Pelalawan, dan dari sana bisa terus ke Penang dan Singapura,
dapat dikuasai. Tetapi jalur pelayaran ini, pada akhir tahun 1834 dapat direbut oleh
Belanda. Dengan demikian posisi pasukan Padri yang berpusat di benteng Bonjol
mendapat kesulitan, terutama dalam memperoleh suplai bahan makanan dan
persenjataan.

Kemenangan yang gilang-gemilang diperoleh pasukan Belanda menimbulkan
kecemasan para golongan penghulu, yang selama ini telah membantunya. Kekuasaan
yang diharapkan para penghulu dapat dipegangnya kembali, ternyata setelah
kemenangan Belanda menjadi buyar. Sikap sombong dan moral yang bejat yang
dipertontonkan oleh pasukan Belanda-Kristen, seperti menjadikan masjid sebagai
tempat asrama militer dan tempat minum-minuman keras, mengusir rakyat kecil dari
rumah-rumah mereka, pembantaian massal, pemerkosaan terhadap wanita-wanita,


memanjakan orang-orang Cina dengan memberi kesempatan menguasai perekonomian
rakyat, akhirnya menimbulkan rasa benci dan tak puas dari golongan penghulu kepada
Belanda. Kebencian dan kemarahan para penghulu menumbuhkan rasa harga diri untuk
mengusir Belanda dari daerah Minangkabau untuk melakukan perlawanan terhadap
Belanda secara sendirian tidak mampu, karenanya perlu adanya kerjasama dengan kaum
Padri.

Uluran tangan golongan penghulu disambut baik oleh kaum Padri. Perjanjian kerjasama
dan ikrar antara golongan penghulu dengan kaum Padri untuk mengusir Belanda, dari
tanah Minangkabau dilaksanakan pada akhir tahun 1832 bertempat di lereng gunung
Tandikat. Gerakan perlawanan rakyat Sumatera Barat terhadap Belanda dipimpin
langsung oleh Imam Bonjol.

Dalam perjanjian dan ikrar rahasia di lereng gunung Tandikat itu, telah ditetapkan
bahwa tanggal 11 Januari 1833, kaum Padri dan golongan penghulu beserta rakyat
Sumatera Barat secara serentak melakukan serangan kepada pasukan Belanda. Awal
serangan rakyat Minangkabau ini terhadap pasukan Belanda banyak mengalami
kemenangan, terutama di daerah sekitar benteng Bonjol, di mana pasukan Belanda
ditempatkan untuk melakukan blokade. Pasukan Belanda yang langsung dipimpin oleh
Letnan Kolonel Vermeulen Krieger, pimpinan tertinggi militer di Sumatera Barat, di
daerah Sipisang diporak-porandakan oleh pasukan Padri, sehingga, banyak sekali
serdadu Belanda yang mati terbunuh. Hanya Letnan Kolonel Vermeulen Krieger dan
beberapa orang anak buahnya yang dapat menyelamatkan diri dari pembunuhan itu.
Karena semua jalan terputus maka terpaksa Letnan Kolonel Vermeulen Krieger dengan
anak buahnya yang tinggal beberapa orang itu menempuh jalan hutan belantara untuk
bisa kembali ke Bukittinggi.

Apabila di daerah Alahan Panjang, serangan secara serentak dapat dilakukan oleh rakyat
Minangkabau dan berhasil memukul mundur pasukan Belanda, tetapi di Luhak Tanah
Datar dan Luhak Agam, serangan itu tidak dapat dilaksanakan. Faktor penyebabnya
ialah banyak daerah-daerah di sini belum menerima informasi dari hasil Ikrar Tandikat;
disamping banyak daerah-daerah strategis yang dikuasai Belanda. Bahkan ada juga
informasi ikrar ini jatuh ke tangan Belanda, sehingga orang-orang yang dicurigai segera
ditangkap. Di samping itu memang masih banyak para penghulu atau kepala adat yang
tetap setia kepada Belanda.

Timbulnya perlawanan serentak dari seluruh rakyat Minangkabau, sebagai realisasi
ikrar Tandikat, memaksa Gubernur Jenderal Van den Bosch pergi ke Padang pada
tanggal 23 Agustus 1833, untuk melihat dari dekat tentang jalannya operasi militer yang
dilakukan oleh pasukan Belanda. Sesampainya di Padang, ia melakukan perundingan
dengan Jenderal Riesz dan Letnan Kolonel Elout untuk segera menaklukkan benteng
Bonjol, yang dijadikan pusat meriam besar pasukan Padri, Riesz dan Elout
menerangkan bahwa belum datang saatnya yang baik untuk mengadakan serangan
umum terhadap benteng Bonjol, karena kesetiaan penduduk Agam masih disangsikan,
dan mereka sangat mungkin kelak menyerang pasukan Belanda dari belakang. Tetapi
Jenderal Van den Bosch bersikeras untuk segera menaklukkan benteng Bonjol, dan
paling lambat tanggal 10 september 1833 Bonjol harus jatuh. Kedua opsir tersebut
meminta tangguh enam hari lagi, sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16
September 1833.

