Translate

Powered by FeedBurner

Monday, August 16, 2010

PERANG BANJAR Islam Vs Kristen

PERANG BANJAR 
Sultan Tahmidillah I (1778 - 1808) mempunyai anak tiga orang, yang berhak
menggantikannya sebagai sultan, yaitu Pangeran Rahmat, Pangeran Abdullah dan
Pangeran Amir. Dalam perebutan kekuasaan, Pangeran Nata salah seorang saudara
Sultan Tahmidillah I, berhasil membunuh Pangeran Rahmat dan Abdullah.
Keberhasilan ini disebabkan bantuan Belanda yang diberikan kepada Pangeran Nata.
Oleh karena itu Pangeran Nata diangkat oleh Belanda menjadi sultan dengan gelar
Sultan Tahmidillah II.

Tampilnya Sultan Tahmidillah II menjadi sultan Banjar mendapat tantangan dan
perlawanan dari Pangeran Amir, salah seorang putera Sultan Tahmidillah I yang selamat
dari pembunuhan Sultan Tahmidillah II. Dalam pertarungan antara Sultan Tahmidillah
II yang sepenuhnya dibantu oleh Belanda, dengan Pangeran Amir, maka akhirnya
Pangeran Amir dapat ditangkap oleh Belanda dan di buang ke Ceylon.

Kemenangan Sultan Tahmidillah II atas Pangeran Amir harus dibayar kepada Belanda
dengan menyerahkan daerah-daerah Pegatan, Pasir, Kutai, Bulungan dan Kotawaringin.

Pangeran Amir mempunyai seorang putera bernama Pangeran Antasari, yang lahir pada
tahun 1809. Sejak kecil Pangeran Antasari tidak senang hidup di istana yang penuh
intrik dan dominasi kekuasaan Belanda. Ia hidup di tengah-tengah rakyat dan banyak
belajar agama kepada para ulama, dan hidup dengan berdagang dan bertani.


Pengetahuannya yang dalam tentang Islam, ketaatannya melaksanakan ajaran-ajaran
Islam, ikhlas, jujur dan pemurah adalah merupakan akhlaq yang dimiliki Pangeran
Antasari. Pandangan yang jauh dan ketabahannya dalam menghadapi setiap tantangan,
menyebabkan ia dikenal dan disukai oleh rakyat. Dan ia menjadi pemimpin yang ideal
bagi rakyat Kalimantan Selatan, khususnya Banjarmasin.

Wafatnya Sultan Tahmidillah II digantikan oleh Sultan Sulaiman (1824-1825) yang
memerintah hanya dua tahun; kemudian digantikan oleh Sultan Adam (1825-1857).
Pada masa ini kesultanan Banjar hanya tinggal Banjarmasin, Martapura dan Hulusungai.
Selebihnya telah dikuasai oleh Belanda. Setelah Sultan Adam wafat, Belanda
mengangkat Pangeran Tamjidillah menjadi Sultan Banjar, sedangkan rakyat
menghendaki Pangeran Hidayat; karena ia adalah putra langsung dari Sultan Adam.
Dalam menghadapi keruwetan ini Belanda tetap mempertahankan pangeran Tamjidillah
menjadi sultan dan mengangkat Pangeran Hidayat menjadi Mangkubumi.

Perlakuan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Belanda terhadap kesultanan Banjar
dan penindasan terhadap rakyat membangkitkan kemarahan rakyat untuk menentang
Belanda. Dalam kondisi seperti ini adalah wajar jika Pangeran Antasari sebagai
pemimpin rakyat tampil ke depan untuk memimpin perlawanan ini.

Dalam usaha menghadapi kekuasaan Belanda yang besar, Pangeran Antasari berusaha
untuk menghimpun semua potensi rakyat, termasuk pangeran Hidayat yang menjabat
sebagai Mangkumi. Pada pertengahan April, dua minggu sebelum pecah perang Banjar
tanggal 28 April 1859, terjadi dialog yang tegang dan penting antara Pangeran Antasari
dengan Pangeran Hidayat, dalam rangka mengajak Pangeran Hidayat untuk bersamasama
melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Dialog yang terjadi di rumah kediaman Pangeran Hidayat, antara lain berbunyi sebagai
berikut.

