Translate

Powered by FeedBurner

Monday, April 12, 2010

Perang Aceh Bag 1

PERANG ACEH

Sebagaimana diketahui bahwa kesultanan Aceh telah berdiri sejak tahun 1507 yang
diperintah oleh seorang sultan yang bernama Sultan Ali al Moghayat Syah, dan
mencapai titik kejayaannya pada saat Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam berkuasa
(1607-1636). Sejak itu kesultanan Aceh mengalami kemunduran, dengan pertentangan
diantara para pewaris, sehingga menimbulkan kerajaan kecil-kecil di daerah-daerah.
Walau demikian, kesultanan Aceh yang luas itu tidak pernah terjajah baik oleh Portugis,
Inggeris maupun Belanda, sampai tahun 1873.

Untuk menjaga netralisasi kesultanan Aceh; Inggeris dan Belanda negara kolonial yang
berkuasa di semenanjung Malaysia dan Indonesia, pada tahun 1824 telah mengadakan
perjanjian di London, yang terkenal dengan nama Traktat London, dimana antara lain
berisi:

(a) Belanda mengundurkan diri dari Semenanjung Malaysia dengan jalan menyerahkan
Malaka dan Singapura kepada Inggeris;
(b) Inggeris mengundurkan diri dari Indonesia dengan Jalan menyerahkan Bengkulu dan
Nias kepada Belanda;
(c) Belanda harus menjamin keamanan di perairan Aceh, tanpa mengganggu kedaulatan
negara itu.
Netralisasi kesultanan Aceh yang berdaulat, sejak tahun 1863 secara diam-diam tidak
diakui lagi oleh Belanda. Sebab pada tahun itu, Sultan Deli yang de jure berada di
bawah kekuasaan Aceh telah mengadakan perjanjian kerjasama dengan Belanda,
dimana dinyatakan bahwa Deli hanya mematuhi segala ketentuan dari Batavia.

Dengan perjanjian ini, Sultan Mahmud telah memberi konsesi kepada Belanda untuk
membuka perkebunan tembakau secara besar-besaran di Deli dengan syarat-syarat yang
sangat menguntungkan. Pada tahun 1864 penguasa kolonial Belanda telah dapat
mengekspor tembakau ke Negeri Belanda dengan keuntungan yang sangat
menggiurkan.

Untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya, pada tahun 1870 setelah didirikan
satu perusahaan tembakau dengan nama 'Deli Maatschappij', yang kantor pusatnya
berkedudukan di Amsterdam, Belanda. Pada tahun pertamanya perusahaan baru itu
telah mengeluarkan 200% dividen; pada tahun kedua 330%, pada tahun ketiga 1300%.
Perusahaan Deli Maatschappij telah memberi keuntungan yang luar biasa kepada
penguasa Hindia Belanda.
Pembukaan Terusan Suez pada tahun 1869, merubah alur pelayaran dari Eropa ke Asia
Timur tidak lagi melalui selatan, yaitu melalui Selat Sunda, tetapi lewat Aden dan
Kolombo terus ke Selat Malaka. Dengan demikian posisi pulau Sumatera, khususnya
Aceh menjadi sangat strategis.


Aceh yang telah mengetahui rencana pembukaan Terusan Suez dan posisinya di
kemudian hari yang sangat strategis dalam alur pelayaran internasnonal, serta sangat
mungkin menggiurkan negara-negara kolonial seperti Inggeris dan Belanda untuk
mencaploknya, maka pada tahun 1868 delegasi kesultanan Aceh berlayar menuju
Istambul untuk memohon kepada Sultan Turki agar menjadi pelindung kekhalifahan
kekuasaan tertinggi atas Negara Islam Aceh. Turki yang dalam posisi sangat lemah,
karena menghadapi negara-negara Kristen Eropa, terutama Perancis dan Inggeris, tidak
mampu untuk memberikan payung pengaman kepada Negara Islam Aceh yang letaknya
begitu jauh dari Turki. Dengan demikian missi delegasi Aceh gagal.

Selain itu keberhasilan penguasa kolonial Hindia Belanda dalam menumpas
peperangan-peperangan Banten, Jawa, Padri dan Banjarmasin menumbuhkan rasa
superioritas yang angkuh, bahwa seluruh Indonesia bisa menjadi daerah jajahannya
dalam waktu yang tidak terlalu lama. Satu-satunya daerah di Indonesia yang belum
terjamah oleh Belanda hanyalah Aceh.

Sesuai dengan watak kolonialis Eropa-Kristen, khususnya Belanda, hal-hal tersebut
diatas seperti keuntungan dan terbukanya terusan Suez dan keberhasilan menumpas
perlawanan umat Islam, mereka berbulat hati untuk melakukan ekspansi kekuasaan
kolonialnya ke Aceh.

Rencana untuk mencaplok kesultanan Aceh; dimulai oleh pertemuan Menteri Jajahan
Belanda E. de Waal dengan duta besar Inggeris Harris di Denhaag pada tahun 1869.
Hasil dari persekongkolan E.de Waal dan Harris (Belanda dan Inggeris) membuahkan
laporan Kepada Raja Belanda, di mana de Waal pada bulan Juni 1870 menulis
berdasarkan perundingan-perundingan dengan Inggeris, bahwa Aceh demi kepentingan
politik yang mendesak harus dikuasai Belanda.

Sejalan dengan hasil perundingan ini, maka Inggeris meminta pendapat gubernurnya di
Singapura, Sir Harry St, untuk memberikan pertimbangannya. Pada tanggal 9 Desember
1859, Sir Harry memberi jawaban bahwa direbutnya Aceh oleh Belanda akan sangat
menguntungkan bagi perdagangan Inggeris. Pendapat Sir Harry dipublisir oleh media
massa di Singapura, antara lain "Penang Gazette" tertanggal 10 Nopember 1871, di
mana berbunyi "Makin cepat ada suatu negara Eropa yang berwenang campur tangan di
Aceh, makin cepat pula daerah-daerah ini yang dahulu begitu subur dengan hasil-hasil
bumi timur akan hidup kembali dan akan pulih dari keruntuhannya sekarang".