Meskipun demikian, kedua opsir tersebut belum yakin dapat melaksanakan rencana
yang telah diputuskannya, sebab besar sekali kesulitan-kesulitan yang harus


dihadapinya. Pertama, karena mereka harus rnengerahkan tiga kolone: satu kolonne
harus menyerang Bonjol dengan melalui Suliki dan Puar Datar di Luhak Lima Puluh
Kota, dan satu kolonne dari Padang Hilir melalui Manggopoh dan Luhak Ambalau, dan
kolonne ketiga dari Ram melalui Lubuk Sikaping. Dan disamping itu harus disiapkan
pula satu kolonne yang pura-pura menyerang Padri di daerah Matur, supaya pasukan
Padri mengerahkan pasukannya ke sana. Sebelum pasukan menyerbu ke Bonjol,
kolonne-kolonne itu harus mampu menundukkan dan menaklukkan daerah-daerah di
sekelilingnya, dan merusakkan semua pertahanan rakyat di Luhak Agam.

Rakyat Padang Datar umumnya marah betul kepada tentara Belanda, karena melihat
kekejaman dan kesadisannya di Guguk Sigadang; dan rasa benci kepada kaki-tangan
Belanda yang bersifat sewenang-wenang serta mencurigai dan menangkap rakyat awam.

Sementara itu, Mayor de Quay mengutus Tuanku Muda Halaban untuk membujuk
Imam Bonjol supaya suka berunding dan berdamai dengan Belanda. Imam Bonjol
menyatakan kepada Tuanku Muda Halaban, bahwa ia bersedia berunding di suatu
tempat yang telah ditetapkan. Akhirnya perundingan itu dapat dilaksanakan.

Dalam kesempatan perundingan ini, tenggang waktu yang tersedia itu digunakan
dengan sebaik-baiknya oleh Belanda untuk menyiapkan pasukannya, di samping
diharapkan pasukan Padri menjadi lengah. Untuk memudahkan mencapai Bonjol, maka
Mayor de Quay mengerahkan pasukannya yang dibantu oleh 1500 penduduk dari Lima
Puluh Kota untuk membuat jalan melalui hutan-hutan lebat, yang membatasi Luhak
Lima Puluh Kota dengan Lembah Alahan Panjang.

Pasukan Padri ternyata tidak lengah untuk terus mengamat-amati semua persiapan
tentara Belanda itu, sehingga semua jalan masuk ke Lambah Alahan Panjang ditutupnya
dengan pelbagai rintangan, di kiri kanan jalan dipersiapkan kubu-kubu pertahanan.

Di satu bukit, di tepi jalan ke Tujuh Kota, di dekat Batu Pelupuh, di puncaknya yang
kerap kali ditutupi kabut dan awan, dibuat oleh pasukan Padri sebuah kubu pertahanan.
Dari sini dapat diperhatikan segala gerak-gerik pasukan Belanda dari jarak jauh. Kubu
pertahanan pasukan Padri yang strategis ini diketahui oleh Belanda. Karenanya pada
tanggal 10 September 1833, Jenderal Riesz mengerahkan rakyat Agam yang setia
kepada Belanda untuk menaklukkan kubu tersebut. Usaha penaklukan kubu ini gagal
total, dimana sebagian besar pasukan rakyat Agam mati dan luka-luka, dan memaksa
mereka kembali ke Bukittinggi.

Besok paginya, yakni tanggal 11 September 1833, Belanda mengerahkan 200 orang
tentaranya yang dilengkapi dengan meriam dan diperkuat oleh pasukan golongan adat
dari Batipuh dan Agam. Pada Jam 05.00 pagi pasukan Belanda telah dapat mendaki
bukit pertahanan pasukan Padri. Tetapi kira-kira 150 langkah mendekati kubu
pertahanan, dengan sekonyong-konyong pasukan Padri mendahului menyerang pasukan
Belanda. Pertempuran sengit terjadi, diantara kedua belah pihak banyak korban
berjatuhan. Tetapi karena kekuatan yang tak seimbang, akhirnya pasukan Padri
mengundurkan diri turun ke desa Batu Pelupuh dan bertahan di belakang pematangpematang
sawah. Belanda mengerahkan pasukannya untuk mengejarnya, dengan sangat
cerdik pasukan Padri bersembunyi ke hutan-hutan lebat yang sulit untuk dikejar oleh
pasukan Belanda. Desa Batu Pelupuh dan tujuh desa lainnya yang ditinggalkan pasukan
Padri habis dirampok dan dibumi-hanguskan oleh pasukan Belanda. Walaupun pasukan
Padri kalah, tetapi di pihak Belanda pun banyak sekali yang mati dan luka-luka; dan
dengan susah payah mereka dapat kembali ke Bukittinggi.


