Translate

Powered by FeedBurner

Sunday, July 25, 2010

PERANG PADRI Islam Vs Kristen

PERANG PADRI

Apabila diteliti masa Perang Padri di daerah Sumatera Barat dalam abad ke-19 dapat
digolongkan kepada beberapa priode, yaitu: 
(a) Priode 1809 - 1821
Priode ini adalah merupakan pembersihan yang dilakukan oleh kaum Padri terhadap
golongan penghulu adat yang dianggap menyimpang dan bertentangan dengan syari'at
Islam. Dalam masa ini terjadilah pertempuran antara kaum Padri melawan golongan
penghulu adat.

(b) Priode 1821 - 1832
Priode ini adalah merupakan pertempuran antara kaum Padri dengan Belanda-Kristen
yang dibantu sepenuhnya oleh golongan penghulu adat. Dalam masa ini sifat
pertempuran telah berubah antara penguasa kolonial Belanda-Kristen yang mau
menjajah Sumatera Barat yang dibantu oleh para penguasa bangsa sendiri yang
berkolaborasi untuk mempertahankan eksistensinya sebagai penguasa yang ditentang
secara gigih oleh kaum Padri.

(c) Priode 1832 - 1837
Priode ini adalah merupakan perjuangan seluruh rakyat Sumatera Barat, dimana kaum
Padri dan golongan penghulu adat telah barsatu melawan penguasa kolonial Belanda-
Kristen. Dalam masa ini rakyat Sumatera Barat dengan dipelopori dan dipmimpin oleh
para ulama yang tergabung dalam kaum Padri bahu-membahu di medan pertempuran
untuk mengusir penguasa kolonial Belanda-Kristen dari Sumatera Barat.

Latar belakang lahirnya kaum Padri mempunyai kaitan dengan gerakan Wahabi yang
muncul di Saudi Arabia, yaitu gerakan yang dipimpin oleh seorang ulama besar
bernama Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787). Nama gerakan Wahabi
sesungguhnya merupakan nama yang mempunyai konotasi yang kurang baik, yang
diberikan oleh lawan-lawannya, sedangkan gerakan ini lebih senang dan menamakan
dirinya sebagai kaum 'Muwahhidin' yaitu kaum yang konsisten dengan ajaran tauhid,
yang merupakan landasan asasi ajaran Islam.

Paham kaum Muwahhidin (Wahabi) ini antara lain:


(a) Yang boleh dan harus disembah hanyalah Allah semata; dan siapa saja yang
menyembah selain Allah, adalah musyrik;
(b) Umat Islam yang meminta safaat kepada para wali, syeikh atau ulama dan kekuatan
ghaib yang dipandang memiliki dan mampu memberikan safaat adalah suatu
kemusyrikan;
(c) Menyebut-nyebut nama Nabi, wali, ulama untuk dijadikan perantara dalam berdo'a
adalah termasuk perbuatan syirik;
(d) Mengikuti shalat berjamaah adalah merupakan kewajiban;
(e) Merokok dan segala bentuk candu adalah haram;
(f) Memberantas segala bentuk kemungkaran dan kemaksiatan;
(g) Umat Islam, harus hidup sederhana, segala macam pakaian mewah dan berlebihlebihan
diharamkan.
Sifat gerakan Wahabi yang keras ini, benar-benar merupakan tenaga penggerak yang
sanggup membangkitkan kembali kesadaran kaum muslimin yang sedang tidur lelap
dalam keterbelakangannya. Dibantu dengan para sahahatnya seperti Ibnu Sa'ud dan
Abdul Azis Ibnu Sa'ud, pemikiran dan cita-cita ini diwujudkan dalam gerakan yang
keras, akhirnya pada tahun 1921 menjelma menjadi satu pemerintahan yang berdaulat di
Saudi Arabia dengan ibukotanya Riyadh.

Paham dan gerakan Wahabi inilah yang mewarnai pandangan Haji Miskin dari Pandai
Sikat (Luhak Agam), Haji Abdur Rahman dari Piabang (Luhak Lima Puluh) dan Haji
Muhammad Arief dari Sumanik (Luhak Tanah Datar) yang bermukim di Mekah Saudi
Arabia dan pada tahun 1802 mereka kembali ke Sumatera Barat.