"Begini, Hidayat! Aku kemari atas nama rakyat dan semua pejuang-pejuang Banjar ...."

"...Sebentar !" Pangeran Hidayat memutus. "Siapa yang Paman maksudkan, dengan
rakyat dan pejuang-pejuang Banjar itu ?"

Pangeran Antasari dengan sabar menjawab: "Rakyat yang selama ini ditindas dan
diperlakukan sewenang-wenang, semua pejuang-pejuang Banjar yang berjuang untuk
mengakhiri penindasan dan perlakuan yang sewenang-wenang itu !".

"Dan Paman termasuk pula di antara pejuang-pejuang itu?" sela Pangeran Hidayat.

"Itu bukan suatu hal yang aib!" Jawab Pangeran Antasari dengan tajam. "Dan kau pun
akan bangga menjadi salah seorang dari mereka, jika kau tahu untuk apa dan siapa kau
baktikan hidupmu ini sebaik-baiknya".

"Jadi apa yang Paman harapkan dari saya ?" tanya Pangeran Hidayat.

"Kesediaanmu untuk berjuang bersama kami. Kesediaanmu untuk memimpin semua
perjuangan ini nanti !" Jawab Pangeran Antasari dengan tegas.


Pangeran Hidayat bangkit. Ia berjalan-jalan mondar-mondir sambil berpikir. "Tapi ini
berarti pemberontakan besar-besaran, Paman !"

Pangeran Antasari menjawab: "Pemberontakan adalah bahasa yang dipergunakan oleh
Belanda. Dan ini kedengaran sumbang di telinga kita. Kita tidak pernah menganggap
kompeni itu memerintah dengan sah di kerajaan ini. Karena itu, kita memakai bahasa
kita sendiri. Perang ! Perang mengusir penjajah asing !"

"Apapun bahasa yang Paman pakai, semuanya berakibat pertumpahan darah. Dan saya
telah melihat bahwa telah banyak darah mengalir di kerajaan ini. Ini sudah cukup dan
harus segera kita akhiri. Bukan sebaliknya akan kita mulai".

"Bagus, dan ironis. Kamu mempergunakan bahasa perikemanusiaan. Dan ini memang
merdu menggugah perasaan seperti suara bilal pada azan subuh. Tapi dapatkah kau
harapkan Kompeni akan mengucapkan apalagi mengamalkan bahasa yang serupa itu
terhadap kita ? Tidak, tidak dapat ! Kompeni akan mempergunakan bahasa kegemaran
mereka: merabit-rabit kita sekaum dan pertumpahan darah! Coba kau tunjukkan
kepadaku, bagaimana caranya kita menunjukkan sikap kemanusiaan kita terhadap
perlakuan yang tidak berperikemanusiaan ini ?"

Pangeran Hidayat nadanya melemah: "Saya hanya benci dan jemu melihat pertumpahan
darah yang sia-sia, Paman. Rakyat telah banyak berkorban untuk kita."

"Kau lupa, Hidayat. Peperangan ini baru hendak kita mulai. Adapun pertumpahan darah
yang kau takutkan itu sebenarnya belum lagi sungguh-sungguh terjadi. Agama kita akan
membenarkan peperangan ini sebagai perang sabil. Dan kematian yang dituntut dari
perjuangan ini tidaklah sia-sia, melainkan syahid. Kita hidup untuk Allah dan mati
untuk Allah!" ucap Pangeran Antasari bersemangat.

Namun Pangeran Hidayat merasa belum yakin. "Tidakkah ada jalan lain selain
pertumpahan darah ini, Paman" tanyanya kemudian.

"Ada!" Pangeran Antasari menjawab dengan tegas. "Dan jalan satu sudah dan sedang
kau tempuh untuk menghindari pertumpahan darah itulah kau mau menjadi apa saja,
sekalipun kau korban harga dirimu pada kompeni dan Tamjid!"