Setelah kubu pertahanan di bukit dekat Alahan Panjang dapat direbut pasukan Belanda,
maka Jenderal Riesz memusatkan serangan tipuan ke Matur. Sebagian pasukannya
diharuskan menduduki daerah Pantar, sebuah desa yang letaknya di seberang jurang
dekat kubu pertahanan pasukan Padri. Pasukan Belanda ini dibantu oleh pasukan ada
600 orang dari Batipuh, 400 orang dari Banuhampu, 300 orang dari Sungai Puar, 340
orang dari Empat Kota, 604 orang dari Ampat Angkat, dan 240 orang dari Tambangan;
seluruhnya berjumlah 2400 orang. Tetapi sebelum tentara Belanda datang di Pantar,
pada pagi-pagi sekali tanggal 12 September 1833, desa tersebut telah dibumi-hanguskan
oleh pasukan Padri. Di selatan Pantar yang telah menjadi lautan api, Belanda membuat
kubu pertahanan untuk menahan serangan-serangan pasukan Padri. Tetapi pasukan
Padri pun mengerti bahwa serangan pasukan Belanda ini hanya merupakan pancingan,
karenanya mereka tetap bertahan di kubu-kubu pertahanan mereka masing-masing.

Sementara itu pasukan Padri memperkuat Kota Lalang guna menahan tentara Belanda
yang datang dari arah Suliki yang dipimpin oleh Mayor de Quay. Pada tanggal 13
September 1833 pasukan Belanda telah dihadang oleh pasukan rakyat dari Tanah Datar,
sehingga perjalanannya terhambat. Dan baru pada tanggal 14 September 1833 tentara
Belanda melanjutkan serangannya ke Kota Lalang, yang dipertahankan dengan gigih
oleh pasukan Padri. Tentara Belanda banyak yang mati dan luka-luka. Pertempuran
berlangsung siang-malam dengan dahsyatnya, yang masing-masing pihak mengerahkan
semua kekuatannya. Karena kekuatan pasukan Padri yang jauh lebih kecil dan lebih
sederhana persenjataannya, akhirnya mengundurkan diri ke hutan belantara yang sulit
dikejar oleh tentara Belanda.

Kota Lalang yang ditinggalkan pasukan Padri dijaga oleh pasukan Jawa dan Adat; dan
tentara Belanda yang dibantu oleh ratusan pasukan adat dari Batipuh dan Lima Puluh
Kota meneruskan penyerbuannya menuju Bonjol. Dalam perjalanan yang sulit ini
pasukan Belanda senantiasa terjebak dengan serangan pasukan Padri dari belakang yang
bersembunyi di hutan lebat.

Serangan gerilya pasukan Padri dengan taktik "serang dengan tiba-tiba dan lenyap
secara tiba-tiba", menimbulkan kerugian yang besar bagi pasukan Belanda; dan
karenanya menimbulkan rasa takut bagi pasukan-pasukan adat yang membantunya.
Dengan diam-diam pasukan adat meninggalkan pasukan Belanda, sehingga menyulitkan
pasukannya untuk melanjutkan penyerbuan. Hujan yang turun terus-menerus menambah
kesulitan lagi bagi pasukan Belanda, selain pasukan yang basah kuyup hampir mati
kedinginan, juga pasukan pembawa makanan dan perlengkapan perang yang terdiri dari
pribumi, banyak yang tak tahan dan akhirnya melarikan diri. .

Dengan sisa-sisa kekuatan, pasukan Belanda sampai memasuki lembah Air Papa. Di
lembah ini, yang sisi-sisi tebingnya cukup curam, digunakan oleh pasukan Padri sebagai
kubu pertahanan dengan mudah menembak pasukan Belanda yang berada di bawah
lembah. Dalam posisi yang demikian, terpaksa pasukan Belanda memusatkan
pasukannya di lembah yang agak gersang, yang jauh dari jangkauan pasukan Padri.
Daerah terbuka yang digunakan pasukan Belanda memudahkan serangan bagi Pasukan
Padri. Kelemahan ini benar-benar digunakan oleh pasukan Padri. Serangan yang datang
dengan tiba-tiba, menyebabkan timbulnya kepanikan di kalangan pasukan Belanda,
dimana akhirnya tidak ada jalan lain kecuali mengundurkan diri dan membatalkan
rencana penyerbuan selanjutnya. Dengan diam-diam pasukan Belanda pada malam hari
meninggalkan medan pertempuran kembali ke Payakumbuh, dengan meninggalkan
korban yang mati maupun yang luka-luka banyak sekali.


Dari front barat, pasukan Padri telah mengetahuinya bahwa tentara Belanda akan
menyerang dari Manggopoh. Rakyat yang tinggal di sekitar Manggopoh seperti Bukit
Maninjau dan Lubuk Ambalau diyakinkan dan diancam oleh pasukan Padri untuk tidak
membantu pasukan Belanda.

Kolonne Belanda yang menyerang dari jurusan Manggopoh itu dipimpin oleh Letnan
Kolonel Elout. Mereka berangkat ke Tapian Kandi tanggal 11 September 1835. Di
daerah ini saja pasukan Belanda telah mendapat perlawanan pasukan Padri yang cukup
sengit, hanya karena tembakan meriam yang bertubi-tubi pasukan Padri terpaksa
mundur ke daerah Pangkalan. Pasukan Belanda terus mendesak pasukan Padri di
Pangkalan; pertempuran sengit terjadi hampir tiap langkah dari perjalanan pasukan maju
Belanda. Hanya dengan pengorbanan yang besar pasukan Padri dapat dipukul mundur
dan pasukan Belanda dapat sampai di Kota Gedang.