Pada akhir Nopember 1871 lahirlah apa yang disebut Traktat Sumatera, dimana
disebutkan dengan jelas "Inggeris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan
terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian mana pun di Sumatera. Pembatasanpembatasan
Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan".

Usaha-usaha untuk menyerbu Aceh, makin santer didengarkan baik Nederland maupun
di Batavia, sehingga mendorong Multatuli pada bulan Oktober 1872 menulis surat
terbuka kepada Raja dimana antara lain berbunyi: "Gubernur Jenderal Anda, Tuanku
dengan bermacam dalih yang dicari-cari, paling-paling berdasarkan alasan provokasi
yang dibuat-buat, bersikap memaklumkan perang kepada sultan Aceh, dengan tujuan
merampas kedaulatan kesultanan itu, Tuanku, perbuatan ini tidak berbudi, tidak luhur,
tidak jujur, tidak bijaksana."

Peringatan yang dilancarkan oleh Multatuli, tidak dihiraukan sama sekali, dianggap
angin lalu saja. Persiapan-persiapan kearah operasi militer terus dilakukan. Setelah


telegram program menyerbu dari Den Haag tertanggal 18 Februari 1873 di terima oleh
Gubernur Jenderal Hindia Belanda, London, maka segera ia mengangkat
Nieuwenhuyzen, ketua Dewan Hindia Belanda dan dalam kedudukan ini nomor dua
dalam hierarki Hindia; sebagai komisaris pemerintah. Yang menjadi panglima tertinggi
militer ekspedisi dan penyerbuan ke Aceh ialah Mayor Jenderal J.H.R. Kohler,
komandan teritorial Sumatera Barat. Sebab Kohler telah lama mendapat perintah dari
London untuk mengumpulkan keterangan militer tentang Aceh. Bahkan di atas kertas
telah diperhitungkan berapa banyak pasukan yang diperlukan untuk opresai militer
tersebut.

Kohler dibantu oleh Kolonel E.C. van Daalen, yang menjabat sebagai wakil komandan
operasi.

Dengan cepat sekali Kohler dan van Daalen mulai menghimpun kekuatan pasukan yang
terdiri atas tiga batalyon dari kota-kota garnisun di Jawa, di samping itu juga suatu
batalyon 'Barisan Madura', pasukan-pasukan bantuan di bawah pimpinan perwiraperwira
Eropa. Mengingat musim barat biasanya jatuh bersamaan hujan badai besar di
Sumatera Utara pada akhir bulan April, maka dengan alasan itu operasi militer terhadap
Aceh, sekiranya belum selesai, hendaklah sebagian besar harus telah dilaksanakan.

Tidak mudah menghimpunkan keempat batalyon itu serta menambah artileri dan
kavaleri. Seluruhnya berjumlah tiga ribu orang; sekitar seribu orang tamtama dan
bintara Eropa dan 118 orang perwira. Ditambah seribu orang pekerja paksa sebagai
tukang pikul, narapidana yang harus melakukan kerja paksa di luar pulaunya sendiri.
Juga termasuk dalam ekspedisi ini 220 wanita Indonesia sebagai tenaga kerja dapur dan
teman tidur serdadu-serdadu Jawa dan Ambon; yang menurut ketentuan tradisionaloperasi
militer, delapan orang setiap kompi; dan akhirnya tiga ratus orang pelayan
perwira, dua orang bagi setiap perwira dan sisanya personil kantin.

Mengumpulkan operasi yang demikian pun sudah tidak mudah. Lebih sulit adalah
mempersenjatai infantri secara layak. Pasukan Belanda (NIL) tengah beralih dari
penggunaan bedil cara lama yang diisi dari depan menjadi penggunaan bedil Beaumont
modern yang diisi dari belakang, sebenarnya larasnya masih juga panjang-panjang, dan
dengan sangkur terpasang menjadi jauh lebih panjang dari sebagian besar serdadu.
Tetapi setidak-tidaknya bisa digunakan cara yang mirip menembak cepat; tentunya
kalau orang mahir menggunakannya.

Dan inilah justru kekurangan batalyon-batalyon pasukan Belanda di Aceh. Batalyon ke-
XII sedikit banyaknya telah dapat berlatih dengan Beaumont, Batalyon ke-IX
memperoleh bedil-bedil baru itu tidak lama sebelum masuk kapal, Batalyon ke-III
masih harus menggunakan senapan yang diisi dari depan. Memang ada satu batalyon
yang terlatih baik. menggunakan bedil-bedil baru itu, tetapi tidak mungkin menarik
pasukan pilihan dari seluruh Jawa tidak diikut-sertakan. Karena menurut dugaan, perang
Aceh tidak akan sehebat itu.

Mengerahkan pasukan militer sebanyak itu memang tidak mudah. Mempersenjatai
pasukan ekspedisi sebanyak itu lebih sulit. Tetapi yang paling sulit ialah memperoleh
ruang kapal untuk mengangkut pasukan ekspedisi. Seperti dikawatkan Loudon ke Den
Haag, keadaan angkutan ekspedisi laut sangat menyedihkan. Kapalnya tua-tua, ketel
uapnya bocor. Dengan susah payah diusahakan menjadi enam kapal kecil siap berlayar.
Dua kapal pemerintah dan enam kapal milik Nederlands Indische Stoomvaart


Maatschappij, akan mengangkut pasukan militer Belanda dengan sejumlah kapal layar
tua yang ditarik.

Keinginan Gubernur Jenderal Loudon adalah segera sesudah tangal 18 Februari 1873
akan mengirimkan Nieuwenhuyzen bersama beberapa kapal perang ke Aceh. Pasukan
ekspedisinya akan menyusul kemudian. Tetapi keadaan armada negara begitu buruk,
sehingga baru pada tanggal 7 Maret 1873 dua kapal perang siap berlayar.