Pangeran Hidayat tersinggung. "Jika kata pengkhianat yang Paman maksudkan dengan
kata-kata: mau menjadi apa saja, maka saya berhak menolak tuduhan itu," bantahnya.
"Kecintaan saya kepada rakyat dan bumi di mana kita hidup dan bernapas ini, sama
besarnya dengan apa yang Paman rasakan. Dan apa artinya harga diri saya. Jika karena
itu saya harus menumpahkan sekian banyak darah mereka ".

"Aku tidak menyangkal bahwa kau pun mencintai rakyat dan kerajaan ini," Pangeran
Antasari balas menyanggah. "Karena itulah seluruh rakyat dan pejuang-pejuang Banjar
masih menaruh kepercayaan penuh kepadamu; masih menggantungkan keyakinan yang
sebesar-besarnya kepadamu, bahwa kelangsungan hidup kerajaan ini ada di tanganmu."

"Hanya yang tidak bisa kupahami ialah caramu menyatakan dan menunjukkan
kecintaanmu itu! Untuk mencegah pertumpahan darah kau bersedia ditunjuk oleh
Kompeni sebagai Mangkubumi!"


"Belum lagi kering air mata di atas jenazah kakekmu Sultan Adam yang disusul dengan
penobatan Tamjid, kau dengan kebencianmu kepada pertumpahan darah dan
kepercayaanmu yang penuh kepada Kompeni merupakan satu-satunya yang dapat
mencegah malapetaka yang tak berperikemanusiaan itu, telah sengaja atau tidak
menyerahkan pamanmu sendiri, Perabu Anom, yang menyebab pembuangannya!"

"Kemudian baru-baru ini kudengar lagi kabar, bahwa kau telah menyanggupi kepada
Residen Belanda untuk mendamaikan perlawanan rakyat dengan janji kepada mereka
yang melakukan perlawanan itu, pemeriksaan yang teliti dan keputusan hukuman yang
seadil-adilnya! Tentu saja aku termasuk pula di dalamnya, bukan ?" Jawab Pengeran
Antasari dengan getir.

"Ingatan paman sangat baik," jawab Pangeran Hidayat. "Apa yang Paman katakan itu
semua benar. Tentu Paman ingin menambahkan pula, bahwa karena tindakan-tindakan
itu semua, saya telah merugikan perjuangan rakyat. Saya bukan lagi menolongnya
malah menjerumuskannya!"

"Paman, saya tidak bermaksud membela diri. Semua itu saya lakukan karena pada dasar
hati saya, saya mempunyai kepercayaan penuh kepada manusia. Saya percaya bahwa
sebagian besar manusia menyukai hidup tenteram dan membenci pertumpahan darah.
Saya percaya bahwa segala macam pertentangan dapat diselesaikan dengan perundingan
tanpa kita harus saling membunuh."

"Sungguh akan menjadi khotbah yang menarik. Hanya jangan kau harapkan bahwa
Kompeni akan berbondong-bondong datang mendengarkan khotbahmu! Hidayat, apa
kamu masih juga percaya, bahwa kemerdekaan kita yang telah diinjak-injak oleh
Kompeni sekarang ini dapat ditebus dengan berunding hanya karena sebagian besar
umat manusia di muka bumi ini menyukai hidup tenteram dan membenci pengaliran
darah?"

Sejurus Pangeran Antasari berhenti sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Kita yang
sudah banyak mengaji mengetahui benar," lanjutnya, "bahwa Allah tidak akan
mengubah nasib kita, jika kita sendiri tidak berusaha mengubahnya".

"Saya tidak tahu lagi, Paman,'' Pangeran Hidayat terdesak. "Saya tidak tahu lagi apa
yang harus saya katakan."

"Kamu boleh tidak tahu apa yang harus kau katakan, tapi kau harus tahu apa yang harus
kau lakukan. Dan itu cuma satu. Pimpinlah perjuangan ini!" desak Pangeran Antasari.

"Mengapa Paman masih terus mengharapkan supaya saya memimpinnya?"