Dari dataran tinggi Kota Gedang ini ada dua jalan; yaitu ke utara menuju Bonjol dengan
melalui Tarantang Tunggang, dan ke timur menuju XII Kota. Letnan Kolonel Elout
pergi ke Tanjung untuk bertemu dengan Tuanku nan Tinggi dari Sungai Puar guna
mendapat petunjuk jalan yang terbaik untuk mencapai Bonjol. Tuanku dari Sungai Puar
memberi petunjuk jangan pergi ke Bonjol melalui XII Kota, karena rakyat di sana pasti
akan menghambatnya. Karenanya ia kembali ke Kota Gedang, tetapi gudang perbekalan
pasukan Belanda yang dikawal tidak begitu kuat disaat ditinggalkan telah habis dibakar
oleh rakyat. Dalam kondisi seperti ini, Letnan Kolonel Elout sebagai komandan pasukan
Belanda dari sektor barat memutuskan untuk mengundurkan diri.ke Kota Merapak.
Gerakan mundur pasukan Belanda diketahui oleh pasukan Padri, kesempatan dan
peluang ini digunakan sebaik-baiknya untuk melakukan pengejaran, dengan taktik
gerilya.

Serangan gerilya yang dilakukan pasukan Padri berhasil dengan gemilang bukan saja
ratusan tentara Belanda dan pasukan adat yang mati terbunuh, tetapi juga hampir semua
perlengkapan perang seperti meriam dan perbekalan semuanya dapat dirampas. Pasukan
Belanda hanya dapat membawa senjata dan pakaian yang melekat di tangan dan
badannya.

Kolonne ketiga dari pasukan Belanda yang datang dari jurusan utara melalui Rao
dipimpin oleb Mayor Eilers. Pasukan Eilers yang memang tidak begitu kuat, diberikan
kelonggaran, jika pasukannya tidak mampu melawan pasukan Padri di sebelah utara
Alahan Panjang, ia boleh maju hanya sampi Lubuk Sikaping saja. Di sini pasukannya
harus bertahan sambil menunggu informasi kolonne yang lain, yang menyerang dari
timur dan barat daerah Bonjol. Sambil menunggu berita dari kolonne-kolonne yang lain,
Mayor Eilers menghimpun pasukan dari kepala-kepala adat dari Tuanku Yang
Dipertuan di Rao dan Mandahiling untuk memperkuat pasukannya yang hanya terdiri
atas 80 orang serdadu. Usahanya berhasil dengan 1000 orang Rao, 400 orang
Mandahiling dan 500 orang Batak lainnya. Dengan kekuatan sekitar 2000 orang; Mayor
Eilers maju menuju Bonjol. Sepanjang perjalanan pasukan Belanda mendapat
perlawanan sengit dari pasukan Padri, baik dalam bentuk serangan gerilya maupun
pertempuran frontal dari benteng ke benteng.

Pada tanggal 18 September 1833 pasukan Belanda telah sampai di Alai, kira-kira dua
kilometer dari benteng Bonjol. Di sini pasukan Belanda telah mendapat perlawanan
yang luar biasa oleh pasukan Padri, pertempuran sudah sampai satu lawan satu.
Akibatnya korban di pihak pasukan Belanda banyak sekali baik yang mati maupun luka



luka. Untuk menghindari korban yang lebih banyak, akhirnya-pasukan Belanda
mengundurkan diri ke Bonjol Hitam. Pengunduran diri pasukan Belanda ini diikuti terus
dengan serangan-serangan pasukan Padri, baik siang maupun malam hari.

Karena terancam oleh kehancuran total, disamping ternyata dua kolonne dari timur
maupun barat telah mengundurkan diri, maka Mayor Eilers, pada tanggal 19 September
1833 memutuskan untuk mengundurkan diri, kembali ke pangkalan. Agar selamat dari
sergapan pasukan Padri di tengah jalan, pengunduran diri harus dilakukan tengah
malam.

Pada saat maghrib tiba, disaat tentara Belanda sedang sibuk berkemas-kemas untuk
melarikan diri, tiba-tiba menjadi panik, karena pasukan Padri menyerbu dengan cepat
dan keras. Pasukan Rao dan Mandahiling berhamburan keluar mencari selamat dengan
meninggalkan segala persenjataan dan perlengkapannya. Tentara Belanda juga tak
mampu menguasi keadaan dan bahkan turut lari tanpa menghiraukan teriakan
komandannya Mayor Eilers. Keadaan panik dan kacau, menyebabkan pasukan Belanda.
meninggalkan begitu saja meriam dan granat-granat serta senjata-senjata lainnya.
Bahkan pasukan yang luka parah sebanyak 50 orang ditinggalkan begitu saja, sampai
mati terbunuh semuanya. Hanya dengan susah payah, sisa-sisa pasukan Belanda pada
tanggal 20 September 1833, baru dapat selamat ke pangkalan.

Pengunduran diri pasukan Belanda adalah atas persetujuan Jenderal Van den Bosch;
karenanya ia datang sendiri ke Guguk Sigandang untuk menerima pasukan-pasukan
yang kalah itu. Dihadapan pasukannya, Jenderal Van den Bosch berucap: "Bila keadaan
memang tidak mengizinkan, dan kesulitan begitu besar, sehingga sulit diatasi, pasukan
boleh ditarik mundur; menunggu waktu yang tepat. Tetapi bagaimana pun Bonjol harus
ditaklukkan".