Sesampainya di Sumatera Barat, mereka berpendapat bahwa umat Islam di
Minangkabau baru memeluk Islam namanya saja, belum benar-benar mengamalkan
ajaran Islam yang sejati. Berdasarkan penilaian semacam itu, maka di daerahnya
masing-masing mereka mencoba memberikan fatwanya. Haji Muhammad Arifin di
Sumanik mendapat tantangan hebat di daerahnya sehingga terpaksa pindah ke Lintau.
Haji Miskin mendapat perlawanan hebat pula di daerahnya dan terpaksa harus pindah ke
Ampat Angkat. Hanya Haji Abdur Rahman di Piabang yang tidak banyak mendapat
halangan dan tantangan.

Kepindahan Haji Miskin ke Ampat Angkat membawa angin baru, karena di sini ia
mendapatkan sahabat-sahabat perjuangan yang setia; diantaranya yaitu Tuanku Nan
Renceh di Kamang, Tuanku di Kubu Sanang; Tuanku di Ladang Lawas, Tuanku di
Koto di Padang Luar, Tuanku di Galung, Tuanku di Koto Ambalau, Tuanku di Lubuk
Aur. Itulah tujuh orang yang berbai'ah (berjanji sehidup semati) dengan Tuanku Haji
Miskin. Jumlah para ulama yang berbai'ah ini menjadi delapan orang, yang kemudian
terkenal dengan sebutan 'Harimau Nan Salapan'.

Harimau Nan Salapan ini menyadari bahwa gerakan ini akan lebih berhasil bilamana
mendapat sokongan daripada ulama yang lebih tua dan lebih berpengaruh, yaitu Tuanku
Nan Tuo di Ampat Angkat. Oleh sebab itu Tuanku Nan Renceh yang lebih berani dan
lebih lincah telah berkali-kali menjumpai Tuanku Nan Tuo untuk meminta agar ia
bersedia menjadi 'imam' atau pemimpin gerakaa ini. Tetapi setelah bertukar-pikiran
berulang kali, Tuanku Nan Tuo menolak tawaran itu. Sebab pendirian Harimau Nan
Salapan hendak dengan segera menjalankan syari'at Islam di setiap nagari yang telah
ditaklukkannya. Kalau perlu dengan kekuatan dan kekuasaan.


Tetapi Tuanku Nan Tuo mempunyai pendapat Yang berbeda; ia berpendapat apabila
telah ada orang beriman di satu nagari walaupun baru seorang, tidaklah boleh nagari itu
diserang. Maka yang penting menurut pandangannya ialah menanamkan pengaruh yang
besar pada setiap nagari. Apabila seorang ulama di satu nagari telah besar pengaruhnya,
ulama itu dapat memasukkan pengaruhnya kepada penghulu-penghulu, imam-khatib
mantri dan dubalang.

Pendapat yang berbeda dan bahkan bertolak belakang antara Tuanku Nan Tuo dengan
Harimau Nan Salapan sulit untuk dipertemukan, sehingga tidak mungkin Tuanku Nan
Tuo dapat diangkat menjadi imam atau pemimpin gerakan ini. Untuk mengatasi
masalah ini, Harimau Nan Salapan mencoba mengajak Tuanku di Mansiangan, yaitu
putera dari Tuanku Mansiangan Nan Tuo, yakni guru daripada Tuanku Nan Tuo Ampat
Angkat. Rupanya Tuanku yang muda di Mansiangan ini bersedia diangkat menjadi
imam atau pemimpin gerakan Harimau Nan Salapan, dengan gelar Tuanku Nan Tuo.

Karena yang diangkat menjadi imam itu adalah anak daripada gurunya sendiri, sulitlah
bagi Tuanku Nan Tuo Ampat Angkat itu untuk menentang gerakan ini. Padahal
hakikatnya yang menjadi imam dari gerakan Hariman Nan Salapan adalah Tuanku Nan
Renceh; sedangkan Tuanku di Mansiangan hanya sebagai simbol belaka.

Kaum Harimau Nan Salapan senantiasa memakai pakaian putih-putih sebagai lambang
kesucian dan kebersihan, dan kemudian gerakan ini terkenal dengan nama 'Gerakan
Padri'.