"Karena kau adalah ahli waris yang sah dari kerajaan ini."

Pangeran Hidayat menyanggah : "Saya tidak terlalu gembira dengan sebutan ahli waris
yang sah, karena saya tahu Paman pun berhak penuh atas kerajaan ini," katanya jujur.

"Saya tidak terlalu berterima kasih kepada leluhur saya yang menyebabkan saya
mendapat kehormatan dengan sebutan putera mahkota, karena saya tahu mereka telah
merebutnya dari datu-datu Paman. Turun-temurun keluarga Paman telah berjuang
mengusir Kompeni. Sedangkan saya...," ia menggeleng-geleng. "Tidak, Paman.
Mengapa tidak Paman sendiri meneruskan memimpinnya."


"Jangan kita seperti anak kecil, Hidayat," keluh orang tua itu kesal. "Membangkitbangkit
kesalahan orang yang telah dikubur. Apapun yang telah terjadi diantara mereka,
tidak menghapuskan adanya pertalian darah diantara kita. Aku sudah lanjut usia. Jika
Allah membenarkannya, sebenarnya aku tidak mengharapkan lebih daripada
kedudukanku yang sekarang ini. Tambahan pula rakyat masih percaya penuh kepada
wasiat kakekmu almarhum."

"Tetapi wasiat itu telah beliau batalkan sendiri dengan pengangkatan saya sebagai
Mangkubumi sekarang ini...Namun demikian", jawab Pangeran Antasari, "Bagi mereka
kau tidak saja ahli waris yang sah dari kerajaan ini, tetapi juga yang maha utama bagi
mereka. Kau merupakan lambang dari perasaan mereka yang ingin bebas, lambang dari
perjuangan mereka untuk satu. Karena itulah mereka mempertaruhkan segala-galanya
untukmu."

Pangeran Hidayat berjalan mondar-mandir, dan rupanya mulai termakan di hatinya.
"Siapa diantara pemuka-pemuka rakyat yang ikut…?" tanyanya.

"Aku telah menghimpun semua mereka. Pasukan dari daerah Barito, Kapuas, dan
Kahayan dipimpin oleh Tumenggung Surapati. Dari daerah Hulu Sungai dan Tanah
Laut dipimpin oleh tangan kananmu sendiri; Demang Lehman, bersama-sama
Tumenggung Antaluddin, Haji Buyasin, dan lain-lain. Benar-benar tenaga-tenaga muda
yang jarang ada tandingannya. Adapun pasukan dari daerah Benua lima, juga dipimpin
oleh orang kepercayaanmu sendiri, Jalil; dan Aling dari Muning telah memihak kepada
kita."

"Yang terakhir ini sudah saya dengar juga. Rupanya Paman tidak saja berhasil untuk
menyatukan Gerakan Benua Lima dengan Gerakan Maning, tapi sempat juga
menjadikannya besan."

"Ini suratan jodoh semata-mata," jawab Pangeran Antasari.

Setelah itu keduanya terdiam merenung sejenak. "Jadi semuanya mereka telah satu
mufakat ?" tanya Pangeran Hidayat.

"Kau jangan menyangsikan lagi", sahut pengeran Antasari tegas.

"Apakah Paman yakin bahwa Paman akan memenangkun peperangan ini?"

"Kita harus yakin, bahwa kita akan memenangkan kebenaran dari peperangan ini,"

Dua minggu kemudian, tepatnya tanggal 28 April 1859, Perang Banjar yang dipimpin
oleh Pangeran Antasari meletus, dengan jalan merebut benteng Pengaron milik Belanda
yang dipertahankan mati-matian. Pertempuran di benteng pengaron ini disambut dengan
pertempuran-pertempuran di berbagai medan yang tersebar di Kalimantan Selatan, yang
dipimpin oleh Kiai Demang Lehman, Haji Buyasin, Tumenggung Antaluddin, Pangeran
Amrullah dan lain-lain.