Pada tanggal 21 september 1833, Jenderal Van den Bosch memberi laporan ke Batavia
bahwa penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang diusahakan untuk konsolidasi guna
penyerangan selanjutnya.

Selama tahun 1834 tidak ada usaha yang sungguh-sungguh yang dilakukan oleh
pasukan Belanda untuk menaklukkan Bonjol, markas besar pasukan Padri, kecuali
pertempuran kecil-kecilan untuk membersihkan daerah-daerah yang dekat dengan pusat
pertahanan dan benteng Belanda. Selain itu pembuatan jalan dan jembatan, yang
mengarah ke jurusan Bonjol terus dilakukan dengan giat, dengan mengerahkan ribuan
tenaga kerja paksa. Pembuatan jalan dan jembatan itu dipersiapkan untuk memudahkan
mobilitas pasukan Belanda dalam gerakannya menghancurkan Bonjol.

Baru pada tanggal 16 April 1835, pasukan Belanda memutuskan untuk mengadakan
serangan besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol dan sekitarnya. Operasi militer
dimulai pada tanggal 21 April 1835, dimana dua kolonne pasukan Belanda yang
berkumpul di Matur dan Bamban, bergerak menuju Masang. Meskipun sungai itu
banjir, mereka menyeberangi juga dan terus masuk menyelusup ke dalam hutan rimba;
mendaki gunung dan menuruni lembah; guna meghindarkan dari kubu-kubu pertahanan
Padri yang dipasang disekitar tepi jalan.

Pada tanggal 23 April 1835 pasukan Belanda telah sampai di tepi sungai Batang
Ganting, terus menyeberang dan kemudian berkumpul di Batu Sari. Dari sini hanya ada
satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yang dikuasai oleh pasukan Padri. Jalan
sepanjang menuju Sipisang dipertahankan oleh pasukan Padri dengan pimpinan Datuk


Baginda Kali. Serangan-serangan pasukan Padri untuk menghambat laju pasukan
Belanda memang cukup merepotkan dan melelahkan, tetapi tidak berhasil menahan
secara total.

Sesampainya di Sipisang, pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan pasukan
Padri berjalan sangat kejam, tiga hari tiga malam pertempuran berlangsung tanpa henti,
sampai korban di kedua belah pihak banyak yang jatuh. Hanya karena kekuatan yang
jauh tak sebanding, pasukan Padri terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba
dan menyeberangi kali. Jatuhnya daerah Sipisang, dijadikan oleh pasukan Belanda
untuk kubu pertahanannya, sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.

Selain itu, satu kolonne pasukan Belanda pada tanggal 24 April 1835 berangkat menuju
daerah Simawang Gedang, yaitu daerah yang dikuasai pasukan Padri. Dengan kekuatan
hanya 500 orang pasukan Padri mencoba menahan tentara Belanda yang jumlah dan
kekuatannya jauh lebih besar. Pertempuran dahsyat tak terhindari lagi, berjalan alot;
walau akhirnya pasukan Padri mengundurkan diri.

Satu kompi pasukan tentara Bugis yang dibantu oleh pasukan adat dari Batipuh dan
Tanah Datar bertugas untuk mengusir pasukan Padri yang berada di luar daerah
Simawang Gadang. Bahkan pasukan Bugis bersama-sama pasukan adat Batipuh dan
Tanah Datar berhasil mendesak pasukan Padri sampai ke Batang Kumpulan. Tetapi
disini telah menunggu 1200 orang pasukan Padri untuk menghadang gerakan maju
pasukan Belanda. Usaha ofensif pasukan Belanda yang terdiri dari pasukan Bugis,
Batipuh dan Tanah Datar diporak-porandakan oleh pasukan Padri, hampir-hampir
sebagian terbesar mati terbunuh.

Kalaulah tidak segera bala bantuan pasukan Belanda datang dengan cepat dan dalam
jumlah besar, dapat diduga bahwa pasukan Belanda yang terdepan itu akan musnah
seluruhnya. Datangnya bala bantuan pasukan Belanda bukan dapat menyelamatkan sisasisa
pasukannya yang telah cerai-berai; tetapi juga mampu mendesak pasukan Padri,
sehingga daerah Kampung Melayu yang menjadi ajang pertempuran dapat dikuasai oleh
Belanda.

Kampung Melayu terletak di tepi sebatang sungai kecil, Air Taras namanya. Tidak
berapa jauh ke hilir sungai itu bertemu dengan sungai Batang Alahan Panjang.
Kampung Melayu tersembunyi di dalam sebuah lembah yang dilingkari oleh bukit-bukit
tinggi yang terjal.

Pasukan Padri yang mengundurkan diri dari daerah Kampung Melayu, bersembunyi di
bukit-bukit terjal dengan kubu-kubu pertahanan yang tersembunyi, untuk menjepit
pasukan Belanda yang ada di Air Taras. Pada tanggal 27 April 1835, pasukan Belanda
mencoba menyerang pasukan Padri yang berada di bukit-bukit terjal itu; tetapi hasilnya
nihil, bahkan puluhan tentaranya yang mati dan luka-luka.