Setelah berhasil mengangkat Tuanku di Mansiangan menjadi imam gerakan Padri ini,
maka Tuanku Nan Renceh selaku pimpinan yang paling menonjol dari Harimau Nan
Salapan mencanangkan perjuangan padri ini dan memusatkan gerakannya di daerah
Kameng. Untuk dapat melaksanakan syari'at Islam secara utuh dan murni, tidak ada
alternatif lain kecuali memperoleh kekuasaan politik. Sedangkan kekuasaan politik itu
berada di tangan para penghulu. Oleh karena itu untuk memperoleh kekuasaan politik
itu, tidak ada jalan lain kecuali merebut kekuasaan dari tangan para penghulu. Karena
Kamang menjadi pusat perjuangan Padri, maka kekuasaan penghulu Kamang harus
diambil alih oleh kaum Padri, dan berhasil dengan baik.

Sementara itu para penghulu di luar Kamang yang telah mendengar adanya gerakan
Padri ini, ingin membuktikan sampai sejauh mana kemampuan para alim-ulama dalam
perjuangan mereka untuk melaksanakan syari'at Islam secara utuh dan murni. Bertempat
di Bukit Batabuah dengan Sungai Puar di lereng Gunung Merapi, para penghulu dengan
sengaja dan mencolok mengadakan penyabungan ayam, main judi dan minum-minuman
keras yang diramaikan dengan bermacam pertunjukan. Para penghulu itu dengan para
pengikutnya seolah-olah memancing apakah para alim-ulama mampu merealisasikan
ikrarnya untuk betul-betul melaksanakan syari'at Islam secara keras.

Tentu saja tantangan ini menimbulkan kemarahan dari pihak kaum Padri. Dengan segala
persenjataan yang ada pada mereka, seperti setengger (senapan balansa), parang,
tombak, cangkul, sabit, pisau dan sebagainya kaum Padri pergi ke Bukit Batabuh
tersebut untuk membubarkan pesta 'maksiat' yang diselenggarakan oleh golongan
penghulu (penguasa). Sesampainya pasukan kaum Padri di Bukit Batabuh disambut
dengan pertempuran oleh golongan penghulu. Dengan sikap mental perang sabil dan
mati syahid, pertempuran yang banyak menelan korban di kedua belah pihak, akhirnya
dimenangkan oleh pasukan kaum Padri. Dengan peristiwa Bukit Batabuh, berarti
permulaan peperangan Padri.


Kemenangan pertama yang gemilang bagi kaum Padri, mendorong Tuanku Nan Renceh
sebagai pimpinan gerakan ini untuk memperkuat dan melengkapi persenjataan pasukan
Padri. Tindakan ofensif bagi daerah-daerah yang menentang kaum Padri segera
dilakukan. Daerah Kamang Hilir ditaklukkan, kemudian menyusul daerah Tilatang.
Dengan demikian seluruh Kamang telah berada di tangan kaum Padri.

Dari Kamang operasi pasukan Padri ditujukan ke luar yaitu Padang Rarab dan Guguk
jatuh ketangan kaum Padri. Lalu daerah Candung, Matur dan bahkan pada tahun 1804
seluruh daerah Luhak Agam telah berada di dalam kekuasaan kaum Padri.

Keberhasilan kaum Padri menguasai daerah Luhak Agam, selain kesungguhan yang
keras, tetapi juga kondisi masyarakatnya memang sangat memungkinkan untuk cepat
berhasil. Sebab daerah Luhak Agam terkenal tempat bermukimnya ulama-ulama besar
seperti Tuanku Pamansiangan dan Tuanku Nan Tuo, sedangkan pengaruh para penghulu
sangat tipis. Wibawa para penghulu berada di bawah pengaruh para ulama.

Operasi pasukan Padri ke daerah Luhak Lima Puluh Kota berjalan dengan damai. Sebab
penghulu daerah ini bersedia menyatakan taat dan patuh kepada kaum Padri serta siap
membantu setiap saat untuk kemenangan kaum Padri.

Dengan berkuasanya kaum Padri; maka daerah-daerah yang berada di dalam
kekuasaannya diadakan perubahan struktur pemerintahan yaitu pada setiap nagari
diangkat seorang 'Imam dan seorang Kadhi'. Imam bertugas memimpin peribadahan
seperti sembahyang berjamaah lima waktu sehari semalam, puasa, dan lain-lain yang
berhubungan dengan masalah-masalah ibadah. Kadhi bertugas untuk menjaga
kelancaran dijalankannya syari'at Islam dalam arti kata lebih luas dan menjaga
ketertiban Umum.