Nieuwenhuyzen berangkat pada tanggal 7 Maret 1873. Kendatipun dia terlambat
berangkat, Loudon dan Franser van de Putte masih belum juga sependapat mengenai
instruksinya yang menjadi pertanyaan ialah sang Sultan Aceh serta-merta harus
dihadapkan pada pilihan mengakui kedaulatan Belanda atau perang; Loudon
menganggap hal itu mutlak perlu. Fransen van de putte (Menteri Jajahan Belanda)
sedikit masih samarsamar. Terutama ketika hari keberangkatan Nieuwenhuyzen dengan
pasukannya ke Aceh.

Perasaan geram terbukti dari telegram-telegram Loudon; seperti pada telegram tanggal 9
Maret 1873: "…tidak ada jaminan yang dapat dipikirkan kecuali pengakuan kedaulatan.
Tanpa ini ekspedisi tidak ada artinya. Harap segera berikan saya perintah tegas atau
membiarkan saya bertindak sepenuhnya atas tanggung jawab sendiri seluruhnya…"

Nieuwenhuyzen berada dalam perjalanan, dia sudah berada di depan pinang (artinya
pada kantor telegraf yang terakhir) dan masih juga mendapat telegram bertubi-tubi dari
Menteri Fransen yang tetap bersikeras bahwa alternatif tegas Loudon. (tuntutan
pertama), di sini ataupun di tempat lain, akan memberikan kesan buruk. Pendiriannya
tetap. Mulai dengan meminta pada Aceh kejelasan, pertanggungjawaban, penyelesaian
yang memuaskan, mengadakan perjanjian.

Dan kalau ini tidak diberikan? Jelas, hal ini bergantung pada keadaan. Pada tanggal 19
Maret 1873 Nieuwenhuyzen meneruskan perjalanan ke Aceh.

"Situasi yang kritis ini bagi Aceh sangat menyedihkan. Sebab Sultan yang naik tahta
pada tahun 1870 baru berusia 14 tahun, sehingga kesultanan diwakilkan oleh para
pembantunya. Sedangkan HabibAbdurrahman A1 Zahir yang menjabat sebagai perdana
Menteri belum kembali dari missi diplomatiknya ke Turki dan Amerika Serikat dan
Inggeris dalam rangka mencari bantuan senjata guna menghadapi penyerbuan Belanda.

Sebagaimana diketahui bahwa peran Habib Abdurrahman A1 Zahir sebagai Perdana
Menteri dan seorang ulama telah berhasil memadamkan intrik dan dendam kesumat di
kalangan para hulubalang dan kaum bangsawan di istana kesultanan Aceh. Ia telah
berhasil menghimpun para ulama dan rakyat Aceh untuk bahu-membahu membentuk
pasukan militer dalam menghadapi segala kemungkinan penyerbuan Belanda, ia pula
yang berulang kali memimpin delegasi Aceh ke Turki dan Timur Tengah.

Sikapnya yang tegas terhadap negara-negara asing, seperti diungkapkan dalam
percakapannya dengan Kraayenhoff, di mana antara lain berisi: "Aceh bersahabat
dengan Inggeris, Perancis dari Turki serta negara-negara lain, karena tidak dilukai oleh
negaranegara ini. Sebaliknya negeri Belanda yang sekarang ingin mempererat
persahabatan, tetapi tidak mengekang diri untuk merampas bagian-bagian dari Kesultanan
Aceh, seperti baru saja terjadi. Apakah itu yang dinamakan persahabatan?" Ilmu
yang luas dan wibawanya yang besar, baik di kalangan para hulubalang maupun para


ulama, merupakan benteng yang kokoh yang sulit untuk ditumbangkan; pada saat awalawal
Perang Aceh," demikian menurut kesan C. Snouck Hurgronye.

Walaupun demikian Aceh telah mempersiapkan diri untuk menghadapi penyerbuan
pasukan Belanda, dengan jalan membuat benteng-benteng dan kubu-kubu pertahanan
sepanjang pantai yang diperhitungkan akan menjadi tempat pendaratan pasukan musuh.
Pada tanggal 19 Maret 1873, kapal-kapal perang Belanda yang dipimpin oleh Jenderal

J.H.R. Kohler dan Kolonel Nieuwenhuyzen telah berada dilepas pantai Aceh. Dari kapal
'Citadel van Antwerpen' melalui surat-surat, Belanda memberikan ultimatum, dan
ultimatum itu dijawab oleh Sultan Aceh dengan menyatakan, antara lain: " .....
Kemudian daripada itu kami iringi harapan kami yang sungguh-sungguh, agar
hendaknya negeri kami jangan dihancurkan".
Dalam surat ini sultan tidak menyinggung secara langsung ultimatum pengakuan
kedaulatan Belanda atas Aceh. Karenanya Belanda mendesak agar Aceh memberikan
jawaban yang tegas, seperti surat yang dilayangkan kembali dari kapal Citadel van
Antwerpen, yang berisi antara lain : "Karenanya saya minta kembali agar seri paduka
tuanku sultan mengemukakan dengan tegas apakah sri paduka tuanku bersedia
mengakui kedaulatan sri baginda raja Belanda atas kerajaan Aceh. Tergantung kepada
bentuk jawaban surat ini, akan dapat saya menetapkan apakah penyerangan dapat
dihentikan atau tidak ". Surat ini ditandatangani oleh Kolonel Nieuwenhuyzen.

Sultan memberikan jawaban, yang berbunyi : "Mengenai permakluman yang dimaksud
dalam surat kami kemarin itu isinya tidak lain daripada mengemukakan bahwa dari
pihak kami tidak ada tumbuh sedikit pun keinginan untuk merubah hubungan
persahabatan yang sudah diikat. Sebab kami hanya seorang miskin dan muda dan kami
sebagai juga Gubernur Hindia Belanda; berada di bawah perlindungan Tuhan Yang
Mahakuasa. Akhirul kalam kami sampaikan salam kepada tuan-tuan sekalian…"

Dalam jawaban surat sultan ini terlihat dengan jelas, bahwa Aceh tidak mau mengakui
kedaulatan Belanda, Aceh hanya mengakui kedaulatan Tuhan.