Selama tiga hari pasukan Belanda melakukan konsolidasi dengan menambah
pasukannya. Baru pada tanggal 3 Mei 1835 operasi militer dapat dilanjutkan. Tetapi,
baru saja dimulai, Letnan Kolonel Bauer komandan pasukan Belanda telah terluka kena
ranjau. Di saat pasukan Belanda menyeberangi sungai Air Taras diserang oleh pasukan
Padri, sehingga banyak pasukannya yang tenggelam dan mati, karena senjata yang
digunakan macet terendam air. Pertempuran kemudian berkembang menjadi perang
tanding, yang tentunya menguntungkan pasukan Padri. Tetapi karena pasukan Belanda
jauh lebih besar, akhirnya pasukan Padri terdesak dan meninggalkan kubu-kubu


pertahanan yang ada di bukit-bukit terjal itu. Kemajuan yang diperoleh pasukan Belanda
di daerah ini tidak langgeng karena tidak berapa lama pasukan Padri datang menyerang
dengan kekuatan sekitar 500 orang.

Karena merasa daerah ini kurang aman, maka pasukan Belanda sebelum
meninggalkannya telah melakukan perampokan dan pembakaran rumah-rumah
penduduk dan ladang-ladang, sehingga menjadi daerah yang hangus terbakar.

Laju pasukan Belanda menuju Bonjol sangat lamban, hampir sebulan waktu yang
diperlukan untuk bisa mendekati daerah Alahan Panjang. Front terdepan dari Alahan
Panjang adalah Padang Lawas, yang secara penuh dikuasai oleh Pasukan Padri. Pada
tanggal 8 Juni 1835 pasukan Belanda yang mencoba maju ke front Padang Lawas
dihambat dengan pertempuran sengit oleh pasukan Padri. Hanya dengan pasukan yang
besar dan kuat persenjataannya dapat memukul mundur pasukan Padri, dan menguasai
front Padang Lawas.

Pada tanggal 11 Juni 1835 pasukan Belanda menuju sebelah timur sungai Alahan
Panjang, sedangkan pasukan Padri berada di seberangnya pasukan musuh yang
bersembunyi di benteng-benteng partahanannya senantiasa mendapat serangan gerilya
dari pasukan Padri, sehingga selama lima hari-lima malam, pasukan musuh tidak dapat
maju dan bahkan kehilangan 7 orang serdadunya mati dan 84 orang luka-luka.

Kampung Bonjol kira-kira 1200 hasta panjangnya dan 400 sampai 700 hasta lebarnya,
sebab bagian selatan dari dinding barat mundur kira-kira 200 hasta ke belakang. Letak
kampung ini antara 1000 atau 1200 hasta dari tepi timur suang Batang Alahan Panjang.
Di timur dan tenggaranya terdapat tebing terjal dan sebuah bukit yang tegak hampir
lurus keatas, yang dengan Bonjol dipisahkan oleh sebatang anak sungai kecil. Bukit ini
Tajadi namanya, menguasai lapangan di setelah barat dan timurnya. Di atas bukit ini
pasukan Padri membuat beberapa kubu pertahanan yang kuat dan baik letaknya, dan
dari sana mereka menembakkan meriam yang bermacam kaliber kepada musuh di
seberang barat Alahan Panjang.

Di kampung itu banyak rumah yang terbuat dari kayu, yang sebagian besar dinaungi
oleh hutan bambu, pohon-pohon kelapa dan pohon buah-buahan. Di sebelah barat dan
utara kampung Bonjol terbentang sawah luas.

Di sebelah timur Bonjol membujur bukit barisan tinggi membujur, yang diselimuti oleh
hutan lehat. Di balik timur bukit barisan itulah terletak tanah Lima Puluh Kota. Tanah di
sebelah selatan dan tenggara Lambah Alahan Panjang ini bergunung-gunung dan berbukit
batu yang benjal-benjol. Keadaan alam ini dipergunakan oleh pasukan Padri
sebagai benteng pertahanan yang paling besar dan menjadi markas besar Imam Bonjol.
Pada umumnya, semak, belukar dan hutan yang sangat tebal di sekitar Bonjol ini,
sehingga kubu-kubu pertahanan pasukan Padri tidak mudah dilihat dari luar. Di tengah
lembah mengalir dan berliku-liku sungai Batang Alahan Panjang dari utara ke selatan.

Pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835 pasukan Belanda membuat kubu pertahanan
yang kira-kira hanya 250 langkah dari Bonjol. Dengan menggunakan houwitser, mortir
dan meriam besar, menembaki benteng Bonjol, yang dibalas kontan oleh meriammeriam
pasukan Padri yang berada di bukit Tajadi. Karena posisi yang kurang
menguntungkan pasukan musuh maka banyak pasukannya yang mati dan terluka, oleh
karena itu Letnan Kolonel Bauer meminta kepada Residen Francis untuk memberikan
bala bantuan sebanyak 2000 orang lagi. Dan pada tanggal 17 Juni 1835 bala bantuan itu


datang. Pada tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan yang besar pasukan Belanda
memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu Bonjol. Sebelum pasukan musuh
sampai pada sasaran terakhir, di kampung Jambak dan Kota mendapat perlawanan yang
sengit dari pasukan rakyat dan Padri.