Di daerah Luhak Tanah Datar, pasukan kaum Padri tidak semudah dan selicin di daerah
Luhak Adam dan Lima Puluh Kota untuk memperoleh kekuasaannya. Di sini
pasukan kaum Padri mendapat perlawanan yang sengit dari golongan penghulu dan
pemangku adat. Sebab Luhak Tanah Datar adalah merupakan pusat kekuasaan adat
Minangkabau. Kekuasaan itu berpusat di Pagaruyung yang dipimpin oleh Yang
Dipertuan Minangkabau. Di waktu itu Yang Dipertuan atau Raja Minangkabau adalah
Sultan Arifin Muning Syah.

Pada pemerintahan Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung terdapat tiga orang raja
yang berkuasa yang dikenal dengan nama Raja Tigo Selo, yaitu :

(a) Raja Alat atau Yang Dipertuan Pagaruyung, adalah yang memegang kekuasaan
tertinggi di seluruh Minangkabau.
(b) Raja Adat, adalah yang memegang kekuasaan dalam masalah adat.
(c) Raja Ibadat adalah yang memegang kekuasaan dalam masalah agama.
Dalam pelaksanaan pemerintah sehari-hari Raja Tigo Selo dibantu oleh Basa Empat
Balai yang berkedudukan sebagai menteri dalam pemerintahan Minangkabau di
Pagaruyung. Mereka itu adalah :

-Dt. Bandaharo atau Tuan Tittah di Sungai Tarab, yang mengepalai tiga orang

lainnya atau dapat dikatakan sebagai Perdana Menteri;
-Makkudun di Sumanik, yang menjaga kewibawaan istana dan menjaga bubungan

dengan daerah rantau dan daerah-daerah lainmya;


-Indomo di Suruaso, yang bertugas menjaga kelancaran pelaksanaan adat;
-Tuan Kadhi di Padang Ganting; yang bertugas menjaga kelancaran syari'at atau

agama.

Di samping Basa Empat Balai ada seorang lagi, yaitu Tuan Gadang di Batipuh yang
bertindak sebagai Panglima Perang, kalau Pagaruyung kacau dialah bersama
pasukannya untuk mengamankannya.

Kekuasaan Raja Minangkabau sebetulnya tidak begitu terasa oleh rakyat dalam
kehidupan sehari-hari, karena nagari-nagari di Minangkabau mendapat otonomi yang
sangat luas, sehingga segala sesuatu di dalam nagari dapat diselesaikan oleh kepala
nagari melalui kerapatan adat nagari. Kalau masalahnya tidak selesai dalam nagari baru
dibawa ke pimpinan Luhak (kira-kira sama dengan kabupaten sekarang). Kalau masih
belum selesai diteruskan ke Basa Empat Balai untuk selanjutnya diteruskan ke Raja
Adat atau Raja Ibadat, tergantung pada masalahnya. Kalau semuanya tak dapat
menyelesaikan masalahnya, maka akan diputuskan oleh Raja Minangkabau.

Oleh karena itu gerakan Padri oleh Raja Minangkabau dan stafnya dianggap satu bahaya
besar, sebab gerakan ini akan mengambil kekuasaan mereka. Selain itu para bangsawan
pun cemas, karena khawatir adat nenek-moyang yang telah turun-menurun akan lenyap,
jika kaum Padri berkuasa.

Pertempuran sengit di daerah Luhak Tanah Datar antara pasukan Padri dengan pasukan
Raja berjalan sangat alot. Perebutan daerah Tanjung Barulak, salah satu jalan untuk
masuk ke pusat kekuasaan Minangkabau dari Luhak Agam, sering berpindah tangan,
terkadang dikuasai pasukan Padri, terkadang dapat direbut kembali oleh pasukan raja.
Walaupun begitu, pasukan Padri makin hari makin maju, sehingga daerah kekuasaan
para penghulu makin lama makin kecil. Untuk mencegah hal-hal yang lebih buruk bagi
para penghulu, akhirnya atas persetujuan Yang Dipertuan di Pagaruyung, Basa Empat
Balai mengadakan perundingan dengan kaum Padri.