Jawaban sultan tentunya sangat tidak memuaskan Belanda, sehingga pada tanggal 26
Maret 1873 Nieuwenhuyzen menyataan perang kepada Aceh. Pagi berikutnya, kapal
yang ditumpangi Nieuwenhuyzen, Citadel van Antwerpen, melepaskan tembakan ke
arah sebuah benteng pantai, yang baru saja selesai dibangun oleh pasukanAceh.

Di Den Haag sejak tanggaI 19 Maret 1873 sama sekali berada dalam ketidak-pastian.
Pada tanggal 2 April 1873 koran-koran Belanda menerbitkan sebuah telegram Reuter
dari Pinang, yang memuat pernyataan perang itu. Pemerintah Belanda tidak menerima
berita apapun. Tidak ada hubungan langsung dengan Nieuwenhuyzen. Frans van de
Putte telah meminta Loudon menyampaikan buku kode kepada Nieuwenhuyzen, agar
pada waktu yang bersamaan ia dapat memberikan berita ke Den Haag dan Batavia.

Loudon menjawab bahwa tidak ada waktu untuk menyuruh membuat salinan buku
kode. Jelas dia takut akan tindakan Den Haag. Lagi pula, antara tanggal 1 dan 5 April
1873 kabel laut antara Singapura dan Batavia terganggu lagi. Berita resmi tentang
pernyataan perang baru mencapai Loudon pada tanggal 5 April 1873, Den Haag sendiri
sehari kemudian pada hari-hari pasukan pendaratan untuk melakukan pengintaian.
Pendaratan pasukan utama Belanda baru menyusul dua hari kemudian. Sejak saat yang
pertama, Perang Aceh secara militer pun lain daripada semua perang yang terdahulu.


Bila di nusantara dianggap 'normal' bahwa suatu pendaratan pasukan yang begitu besar
dihadapi dengan penarikan mundur musuh yang terorganisasi secara umum,
pertempuran di Aceh satu lawan satu. Pada waktu batalyon-batalyon mendarat,
sembilan orang tewas dan 46 orang luka dan sebagian besar karena serangan kelewang.
Hanya dengan sangkur yang tidak praktis, serdadu-serdadu Belanda itu sempat
mengelakkan serbuan-serbuan dahsyat pasukan tentara Islam Aceh. Artileri orang Aceh
pun lebih baik daripada yang pernah pasukan Belanda hadapi. Pada hari pertama,
Citadel van Antwerpen terkena dua belas tembakan meriam.

Rencana perang Kohler sederhana sekali. Akan didirikannya sebuah pangkalan di
sekitar muara Sungai Aceh, dan dari sini pasukan Belanda maju menuju keraton
kediaman Sultan; yang sekaligus menjadi ibukota. Bila ini telah direbut, maka menurut
pengertian pasukan Belanda (NIL) telah terlaksana pekerjaan yang utama. Begitu pusat
pemerintahan dikuasai, menurut anggapan Belanda, Aceh pasti akan menyerah.

Tetapi di mana tepatnya letak kraton, orang Belanda tidak tahu persis. Bagaimana amat
miskinnya-informasi mereka, ternyata dapat dilihat dari Buku Saku Ekspedisi pasukan
Belanda di Aceh, yang diberikan kepada para perwira. Di dalamnya dikemukakan
bahwa keraton adalah 'sebuah tempat yang luas dan besar yang terdiri dari berbagai
kampung, dengan banyak sawah, lapangan, kebun kelapa, serta kira-kira 6.000 jiwa
yang bermukim'. Dalam kenyataannya, tempat sultan bersemayam paling-paling hanya
beberapa ratus orang penghuninya dan letak bangunannya lebih ke sebelah sana sungai
dibandingkan dengan desa-desa yang sedikit banyak tergabung di dalamnya dan
kampung Cina yang kecil.

Pada uraian ini di sertakan dengan sebuah 'gambar' bagan figuratif Afdeling Utama
Aceh, dengan menggunakan gambar-gambar perlambang, yang sebenarnya sangat tidak
figuratif kelihatannya. Kuala sungai di situ sudah sama saja salah letaknya seperti juga
keratonnya sendiri, desa-desa pesisir bergeser, jalan jalan semuanya tidak cocok dengan
yang digambarkan. Keterangan-keterangan beberapa orang mata-mata yang turut serta
dibawa ternyata tidak ada harganya. Di antara mereka ini terdapat Arifin. Dia turut
dalam ekspedisi pasukan Belanda tetapi tidak mempunyai peranan apapun.

Pantai Aceh yang berawa-rawa dengan pepohonan tinggi menjulang di belakangnya
tidak memungkinkan melakukan pengamatan visual yang agak jauh. Ketika mencari
keraton, pada tanggal 11 April 1873 ditemukan sebuah benteng yang semula di duga
adalah keraton: ruang yang dikelilingi tembok dengan beberapa ruangan bangunan di
dalamnya. Ternyata bukan keraton, tetapi sebuah masjid, yang mati-matian
dipertahankan bagaikan sultan sendiri yang bersemayam di sini. Masjid itu ditembaki
hingga terbakar dan dapat direbut dengan mengalami kerugian berat di pihak pasukan
Belanda. Tetapi pada hari itu juga Kohler menyuruh meninggalkan benteng masjid itu,
karena menurut dia pasukan terlalu letih untuk dapat bertahan dalam posisi yang begitu
terancam.

Segera pula pasukan Aceh menduduki masjid itu dengan sorak kemenangan. Pekikan
perangnya terdengar menyeramkan, terutama pada malam hari. Penarikan mundur ini
lagi-1agi merupakan tindakan yang keliru dalam suatu perang kolonial, hingga tiga hari
kemudian Kohler terpaksa memerintahkan merebut kembali kompleks bangunan masjid
dengan menderita kerugian besar bagi pasukannya. Dia sendiri merupakan korban
dalam kekeliruan ini. Ketika berdiri dalam kubu masjid itu pada tanggal 14 April 1873
sebutir peluru menembus dadanya dan menewaskannya. Saat itu seluruh pasukan
Belanda kehilangan semangat.