Di Bonjol yang merupakan markas besar pasukan Padri telah berkumpul komandankomandan
pasukan Padri yang datang dari daerah-daerah yang telah ditaklukkan
pasukan Belanda, yaitu dari Tanah Datar, Lintau, Bua, Lima Puluh Kuta, Agam, Rao
dan Padang Hilir. Semua bertekad bulat untuk mempertahankan markas besar Bonjol
sampai titik darah penghabisan, hidup mulia atau mati syahid.

Melihat kokohnya benteng Bonjol, disamping banyak tentaranya yang mati dan lukaluka,
pasukan Belanda tidak melakukan gerakan ofensif menyerang Bonjol tetapi
melakukan blokade terhadap Bonjol, dengan tujuan untuk melumpuhkan suplai bahan
makanan dan senjata pasukan Padri. Blokade yang dilakukan Belanda, ternyata tidak
efektif, karena justru benteng-benteng pertahanan pasukan musuh dan bahan
perbekalannya yang banyak diserang oleh pasukan gerilya Padri yang memang berada
di belakang pasukan musuh.

Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol masih menunggu bala
bantuan tentara, walau di sekitar Bonjol pasukan Belanda telah berkumpul, pada awal
Agustus 1835, sekitar 14.000 orang. Baru setelah datang bala bantuan tentara Belanda
yang terdiri dari pasukan Bugis; pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan dilakukan
terhadap kubu-kubu pertahanan pasukan Padri yang berada di bukit Tajadi. Satu persatu
kubu-kubu pertahanan strategis pasukan Padri ini jatuh ke tangan pasukan musuh.

Pada tanggal 5 September 1835 pasukan Bonjol menyerbu ke luar benteng
menghancurkan kubu-kubu pertahahan musuh yang dibuat sekitar benteng. Dengan
keberanian yang luar biasa pasukan Padri menyerang benteng-benteng Belanda, yang
banyak menelan korban di kedua belah pihak. Setelah serangan dilakukan, pasukan
Padri segera masuk kembali ke dalam benteng.

Sementara itu pasukan Belanda yang berada di Puar Datar diperintahkan oleh Letnan
Kolonel Bauer maju menuju Bonjol. Dalam perjalanannya pasukan Belanda ini harus
melalui desa Talang. Sesampainya di sini pasukan Padri yang dibantu oleh rakyat
melakukan perlawanan yang sengit, sehingga memaksa pasukan musuh kembali ke Air
Papa dan terus ke Puar Datar. Usaha mendatangkan bantuan untuk menyerang Bonjol
dari jurusan Luhak Lima Puluh Kota gagal.

Kegagalan menyerang Bonjol dari jurusan Luhak Lima puluh Kota, pada tanggal 9
September 1835, serangan ditempuh melalui Padang Bubus. Hasilnya sama, gagal,
bahkan pasukan Belanda banyak yang mati dan luka-luka. Dan Letnan Kolonel Bauer
yang menderita sakit, terpaksa dikirim ke Bukittinggi dan digantikan oleh Mayor
Prager.

Kebijaksanaan Mayor Prager tidak melakukan serangan ofensif ke Bonjol sampai
datangnya bala bantuan baru dari markas besarnya di Bukittinggi. Dalam kesempatan
yang terluang ini, pasukan Padri melakukan serangan gerilya terhadap kubu-kubu
pertahanan Belanda, memusnahkan gudang-gudang perbekalan dan gudang mesiu
bukan saja daerah di sekitar Bonjol, tetapi sampai jauh menyelinap ke Kumpulan,
Sirnawang Gadang dan Puar Datar.


Blokade yang berlarut-larut, menimbulkan keberanian rakyat untuk memberontak
terhadap pasukan Belanda, sehingga pada tanggal ll Desember 1835 rakyat desa Alahan
Mati dan Simpang mengangkat senjata kembali. Tentara Belanda tak mampu mengatasi
pemberontakan rakyat desa-desa ini, sehingga mendatangkan pasukan bantuan dari
serdadu-serdadu Madura. Hanya dengan bantuan pasukan Madura, Belanda dapat
memadamkan pemberontakan ini. Di desa Kumpulan juga terjadi peristiwa yang sama,
yaitu pemberontakan terhadap pasukan musuh.

Gerakan maju pasukan Belanda menyerbu benteng Bonjol yang tinggal beberapa ratus
kilometer, dalam tiga bulan ini, hampir-hampir tidak mengalami kemajuan yang berarti,
malah sebaliknya daerah-daerah yang telah ditaklukkan kembali memberontak; dan
tidak sedikit menimbulkan korban bagi pasukan musuh. Sambil menunggu bala bantuan
dari Batavia, Belanda mencoba melakukan perundingan dengan pasukan Padri.
Perundingan, yang sebenarnya hanya untuk mengulur-ulur waktu saja, ternyata ditolak
oleh ImamnBonjol. Peluang waktu ini dipergunakan oleh Imam Bonjol untuk
membangkitkan rakyat yang tinggal di garis belakang pasukan musuh untuk berontak.