Perundingan itu dilaksanakan di nagari Koto Tangah pada tahun 1808, sesudah enam
tahun gerakan kaum Padri melancarkan aksinya. Kaum Padri dalam perundingan itu
dipimpin oleh Tuanku Lintau yang datang dengan seluruh pasukannya, sedangkan para
penghulu dipimpin oleh Raja Minangkabau sendiri. Seluruh staf raja dan sanak
keluarganya hadir dalam pertemuan tersebut, tanpa menaruh curiga sedikit juga, karena
gencatan senjata telah disepakati sebelumnya.

Tetapi sekonyong-konyong keadaan menjadi kacau sebelum perundingan dimulai.
Karena kesalah-pahaman antara bawahan Tuanku Lintau yang bernama Tuanku Belo
dengan para staf raja, yang berakibat meledak menjadi perkelahian dan pertumpahan
darah.

Raja dan hampir sebagian terbesar staf dan keluarganya mati terbunuh dalam
perkelahian itu, hanya ada beberapa orang dari para penghulu dan seorang cucu raja
yang dapat selamat meloloskan diri sampai ke Kuantan.

Mendengar peristiwa berdarah ini, Tuanku Nan Renceh sebagai pimpinan tertinggi
gerakan Padri sangat marah terhadap Tuanku Lintau dan pasukannya, karena dianggap
melanggar gencatan senjata yang telah disepakati dan berarti menggagalkan usaha
perdamaian.


Dengan peristiwa ini, maka praktis seluruh Luhak Tanah Datar menyerah kepada kaum
Padri tanpa perlawanan, karena takut melihat pengalaman di Koto Tangah.

Untuk mengokohkan gerakan kaum Padri, Tuanku Nan Renceh telah memerintahkan
salah seorang muridnya yang bernama Malin Basa atau Peto Syarif atau Muhammad
Syahab, untuk membuat sebuah benteng yang kuat, sebagai markas gerakan kaum Padri.
Pemilihan Malin Basa, yang kemudian bergelar Tuanku Mudo nntuk membuat benteng
besar, guna menjadi pusat gerakan kaum Padri, disebabkan karena Malin Basa (Tuanku
Mudo) seorang murid yang pandai, alim dan berani.

Perintah Tuanku Nan Renceh sebagai pimpinan tertinggi gerakan Padri dan guru dari
Tuanku Mudo, dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan keberanian dan berhasil
memilih tempat di sebelah timur Alahan Panjang, di kaki bukit yang bernama Bukit
Tajadi. Dengan bantuan seluruh umat Islam yang tinggal di sekitar Alahan Panjang,
dimana setiap hari bekerja tidak kurang dari 5000 orang, akhirnya 'Benteng Bonjol'
yang terletak di bukit Tajadi itu menjelma menjadi kenyataan dengan ukuran panjang
kelilingnya kira-kira 800 meter dengan areal seluas kira-kira 90 hektar, tinggi tembok
empat meter dengan tebalnya tiga meter. Di sekelilingnya ditanami pagar aur berduri
yang sangat rapat.

Di tengah-tengah benteng Bonjol berdiri dengan megahnya sebuah masjid yang lengkap
dengan perkampungan pasukan Padri dan rakyat yang setiap saat mereka dapat
mengerjakan sawah ladangnya untuk keperluan hidup sehari-hari. Sesuai dengan
fungsinya, maka benteng Bonjol juga diperlengkapi dengan persenjataan perang, guna
setiap saat siap menghadapi pertempuran. Benteng Bonjol itu dipimpin langsung oleh
Tuanku Mudo yang bertindak sebagai 'imam' dari masyarakat benteng Bonjol, yang
sesuai dengan struktur pemerintahan kaum Padri. Oleh sebab itu, Tanku Mudo digelari
dengan 'Imam Bonjol'.

Setelah benteng Bonjol selesai dan struktur pemerintahan lengkap berdiri, Imam Bonjol
memulai gerakan Padrinya ke daerah-daerah sekitar Alahan Panjang dan berhasil
dengan sangat memuaskan. Keberbasilan Imam Bonjol dengan pasukannya
menimbulkan kecemasan para penghulu di Alahan Panjang seperti antara lain Datuk
Sati. Kecemasan ini melahirkan satu gerakan para penghulu di Alahan Panjang untuk
menyerang pasukan Imam Bonjol dan merebut benteng sekaligus. Pada tahun 1812
Datuk Sati dengan pasukannya menyerbu benteng Bonjol, tetapi sia-sia dan kekalahan
diderita olehnya. Untuk mencegah hal-hal yang lebih buruk, maka Datuk Sati mengajak
diadakannya perdamaian antara para penghulu dengan Imam Bonjol.