Mestinya orang sudah meragukan strategi seorang panglima tertinggi yang mula-mula
menduduki suatu kubu musuh seperti itu, lalu meninggalkannya dan kemudian
menyuruh menaklukkannya lagi. Tetapi penggantinya Kolonel Van Daalen tidak
ditinggalkan suatu rencana perang apapun. Kohler sama sekali tidak pernah
menceritakan apa-apa kepadanya.

Dalam keadaan yang tidak menguntungkan barisan, pasukan Belanda maju lagi menuju
keraton. Garis hubungan dengan markasnya dipantai, yang hanya beberapa kilometer
dari masjid letaknya, senantiasa terancam oleh pasukan-pasukan gerilya Aceh, yang
pejuangpejuangnya memakai baju putih tanpa takut mati, ya, bahkan ingin mati,
menyerbu batalyon-batalyon serdadu Belanda itu. Tengah malam terjadi sergapan dan
penembakan. Pada tanggal 16 April 1873 dua dari tiga batalyon itu menyerang keraton.
Mereka dipukul mundur dengan seratus orang mati dan luka-luka dipihak pasukan
Belanda.

Malam hari itu Van Daalen melakukan sidang dewan di medan. Para kolonel umumnya
berpendapat harus mengundurkan diri. Di Aceh diperlukan sarana-sarana yang lain
sekali daripada yang dimiliki. Dengan diketuai oleh Nieuwenhuyzen kemudian
dimusyawarahkan di kapal Citadei Van Antwerpen tentang nasib pasukan militernya.
Menurut para perwira 'ternyata sudah musuh gigh yang melawan lebih besar
kekuatannya'. Komandan Angkatan Laut berpendapat bahwa musim barat telah tiba
dengan turunnya hujan-hujan pertama, yang menjadikan perkemahan tergenang air.
Baik keamanan kapal-kapal maupun 'hubungan tanpa gangguan antara pelabuhan dan
darat tidak terjamin, sehingga pengiriman bala bantuan yang telah diputuskan oleh
Batavia pun tidak akan ada artinya lagi. 

Baca Selanjutnya PERANG ACEH BAGIAN KE 2

Sunday, April 11, 2010

PERANG BANTEN Islam Vs Kristen

PERANG BANTEN

Kemenangannya dengan Sultan Hasanuddin pada tahun 1667, membawa tekad yang
lebih besar bagi Belanda untuk menundukkan Banten di bawah pimpinan Sultan Ageng
Tirtayasa. Strategi ini ditempuh, pertama, karena Banten adalah kekuasaan pemerintah
Islam yang paling dekat dengan Batavia, dan senantiasa bisa mengancam keamanan dan
ketenteraman Belanda di pusat pemerintahannya di Batavia. Kedua, Belanda telah
mengadakan perjanjian damai dengan pemerintahan Mataram di bawah pimpinan Sultan
Amangkurat I, putera Sultan Agung.

Sebelum konfrontasi bersenjata antara Belanda dengan Banten dibicarakan, sebaiknya
diketahui tentang kondisi pemerintahan Islam di bawah pimpinan Sultan Ageng
Tirtayasa. Ia naik tahta kesultanan Banten pada tahun 1651, menggantikan ayahnya
Sultan Abul Fath. Sejak kepemimpinannya, Banten telah naik kembali harkat dan
martabatnya, sehingga kehidupan ekonomi berjalan sangat baik, pelabuhan Banten
ramai dikunjungi oleh kapal-kapal dagang dari Philipina, Jepang, Cina, India, Persia dan
Arab. Islamisasi berjalan dengan sangat mantap, berkat kehadiran seorang ulama besar
dari Makasar yang bernama Syeikh Yusuf. Perannya yang besar, dalam peningkatan
Islamisasi di Banten; menyebabkan ia diambil menjadi menantu oleh Sultan.

Setelah sepuluh tahun memerintah dengan sukses, Sultan mencoba menyiapkan
penggantinya yaitu puteranya Pangeran Ratu untuk memegang kekuasaan di dalam
negeri.

Untuk meningkatkan komunikasi dengan dunia Islam, Sultan pada tahun 1674 telah
mengutus puteranya Pangeran Ratu atau dengan sebutan Sultan Abu Nashr Abdul
Qahhar untuk melawat ke dunia Islam dan sekaligus naik Haji ke Mekah. Perjalanan ini
memakan waktu kurang lebih dua tahun.

Sekembalinya dari perlawatannya, ia diberikan kembali jabatan sebagai Sultan Muda,
yang memerintah dalam negeri Banten, dengan sebutan Sultan Haji. Pergaulannya
dengan para pejabat dan pengusaha Belanda yang mempunyai loji di Banten
mempengaruhi pandangan hidupnya. Apalagi setelah diketahui bahwa adiknya pangeran
Purbaya, yang mempunyai watak dan akhlaq menyerupai ayahnya dan lebih disenangi
oleh para bangsawan Banten, menumbuhkan rasa kecurigaan, jika pengganti ayahnya
itu akan beralih kepada adiknya. Perasaan kecurigaan dan ambisinya yang cepat
menjadi sultan penuh, mendapat tanggapan positif oleh Belanda, yang sehari-harinya
banyak bergaul dengan Sultan Haji. Persekutuan atau lebih tepat persekongkolan antara
Sultan Haji dengan Belanda untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa dan Pangeran
Purbaya berjalan dengan rapi.

Peristiwa perompakan atau pembajakan kapal milik Banten yang pulang dari Jawa
Timur oleh kapal-kapal Belanda, menimbulkam amarah Sultan Ageng Tirtayasa,
sehingga ia menyatakan perang kepada Belanda. Kebijaksanaan ini ditentang keras oleh
anaknya Sultan Haji. Bahkan atas bantuan Belanda pada tanggal 1 Maret 1680, Sultan
Haji menurunkan ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa dari kesultanan dan mengangkat
dirinya menjadi Sultan Banten.