Pertempuran mempertahankan benteng Tabanio bulan Agustus 1859, pertempuran
mempertahankan benteng Gunung Lawak pada tanggal 29 september 1859;
mempertahankan kubu pertahanan Munggu Tayur pada bulan Desember 1859;


pertempuran di Amawang pada tanggal 31 Maret 1860. Bahkan Tumenggung Surapati
berhasil membakar dan menenggelamkan kapal Onrust milik Belanda di Sungai Barito.

Sementara itu Pangeran Hidayat makin jelas menjadi penentang Belanda dan memihak
kepada perjuangan rakyat yang dipimpin oleh Pangeran Antasari. Penguasa Belanda
menuntut supaya Pangeran Hidayat menyerah, tetapi ia menolak. Akhirnya penguasa
kolonial Belanda secara resmi menghapuskan kerajaan/kesultanan Banjar pada tanggal
11 Juni 1860. Sejak itu kesultanan Banjar langsung diperintah oleh seorang Residen
Hindia Belanda.

Perlawanan semakin meluas, kepala-kepala daerah dan para ulama ikut memberontak,
memperkuat barisan pejuang Pangeran Antasari bersama-sama pangeran Hidayat,
langsung memimpin pertempuran di berbagai medan melawan pasukan kolonial
Belanda. Tetapi karena persenjataan pasukan Belanda lebih lengkap dan modern,
pasukan Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayat terus terdesak serta semakin lemah
posisinya. Setelah memimpin pertempuran selama hampir tiga tahun, karena kondisi
kesehatan, akhirnya Pangeran Hidayat menyerah pada tahun 1861 dan dibuang ke
Cianjur, Jawa Barat.

Setelah Pangeran Hidayat menyerah, maka perjuangan umat Islam Banjar dipimpin
sepenuhnya oleh pangeran Antasari, baik sebagai pemimpin rakyat yang penuh dedikasi
maupun sebagai pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya
sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Kalimantan Selatan, maka pada
tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan
seruan: "Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah," seluruh rakyat, pejuang-pejuang,
para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat
Pangeran Antasari menjadi 'Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin'.

Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran Antasari untuk menolak, ia harus menerima
kedudukan yang dipercayakan kepadanya dan bertekad melaksanakan tugasnya dengan
rasa tanggung jawab sepenuhnya kepada Allah dan rakyat.

Dengan pengangkatan ini menyebabkan ia sekaligus secara resmi memangku jabatan
sebagai Kepala Pemerintahan, Panglima Perang dan Pemimpin Tertinggi Agama Islam.

Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin
dengan pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang
ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil
mendesak terus pasukan Khalifah. Dan akhirnya Khalifah memindahkan pusat benteng
pertahanannya di hulu Sungai Teweh. Pada awal Oktober 1862, bertempat di markas
besar pertahanan Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (Pangeran Antasari) di
hulu Sungai Teweh diselenggarakan rapat para panglima, yang dihadiri oleh Khalifah
sendiri, Gusti Muhammad Seman, Gusti Muhammad Said (keduanya putera khalifah
sendiri), Tumenggung Surapati dan Kiai Demang Lehman. Sedangkan para panglima
yang lain-lain tidak bisa hadir, karena perhubungan yang sulit dan letaknya jauh-jauh.

"Adakah kabar penting Lehman ?" Khalifah membuka percakapan.

"Oo tidak ... Tidak ada hal-hal yang terlalu luar biasa," jawab Lehman. "Hanya saja
kami semua mendengar bahwa Khalifah-sakit."


"Seperti yang kamu lihat sendiri, Lehman .... penyakit orang-orang telah berumur. Tapi
Insya Allah, aku akan sehat kembali. Hanya buat sementara pimpinan perjuangan di sini
kuserahkan kepada mereka bertiga ini ....," jawab Khalifah, Gusti Muhammad Seman,
Gusti Muhammad Said dan Tumenggung Surapati mengangguk, yang dibalas pula oleh
Kiai Demang Lehman.