Setelah kegagalan perundingan ini, dan tambahan pasukan dari Batavia telah tiba, maka
pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan Belanda melakukan serangan besar-besaran
terhadap benteng Bonjol, sebagai pukulan terakhir penaklukkan Bonjol. Serangan
dahsyat mampu menjebol sebagian benteng Bonjol, sehingga pasukan Belanda masuk
menyerbu dan berhasil membunuh putera serta keluarga Imam Bonjol. Tetapi serangan
balik pasukan Bonjol (Padri) mampu memporak-porandakan musuh sehingga terusir
keluar benteng dengan meninggalkan banyak sekali korban.

Kegagalan penaklukkan benteng Bonjol sekarang ini benar-benar memukul
kebijaksanaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia. Oleh karena itu Gubernur
Jenderal Hindia Belanda mengirimkan panglima tertingginya Mayor Jenderal Coclius
ke Bukittinggi untuk memimpin langsung serangan ke benteng Bonjol untuk kesekian
kalinya. Dengan mengunakan pasukan artileri yang bersenjatakan meriam-meriam besar
untuk memboboIkan benteng; diperkuat dengan pasukan infantri dan kavaleri, pasukan
Belanda memulai lagi serangannya ke benteng Bonjol.

Serangan yang bertubi-tubi dan dahsyat dengan hujan peluru meriam, masih memerlukan
waktu yang cukup lama, kira-kira 8 bulan lamanya. Setelah bukit Tajadi jatuh pada
tanggal 15 Agustus 1837, maka pada tanggal 16 Agustus 1837 benteng Bonjol yang
anggun dapat ditaklukkan. Tetapi tak berhasil menangkap Imam Bonjol, karena sempat
mengundurkan diri keluar benteng dengan pasukan Padri yang mendampinginya dan
terus menuju daerah Marapak. Imam Bonjol mencoba mengadakan konsolidasi terhadap
pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah, karena telah lebih 3 tahun bertempur
melawan Belanda, ternyata sia-sia. Hanya sedikit saja lagi pasukan yang masih siap
bertempur.

Melihat kenyataan semacam ini, Imam Bonjol menyerukan kepada pasukannya yang
terserak di mana-mana untuk kembali ke kampung halamannya masing-masing, untuk
memulai hidup baru sebagai rakyat biasa. Dan yang memang benar-benar tak ada lagi
semangat berjuang, dibenarkan untuk menyerah kepada Belanda.

Dalam pelarian dan persembunyiannya Imam Bonjol dengan pengawalnya dari hutan ke
hutan, lembah dan ngarai, memang sangat melelahkan, penderitaan kurang makan,
kurang tidur, sakit dan lelah mengakibatkan para pengawalnya hampir-hampir mati


semuanya. Dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba datang surat tawaran dari Residen Francis
di Padang untuk mengajak Imam Bonjol berunding.

Setelah dirundingkan bersama antara Imam Bonjol dan para stafnya, tawaran
perundingan dari Residen Francis di terima. Daerah perundingan dipilih Pelupuh, di
mana Imam Bonjol akan bertemu langsung dengan Residen Francis. Pada tanggal 28
Oktober 1837 Imam Bonjol dengan stafnya keluar dari Bukit Gadang menuju Pelupuh.
Sesampainya di Pelupuh, bukannya perundingan yang terjadi, tetapi sepasukan Belanda
telah siap menangkap Imam Bonjol dengan stafnya. Karena Imam Bonjol dan stafnya
tidak membawa senjata, sesuai dengan syarat-syarat perundingan akhirnya dengan
mudah pasukan Belanda menangkap Imam Bonjol dan stafnya. Dari Pelupuh Imam
Bonjol di bawa ke Bukittinggi dan terus ke Padang. Pada tanggal 23 Januari 1838
dipindahkan ke Cianjur, dan pada akhir tahun 1838 itu juga Imam Bonjol dipindahkan
ke Ambon. Baru tanggal 19 Januari 1839 Imam Bonjol dipindahkan ke Menado. Di sini
ia menemui ajalnya pada tanggal 8 Nopember 1864, setelah menjalani masa
pembuangan selama 27 tahun lamanya.

Dari fakta-fakta sejarah yang terungkap di muka, terlihat dengan gamblang bahwa sejak
awal timbulnya gerakan Padri sampai meletusnya Perang Padri dan tertangkapnya Imam
Bonjol sebagai pemimpin Padri terbesar, adalah satu usaha perjuangan politik merebut
kekuasaan guna dapat menjalankan Syari'at Islam dengan utuh dan murni. Umat Islam
Sumatera Barat dengan kaum Padrinya, sama dengan Diponegoro dengan Perang
Jawanya, mempunyai tujuan politik yang sama yaitu berdirinya satu negara yang
melaksanakan ajaran Islam secara utuh dan konsekwen. Dengan kata lain, perjuangan
Diponegoro dan Imam Bonjol mempunyai tujuan yang satu yaitu berdirinya Negara
Islam.

Baca Juga Yang Ini
Islam Vs Kristen




[URL=https://cldmine.com/account/registration/13614][IMG]https://cldmine.com/assets/banners/en/728-90/1.gif[/IMG][/URL]