Tindakan pemecatan Sultan Ageng Tirtayasa menimbulkan reaksi besar dari para
bangsawan Banten di bawah pimpinan Pangeran Purbaya dan para ulama dan rakyat di
bawah pimpinan Syeikh Yusuf. Secara spontan rakyat Banten tidak mengakui
kepemimpinan Sultan Haji di Banten. Dan sebaliknya mereka berkumpul dihadapan
Sultan Ageng Tirtayasa untuk menyatakan kesetiaannya dan bersedia berperang untuk
menurunkan Sultan Haji dan Belanda-Kristen yang menjadi biang keladinya.

Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa telah berhasil menguasai seluruh Banten, kecuali istana
Sultan Haji yang dikelilingi oleh benteng pertahanan yang kuat. Dalam situasi seperti
itu, sesuai dengan persekongkolannya dengan Belanda, Sultan Haji meminta bantuan
pasukan Belanda, yang berpangkalan tidak jauh dari pantai Banten. Dengan seketika itu
pula armada pasukan Belanda-Kristen di bawah pimpinan Laksamana De Saint Martin
pada tanggal 8 Maret 1680 mendarat di Banten. Untuk memperkuat pasukannya,
Belanda mengirimkan lagi satu armadanya di bawah pimpinan Laksamana Tak.

Pada tanggal 7 April 1680 pagi-pagi buta pasukan Sultan Ageng di bawah pimpinannya
langsung, didampingi oleh anaknya pangeran Purbaya dan menantunya Syeikh Yusuf
melakukan serangan umum yang mematikan, terhadap kehidupan Sultan Haji dan
pasukan Belanda. Dalam keadaan yang sangat kritis, Laksamana Saint Martin dan Tak
menyodorkan 'surat perjanjian' kepada Sultan Haji untuk ditanda-tangani, jika bantuan
pasukan Belanda diperlukan oleh Sultan. Untuk mempertahankan hidupnya dan
kekuasaannya, Sultan Haji menanda-tangani surat perjanjian yang sangat merugikan itu
untuk selama-lamanya.

Setelah perjanjian selesai ditanda-tangani, mulailah pertempuran dahsyat antara pasukan
Sultan Ageng Tirtayasa dengan pasukan Belanda meledak. Meriam-meriam besar milik
pasukan Belanda-Kristen dimuntahkan sebanyak-banyaknya ke tengah-tengah pasukan
Sultan Ageng Tirtayasa, sehingga menimbulkan korban yang banyak sekali, gugur
menjadi syuhada. Kekuatan senjata yang sangat tidak seimbang, mengakibatkan
pasukan Sultan Ageng mengalami kekalahan besar dan akhirnya ia, bersama
pasukannya mengundurkan diri ke istananya di Tirtayasa dekat Pontang.

Tetapi tidak lama kemudian pasukan Belanda mengejarnya dan mengepung kota
tersebut. Atas perintah Sultan Ageng, istana di bumi hanguskan, dan ia bersama
Pangeran Purbaya dan Syeikh Yusuf serta pasukannya mengundurkan diri ke pedalaman
dan membuat markasnya di Lebak (Rangkasbitung). Dari sini Sultan Ageng
melancarkan pertempurannya dengan Belanda selama hampir setahun. Tetapi kemudian
dalam pertempuran itu kerugian senantiasa diderita oleh pasukan sultan, bahkan Syeikh
Yusuf sendiri tertangkap.

Karena sudah tidak ada lagi kekuatan untuk melanjutkan peperangan, akhirnya pada
bulan Maret 1683, Sultan Ageng Tirtayasa menyerah dan ia ditawan oleh Belanda di
Batavia sampai wafatnya pada tahun 1695. Syeikh Yusuf yang ditangkap oleh Belanda
dibuang mula-mula ke Sailan (Ceylon), kemudian ke Afrika Selatan dan di sana ia
wafat, sedangkan Pangeran Purbaya meneruskan perjuangannya dengan bergerilya di
daerah Periangan, tetapi akhirnya juga menyerah.

Selanjutnya, isi perjanjian antara Belanda dengan Sultan Haji, yang ditanda-tangani
pada saat-saat genting itu berisi antara lain:


(a) Semua hamba-sahaya (budak) milik Belanda yang lari melindungi diri ke Banten,
wajib dikembalikan kepada Belanda;
(b) Orang-orang Belanda yang membelot ke Banten dan bekerja untuk kepentingan
Banten, seperti Cordeel, wajib diserahkan kepada Belanda;
(c) Banten tidak boleh turut campur tangan dalam masalah-masalah politik di Cirebon
dan daerah-daerah lain yang berada di bawah wewenang Mataram;
(d) Segala kerugian yang diakibatkan oleh bajak laut dan sabotase oleh Banten terhadap
milik Belanda, wajib ganti rugi dibayar oleh Banten;
(e) Orang-orang asing tidak dibenarkan untuk melakukan kegiatan ekonomi di Banten,
kecuali orang-orang Belanda.
Sultan Haji yang mengangkat dirinya menjadi sultan Banten sejak tanggal 1 Maret 1680
sampai wafatnya tahun 1687, pada hakekatnya telah menjadi bawahan Belanda-Kristen
dan menyerahkan Banten ke bawah telapak jajahan Belanda dengan menumpahkan
darah ayahnya dan saudara-saudaranya sendiri serta rakyat Banten.

Setelah Sultan Haji wafat pada tahun 1687, ia digantikan oleh puteranya dengan gelar
Abu Fadl Muhammad Yahya. Pada tahun 1690, baru tiga tahun ia bertahta, Sultan
Yahya wafat pula dan digantikan oleh adiknya Abu Mahasin Zainal Abidin. Gelar
sultan setelah kekuasaan Sultan Haji pada dasarnya hanya 'sultan boneka Belanda',
sebab yang berkuasa sebenarnya adalah Belanda.

Selanjutnya berdasarkan keputusan pemerintah Belanda di Nederland, pada tahun 1798
Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang didirikan sejak tahun 1606
dinyatakan bubar; segala hak-milik dan hutang-hutangnya seluruhnya diambil alih oleh
Pemerintah Belanda. Keputusan itu berlaku terhitung mulai tanggal 31 Desember 1799.
Selanjutnya daerah kekuasaan VOC di Indonesia dikuasai langsung oleh pemerintah
Belanda dengan jalan membentuk pemerintahan jajahan dengan nama 'Nederlandsch
Indie' (Hindia Belanda).