Selanjutnya Kiai Demang Lehman menyampaikan pesan para panglima dari Hulu
Sungai dan Tanah Laut, yaitu Haji Buyasin dan Kiai Langlang, yang tidak sempat hadir
pada saat pelantikan Khalifah serta permohonan maaf dan doa semoga khalifah cepat
sembuh. "Kami para panglima yang berada di daerah Hulu Sungai dan Tanah Laut telah
berikrar dan bertekad bulat dibawah pimpinan Khalifah untuk berjuang dan bertempur
terus di mana pun kami berada, selama Allah subhanahu wata'ala memberikan daya dan
kemampuan kepada kami."

"Alhamdulillah…," ucap Khalifah. "Aku mengucapkan syukur dan terima kasih, kamu
semua masih tetap menaruh kepercayaan yang begitu besar demi kelangsungan
perjuangan kepadaku. Karena itu aku sungguh-sungguh yakin dan percaya, sekalipun
aku kelak sudah tidak ada lagi, kamu sekalian yang masih muda-muda ini, akan terus
memimpin dan melanjutkan perjuangan membela rakyat dan menegakkan syari'at Islam.
Kepadamu semua aku tidak dapat mewariskan apa-apa kecuali perjuangan ini. Kapan
berakhirnya perjuangan ini aku sendiri tidak tahu. Hanya yang pasti, perjuangan
manusia untuk menegakkan kebenaran dan keadilan akan terus berlangsung sepanjang
usia umat manusia.

Pembicaraan dalam pertemuan ini beralih kepada Muhammad Said, putera Khalifah,
dimana antara lain ia berucap: "Sulit menemukan kesempatan seperti dalam pertemuan
ini. Medan yang terpencar-pencar memaksa kita tidak dapat selalu bertempur bersama,
bertemu dan apalagi memperbincangkan sesuatu. Namun demikian kita diikat oleh satu
persamaan cita-cita dan tujuan, yang dihidupkan dan digerakkan oleh semangat perang
sabil.

"Inilah…," tekannya. "Tiga setengah tahun sudah kita menjalani perang ini. Korban
benda dan jiwa sudah tidak terkatakan. Korban harta dan orang-orang yang kita cintai.
Dan saya sendiri sudah kehilangan seorang isteri, ipar dan mertua dalam perang ini.
Allah Maha Tahu apa artinya mereka semua bagiku.."

Kembali ia terdiam merenung, lanjutnya: "Perang adalah sungguh-sungguh
kesengsaraan. Siapapun harus mengakui ini. Tetapi menyesalkah kita telah
melakukannya? Tidak! Karena kita tahu untuk apa kita ini berjihad!" katanya
bersemangat.

"Biar seribu kali Nieuwenhuyzen mengeluarkan maklumat proklamasinya yang
menyebut-nyebut bahwa tujuan pemerintah Belanda sekarang ialah menciptakan
kemakmuran rakyat, memegang teguh keadilan, ketertiban dan keamanan serta
menganggap kita binatang buruan yang mengembara dalam rimba-rimba belantara dan
menuduh kita menyalahgunakan nama Agama dan tanah air untuk membenarkan tujuan
perang kita, semuanya itu tidak ada artinya dan tidak melemahkan iman kita! Kompeni
boleh membunuh kita, tetapi tidak semangat kita! Lalu menyerah ... Menyerah setelah
sekian banyak korban, sekian banyak kesengsaraan? Lalu apa artinya korban dan
kesengsaraan selama tiga setengah tahun perang ini? Inilah yang menjadi tanda tanya
tentang menyerahkan kak Hidayat kepada Belanda. Kiai Demang Lehman adalah orang
yang paling dekat dengan kak Hidayat, tolong jelaskan."


Kiai Demang Lehman mengangguk, menunduk sebentar kemudian mengangkat muka.
"Mungkin sebagian kesalahan itu ada pada saya," ia mulai dengan suatu pengakuan
yang jujur. "Dan jika itu dinamakan kesalahan juga, maka kesetiaan itulah saya kira
asal-mula sebabnya. Hanya, kesetiaan saya itu bukanlah karena saya dari seorang
pemuda tanggung bernama Idis yang diangkatnya menjadi Lalawangan di Riam Kanan
dengan gelar Kiai Demang Lehman dan kemudian mendapat hadiah kedua macam
senjata ini," katanya sambil memperlihatkan senjata-senjatanya.