Keberhasilan Imam Bonjol menguasai seluruh daerah Alahan Panjang, ia kemudian
diangkat menjadi pemimpin Padri untuk daerah Pasaman. Untuk meluaskan kekuasaan
kaum Padri, Imam Bonjol mengarahkan pasukannya ke daerah Tapanuli Selatan. Mulai
Lubuk Sikaping sampai Rao diserbu oleh pasukan Imam Bonjol. Dari sana terus ke
Talu, Air Bangis, Sasak, Tiku dan seluruh pantai barat Minangkabau sebelah utara.

Setelah seluruh Pasaman dikuasai, maka untuk memperkuat basis pertahanan untuk
penyerangan ke utara, didirikan pula benteng di Rao dan di Dalu-Dalu. Benteng ini
terletak agak ke sebelah utara Minangkabau. Benteng Rao dikepalai oleh Tuanku Rao,
sedangkan benteng Dalu-Dalu dikepalai oleh Tuanku Tambusi. Kedua perwira Padri ini
berasal dari Tapanuli dan berada di bawah pimpinan Imam Bonjol.


Dengan mengangkat Tuanku Rao dan Tuanku Tambusi sebagai pimpinan kaum Padri di
Tapanuli Selatan, gerakan Padri berjalan dengan sangat berhasil, tanpa menghadapi
perlawanan yang berarti. Daerah-daerah di sini begitu setia untuk menjalankan syari'at
Islam secara penuh, sesuai dengan misi yang diemban oleh gerakan Padri.

Sementara kaum Padri bergerak menguasai Tapanuli Selatan dan daerah pesisir barat
Minangkabau, Belanda muncul kembali di Padang. Tuanku Pamansiangan salah
seorang pemimpin di Luhak Agam mengusulkan kepada Imam Bonjol untuk menarik
pasukan Padri dari Tapanuli Selatan dan menggempur kedudukan Belanda di Padang
yang belum begitu kuat. Karena baru saja serah terima kekuasaan dari Inggris (1819).
Tetapi perwira-perwira Padri seperti Tuanku Raos, Tuanku Tambusi dan Tuanku Lelo
dari Tapanuli Selatan berkebaratan untuk melaksakan usul itu, oleh karena itu Imam
Bonjol hanya dapat memantau kegiatan dan gerakan pasukan Belanda melalui kurirkurir
yang sengaja dikirim ke sana.

Belanda yang tahu bahwa daerah pesisir seperti Pariaman, Tiku, Air Bangis adalah
daerah strategis yang telah dikuasai kaum Padri, maka Belanda telah membagi pasukan
untuk merebut daerah-daerah tersebut. Dalam menghadapi serangan Belanda ini, maka
terpaksa kaum Padri yang berada di Tapanuli Selatan di bawah pimpinan Tuanku Rao
dan Tuanku Tambusi dikirim untuk menghadapinya. Pertempuran sengit terjadi dan
pada tahun 1821 Tuanku Rao gugur sebagai syuhada di Air Bangis. Perlawanan
pasukan Padri melawan pasukan Belanda diteruskan dengan pimpinan Tuanku Tambusi.

Kemenangan yang diperoleh Belanda dalam medan pertempuran menghadapi pasukan
Padri, menumbuhkan semangat bagi golongan penghulu, yang selama ini kekuasaannya
telah lepas. Dengan secara diam-diam para penghulu Minangkabau mengadakan
perjanjian kerjasama dengan Belanda untuk memerangi kaum Padri. Para penghulu
yang mengatasnamakan yang Dipertuan Minangkabau langsung mengikat perjanjian
kerjasama dengan Residen Belanda di Padang yang bernama Du Puy.

Dengan terjalinnya kerjasama antara para penghulu dengan Belanda, maka berarti kaum
Padri akan menghadapi bahaya besar. Dalam kondisi demikian, tiba-tiba Tuanku Nan
Renceh, Yang menjadi pimpinan tertinggi kaum Padri yang gemilang pada tahun 1820
wafat. Kekosongan ini secara demokrasi diisi oleh Iman Bonjol. Atas persetujuan para
perwira pasukan Padri, Imam Bonjol langsung memimpin gerakan Padri untuk
menghadapi pasukan gabungan Belanda-Penghulu.