Dengan keputusan ini, secara resmi Indonesia merupakan daerah jajahan Belanda.
Untuk mengelola Hindia Belanda ini, maka pada tanggal 28 Januari 1807 Herman
Willem Daendels telah diangkat menjadi Gubernur Jenderal, yang mulai berlaku pada
hari keberangkatannya dari Nederland ke Indonesia yaitu pada tanggal 18 Februari
1807. Ia baru tiba di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1808 dan pada tanggal 15 Januari
1808 timbang-terima dari Gubernur Jenderal Wiese sebagai pejabat tertinggi V OC
terakhir dengan Gubernur Jenderal H.W. Daendels sebagai penguasa tertinggi Hindia
Belanda dilangsungkan di Batavia.

H.W Daendels yang mempunyai tugas utama mengkonsolidir kekuatan militer Hindia
Belanda untuk menghadapi kemungkinan serangan Inggris, maka pekerjaan pertama
adalah membuat pelabuhan armada perang yang berpusat di ujung Kulon dan Merak,
Banten-Jawa Barat. Untuk melaksanakan proyek ini H.W Daendels telah mengerahkan
ribuan tenaga kerja paksa yang terdiri dari rakyat Banten. Kerja paksa (rodi) yang di
luar batas kemanusiaan mengakibatkan tidak kurang 1500 orang telah meninggal dunia.
Melihat nasib rakyat yang malang ini, Sultan Abdul Nasar dan Patih Wargadireja dari
Banten menolak untuk turut serta melanjutkan proyek tersebut dengan jalan tidak lagi
mau mengirimkan tenaga kerja ke sana. Penolakan sultan ini menimbulkan amarah
Gubernur Jenderal, sehingga ia mengirimkan pasukan militer untuk menangkap Patih
Wargadireja; yang dianggap sebagai pimpinan pembangkang, dan memerintahkan


sultan untuk memindahkan istananya ke Anyer serta harus mengirimkan setiap hari
1000 tenaga kerja paksa ke proyek-proyek Daendels.

Pasukan Belanda yang dikirimkan kepada sultan disergap oleh prajurit dan rakyat
Banten, kemudian dibunuh semuanya. Benteng Belanda yang ada di sekitar istana dan
pegawai-pegawai Belanda yang diperbantukan di istana sultan semuanya diserbu dan
dibunuh. Perlawanan terhadap tindakan sewenang-wenang penguasa kolonial Belanda
yang bersifat putus asa telah berkembang menjadi huru-hara yang menyulut seluruh
Banten.

Dalam menghadapi gerakan perlawanan Sultan Banten ini, H.W. Daendels telah
mengirimkan pasukan militer yang besar sekali dari Batavia. Ibukota kesultanan Banten
diserang habis-habisan dengan jalan pembunuhan massal dan perampokan harta milik
rakyat Banten yang seluruhnya dilakukan oleh pasukan Belanda. Patih Wargadireja
yang mati tertembak dalam pertempuran itu, jenazahnya dilemparkan ke laut oleh
tentara Belanda. Sultan Abdul Nasar ditangkap dan dibuang ke Ambon dan seluruh
daerah kesultanan dirampas, serta langsung dalam penguasaan Belanda dari Batavia.
Untuk basa-basi putera mahkota diangkat menjadi Sultan Banten dengan gelar Sultan
Muhammad Aliuddin, yang berkuasa atas sebagian kecil saja dari daerah kesultanan
Banten.

Kekejaman dan kebiadaban yang dilakukan oleh pasukan Belanda tidak menyebabkan
matinya ruhul jihad (semangat berjuang) untuk melawan setiap bentuk kezaliman dan
ketidak-adilan yang dilakukan oleh penjajah kafir Kristen. Di bawah pimpinan Pangeran
Ahmad kekuatan perlawanan rakyat disusun kembali dan kali ini bukan hanya rakyat
Banten tetapi juga dengan mengikut sertakan rakyat Lampung. Potensi rakyat besar
yang disertai dengan tekad mati syahid di medan pertempurann perlawanan rakyat
Banten-Lampung ini sulit untuk dapat ditumpas oleh Belanda-Kristen. Berulang kali
pasukan militer Belanda yang dikirimkan dari Batavia untuk menghadapi perlawanan
rakyat Banten-Lampung di bawah pimpinan Pangeran Ahmad senantiasa kandas dan
gagal.

Perlawanan rakyat Banten-Lampung tambah seru, setelah H.W. Daendels membuka
proyek jalan raya dari Anyer sampai Panarukan yang Panjangnya kurang lebih 1000
km, dengan tenaga kerja rodi. Para pekerja yang terdiri dari antara lain rakyat Banten
dalam proyek jalan raya Anyer-Panarukan itu, tak ubahnya bagaikan budak belian yang
pernah dijumpai dalam zaman Romawi kuno. Perlakuan kejam dan sadis oleh pasukan
Belanda-Kristen ini, yang memperpanjang proses perlawanan rakyat Banten-Lampung.
Walau akhirnya, perlawanan Pangeran Ahmad dengan rakyatnya bisa ditumpas oleh
Belanda.

Kekejaman dan kebiadaban penguasa kolonial Belanda yang dilakukan di Indonesia,
selain pandangan hidup yang dimiliki dari ajaran Kristen, yang menganggap umat Islam
adalah keturunan palsu-penyembah syaitan dan manusia setengah monyet, juga karena
dasar untuk mengatur pemerintahannya hanya berorientasi kepada kekuasaan tanpa
hukum. Sebab hukum kolonial zaman VOC berkuasa yang ada hanya di Batavia dengan
nama 'Statuta Betawi', yang berlaku untuk daerah 'Bataviase Ommelanden', dengan
batas-batasnya:

- sebelah barat yaitu sungai Cisadane;
- sebelah utara yaitu teluk Batavia;
- sebelah timur yaitu aungai Citarum;
- belah selatan yaitu samudera Hindia.