"Kesetiaan saya adalah kesetiaan seorang rakyat biasa terhadap pemimpin yang
dicintainya dan sebaliknya menyintai pula rakyatnya; kesetiaan kepada pemimpin yang
diharapkan membimbing rakyatnya keluar dari penindasan dan kesengsaraan. Dan di
atas segala-galanya kesetiaan kepada manusia."

Pembicaraannya terhenti. Kemudian ia lanjutkan: "Saya iba melihat Pangeran Hidayat
dan keluarganya terlunta-lunta dalam buruan Kompeni. Mengingat kekurangan senjata
dan penghidupan rakyat semakin sulit karena pertumpahan darah yang berlarut-larut,
maka saya mengusahakan penyerahannya dengan kepercayaan, tadinya, bahwa
penyerahannya akan mengakhiri semua kekalutan dan kesengsaraan itu. Tetapi diluar
dugaan saya, ia menerima begitu saja tekanan yang ditetapkan oleh Mayor Verspyck
tentang pengasingannya ke Jawa dan pengumuman kepada rakyat untuk meletakkan
senjata."

"Ini menyalahi sama sekali janji Mayor Koch kepada saya yang menjamin bahwa
Pengeran Hidayat tidak akan diasingkan ke Jawa! Akhirnya saya insaf bahwa saya telah
menempuh suatu cara yang salah, terlalu cepat percaya kepada apa yang seharusnya
haram untuk dipercayai!" Kiai Demang Lehman berhenti sebentar untuk menekankan
rasa geramnya atas pengkhianatan Belanda.

"Tetapi ketika Kompeni membawa Pangeran Hidayat dari Martapura ke Banjarmasin,
saya kerahkan rakyat Martapura, untuk membebaskannya kembali dari kapal api
tersebut; dan berhasil. Hanya pada akhirnya, belum sebulan kemudian ia kembali
menyerah untuk kedua kalinya," katanya menyesal.

"Adapun saya sendiri, Insya Allah pantang untuk mengulang kembali kesalahan itu buat
kedua kalinya. Dan saya bersumpah untuk menebus kesalahan pertama itu, kalau tadi
dinamakan juga kesalahan, dengan seluruh jiwa raga saya!" ujarnya dengan hati
berkobar tapi penuh taqwa. "Baru kemudian terasa, bahwa selain keimanan terhadap
Agama, kesetiaan terhadap perjuangan juga menuntut dan mengatasi kesetiaankesetiaan
lainnya"

Khalifah yang semenjak tadi berdiam diri, mulai sngkat bicara: "Yah…, kesalahan
semacam itu bukan tidak mungkin dapat juga kami perbuat. Hanya yang penting
sekarang ialah bahwa kita telah belajar dari pengalaman pahit," ujar khalifah lebih
lanjut.

"Mayor Verspyck ini telah mengirim surat kepadaku dengan perantaraan orang
kepercayaannya Kiai Rangga Niti Negara. Katanya, bahwa bilamana aku dan kawankawan
seperjuangan ingin memperbaiki kesalahan dan berhajat minta ampun kepada
Kompeni, maka Kiai itu berkuasa membawa kami ke Mentalat untuk mendapatkan
pengampunan dari Kompeni! Begitu kira-kira bunyi suratnya, Surapati?" tanyanya
kepada Tumenggung Surapati.


"Sungguh surat yang mentertawakan," jawab Tumenggung Surapati. "Menyerah dan
meminta ampun dengan perantaraan surat ? Bah…! Dengan meriam-meriamnya pun
haram kami menyerah, apalagi hanya dengan selembar kertas yang dibawa oleh kaki
tangan Kompeni semacam Niti Negara itu !"