Kemudian bagi beberapa daerah para penguasa VOC mencoba mengadakan kodifikasi
dari hukum adat, untuk mengadili penduduk yang tunduk pada hukum adat, misalnya:

(a) Kodifikasi hukum adat Cina yang berlaku bagi orang-orang Cina yang tinggal di
sekitar pusat kekuasaan VOC;
(b) Kodifikasi pepakem Cirebon, dimaksudkan berlaku bagi penduduk bumi putera
(penduduk asli) di Cirebon dan sekitarnya;
(c) Kodifikasi Kitab Hukum Mogharraer yang berlaku bagi penduduk bumi putera di
Semarang dan sekitarnya;
(d) Kodifikasi hukum adat Bone dan Goa, yang berlaku bagi penduduk bumi putera
Bone dan Goa.
Dari fakta-fakta tentang hukum positif yang digambarkan di atas jelas bahwa penguasa
VOC sebagai penguasa kolonial dalam mengatur daerah jajahannya (Indonesia) dari
sejak tahun 1606 sampai dengan tahun 1798 semata-mata berdasarkan 'kekuasaan' dan
bukan berdasarkan hukum.

Begitu pula penguasa Hindia Belanda yang mewarisi Indonesia sebagai daerah jajahan
dari VOC tidak mendasarkan pemerintahannya dengan hukum, tetapi semata-mata
berdasarkan kepentingan kekuasaan. Sebab baru pada tanggal 16 Mei 1846 penguasa
Hindia Belanda melalui Keputusan Raja Belanda di Nederland telah mengeluarkan
pengumuman Pengaturan Baru Tata Hukum di Indonesia, yang dimuat di dalam STB
1847, No. 23.

Pada saat berlakunya 'Tata Hukum Baru' itu maka terhapuslah ketentuan Hukum
Belanda Kuno dan Hukum Romawi; demikian juga segala peraturan dengan nama
'verordeningen, reglementen, publication, ordonansien, instruksien, plakkaten, statuten,
costumen; dan pada umumnya segala peraturan hukum, baik yang tertulis maupun yang
tidak tertulis, yang di Indonesia mempunyai kekuatan hukum, sepanjang tidak tegas dipertahankan
untuk seluruh Indonesia atau sebagiannya.

Pada pasal 1 dari keputusan Raja Belanda itu, mengatur antara lain tentang:

(a) Ketentuan umum tentang perundang-undangan;
(b) Peraturan tentang susunan kehakiman dan kebijaksanaan pengadilan;
(c) Kitab Hukum Perdata;
(d) Kitab Hukum Dagang.
Sedangkan pengaturan tentang Hukum Pidana termuat dalam pasal 8 dari keputusan raja
tersebut di atas.

Tetapi penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru dapat
direalisasikan pada tahun 1886, di mana pada waktu itu negeri Belanda telah membuat
Kitab Undang-undang Hukum Pidana sendiri yang bernama 'Nederlandsch Wetboek
van Strafrecht'.

Bagi Indonesia yang menjadi daerah jajahan Belanda dengan Hindia Belanda sebagai
penguasanya, waktu itu dibuatkan pula Kitab Undang-Undang Hukum Pidana guna
masing-masing golongan sendiri-sendiri, yaitu:

(a) Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie untuk golongan penduduk Eropa,
ditetapkan dengan Koninklijk Besluit tertanggal 10 Februari 1886; berisi mengenai
tindak kejahatan saja;

(b) Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie untuk golongan penduduk bumi
putera dan timur asing, ditetapkan dengan Ordonansi 6 Mei 1872, berisi hanya
mengenai tindak kejahatan saja;
(c) Algemeene Politie Strafreglement untuk golongan penduduk Eropa, ditetapkan
dengan Ordonansi tertanggal 15 Juni 1872, yang berisi hanya tentang tindak
pelanggaran saja;
(d) Algemeene Politie Strafreglement untuk golongan bumi putera dan timur asing,
ditetapkan dengan ordonansi tertanggal 15 Oktober 1915.
Uraian historis tentang hukum positif yang digunakan oleh penguasa kolonial Hindia
Belanda di Indonesia; baru secara formal diatur pada tahun 1846, yang pelaksanaannya
baru bisa dilaksanakan pada tahun 1886. Dengan demikian penguasa Hindia Belanda
yang mengambil-alih kekuasaan VOC pada tahun 1799 dan secara efektif baru berjalan
sejak Januari 1808, dengan Gubernur Jenderal Daendels sebagai penguasa tertingginya,
maka roda pemerintahan kolonial Belanda diatur semata-mata berdasarkan kekuasaan
sampai pada tahun 1886.

Oleh karena itu hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia selama hampir 100
tahun Hindia Belanda berkuasa, senantiasa tergantung pada selera dan keinginan
penguasa kolonial. Nilai benar dan salah, adil dan zalim, baik dan buruk seluruhnya
tergantung kepada pertimbangan akal dan hawa nafsu penguasa kolonial Belanda.
Kriteria mengenai benar dan salah, adil dan zalim, baik dan buruk sepenuhnya kembali
kepada benak dan perut penguasa kolonial Belanda. Dengan kata lain, hampir satu abad
penguasa Hindia Belanda berkuasa di Indonesia (dari 1799-1886) hukum yang berlaku
adalah hukum rimba.

Kekejaman dan kebiadaban yang pola contohnya telah diberikan oleh Gubernur
Jenderal Hindia Belanda H.W. Daendels adalah merupakan pola kekuasaan Hukum
rimba yang diwarisi turun-menurun oleh penguasa kolonial Belanda sampai mereka
angkat kaki dari Indonesia pada tahun 1949 penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada
Republik Indonesia.

Kekejaman dan kebiadaban yang tak terperikan itu, yang melahirkan perlawanan umat
Islam sepanjang masa, dalam periode kekuasaan kolonial Belanda.


Baca Juga Yang Ini 
Islam Vs Kristen Di Indonesia

[URL=https://cldmine.com/account/registration/13614][IMG]https://cldmine.com/assets/banners/en/728-90/1.gif[/IMG][/URL]