Khalifah mengangguk, membenarkan pandangan itu. "Aku telah membalas surat itu,
Lehman", katanya. Kukatakan, bahwa aku berterima kasih atas segala perhatiannya!
Aku menyadari bahwa sebagai manusia aku mempunyai banyak kesalahan. Tetapi
kesalahan yang dimaksudnya adalah dari sudut pandangannya, pandangan seorang
kompeni terhadap seorang pribumi yang hina-dina!"

"Semua orang-kultt putih di Banjarmasin telah digaji oleh kompeni untuk mengadakan
segala macam perbuatan terkutuk, haram dan durhaka! Selanjutnya kukatakan, bahwa
mungkin usulnya akan kupertimbangkan jika ada surat resmi dari Gubernur Jenderal
dimana ditetapkan tegas-tegas, bahwa kesultanan Banjar dikembalikan sepenuhnya
kepada kami! Adapun usulnya supaya kami minta ampun kutolak dengan tegas. Kami
akan berjuang terus menuntut hak kami, hak kita semua! Inilah antara lain yang penting,
Lehman."

"Kita tidak akan mendapatkan apa-apa dari peperangan ini dengan berunding apalagi
menyerah! Kalau kita melakukannya juga, anak cucu kita sebagai pelanjut perjuangan
kita, akan menyalahkan kita, menghukum tindakan kita sebagai suatu kelemahan
perangai atau iman. Janji-janji kompeni membuat saya semakin jijik. Terutama dengan
pengalaman Hidayat yang dibuang sebagai rakyat jajahan ke Jawa. Jangankan Hidayat,
orang kepercayaannya sendiri seperti Tamjid dibuangnya, apalagi kita semua orang
yang terang-terangan menentangnya mati-matian."

Pertemuan diakhiri setelah mendengar suara azan Maghrib yang terdengar dari
kejauhan. Dan beberapa hari kemudian, pada tanggal 11 Oktober 1862, Panembahan
Amiruddin Khalifatul Mukminin (Pangeran Antasari) wafat; dan dimakamkan di Bayan
Begok, Hulu Teweh.

Walaupun Khalifah telah wafat, namun perlawanan berjalan terus, dipimpin oleh puteraputeranya
seperti Gusti Muhammad Seman, Gusti Muhammad Said dan para panglima
yang gagah perkasa. Pada tahun 1864, pasukan Belanda berhasil menangkap banyak
pemimpin perjuangan Banjar yang bermarkas di gua-gua.

Mereka itu ialah Kiai Demang Lehman dan Tumenggung Aria Pati. Kiai Demang
Lehman kemudian dihukum gantung. Sedangkan yang gugur banyak pula dari para
panglima, seperti antara lain Haji Buyasin pada tahun 1866 di Tanah Dusun, kemudian
menyusul pula gugur penghulu Rasyid, Panglima Bukhari, Tumenggung Macan Negara,
Tumenggung Naro.

Dalam pertempuran di dekat Kalimantan Timur, menantu Khalifah Pangeran Perbatasari
tertangkap oleh Belanda dan pada tahun 1866 diasingkan ke Tondano, Sulawesi Utara.
Kemudian Panglima Batur dari Bakumpai tertangkap oleh Belanda dan dihukum
gantung pada tahun 1905 di Banjarmasin.Terakhir Gusti Muhamad Seman wafat dalam
pertempuran di Baras Kuning, Barito pada bulan Januari 1905.

Gambaran singkat dari Perang Banjar yang berlangsung dari tahun 1859 dan berakhir
tahun 1905, terlihat dengan jelas bahwa landasan ideologi yang diperjuangkan adalah


Islam, dengan semboyan "Hidup untuk Allah dan mati untuk Allah", dengan jalan
perang Sabil dibawah pimpinan seorang Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin,
dan targetnya berdaulatnya kembali kesultanan Banjar. Dengan kata lain perang Banjar
adalah perang untuk menegakkan negara Islam yang utuh.

Baca Juga Yang Ini
Islam Vs Kristen






[URL=https://cldmine.com/account/registration/13614][IMG]https://cldmine.com/assets/banners/en/728-90/1.gif[/IMG][/URL]