Pada tahun 1821 pertahanan Belanda di Semawang diserang oleh pasukan Padri;
sedangkan pasukan Belanda yang mencoba memasuki Lintau dicerai-beraikan. Untuk
menguasai medan, pasukan Belanda membuat benteng di Batusangkar dengan nama
'Benteng atau Fort van der Capellen'. Berulang kali pasukan Belanda-Penghulu
menyerang kedudukan pasukan Padri di Lintau, tetapi selalu mendapati kegagalan,
bahkan pernah pasukan Belanda-Penghulu terjebak.

Perlawanan yang sengit dari pasukan Padri, mendorong Belanda untuk memperkuat
pasukannya di Padang. Pada akhir tahun 1821 Belanda mengirimkan pasukannya dari
Batavia di bawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff. Dengan bantuan militer yang
lengkap persenjataannya, pasukan Belanda melakukan ofensif terhadap kedudukan
pasukan Padri.

Operasi militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda-Penghulu ditujukan ke daerah
yang dianggap strategis yaitu Luhak Tanah Datar. Dengan menaklukkan Luhak Tanah


Datar, yang berpusat di Pagaruyung, menurut dugaan Belanda perlawanan pasukan
Padri akan mudah ditumpas. Oleh karena itu pada tahun 1822 pasukan Belanda-
Penghulu di bawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff menyerang Pagaruyung.
Pertempuran sengit terjadi, korban dari kedua pihak banyak yang berjatuhan. Karena
kekuatan yang tidak seimbang, akhirnya pasukan Padri mengundurkan diri ke daerah
Lintau setelah meninggalkan korban di pihak Belanda yang cukup besar.

Usaha pengejaran dilakukan terus oleh pasukan Belanda dengan jalan mendatangkan
bantuan dari Batusangkar. Tetapi pasukan Belanda sesampainya di Lintau seluruhnya
dapat dipukul mundur dan terpaksa kembali ke pangkalan mereka di Batusangkar.

Setelah Belanda memperkuat diri, ofensif dilakukan kembali dengan jalan memblokade
daerah Lintau, sehingga terputus hubungannya dengan Luhak Lima Puluh Kota dan
Luhak Agam. Walaupun nagari Tanjung Alam dapat direbut oleh pasukan Belanda,
tetapi usahanya untuk merebut Lintau dapat dipatahkan, karena pasukan Padri di Luhak
Agam di bawah pimpinan Tuanku Pamansiangan memberikan perlawanan yang sengit.
Kemudian Letnan Kolonel Raaff menyusun kembali pasukannya untuk merebut Luhak
Agam, Koto Lawas, Pandai Sikat dan Gunung; dan kali ini berhasil, setelah melalui
pertempuran dahsyat, di mana Tuanku Pamansiangan dapat tertangkap, yang kemudian
dihukum gantung oleh Belanda.

Pada akhir tahun 1822 pasukan Padri di bawah pimpinan Imam Bonjol melakukan
serangan balasan terhadap pasukan Belanda di berbagai daerah yang pernah
didudukinya. Pertama-tama Air Bangis mendapat serangan pasukan Padri. Operasi ke
Air Bangis ini langsung dipimpin oleh Imam Bonjol dibantu oleh perwira-perwira
pasukan Padri dari Tapanuli Selatan. Hanya dengan pertahanan yang luar biasa dan
dibantu dengan tembakan-tembakan meriam laut, Air Bangis dapat selamat dari
serangan pasukan Padri. Kegagalan ini, pasukan Padri mencoba merebut kembali daerah
Luhak Agam. Serangan pasukan Padri ke daerah ini berhasil merebut kembali daerah
Sungai Puar, Gunung, Sigandang dan beberapa daerah lainnya.

Awal tahun 1823 Kolonel Raaff mendapatkan tambahan pasukan militer dari Batavia.
Dengan kekuatan baru, pasukan Belanda mengadakan operasi militer besar-besaran
untuk merebut seluruh Luhak Tanah Datar. Tetapi di bukit Marapalam terjadi
pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan pasukan Padri selama tiga hari tiga
malam, sehingga Belanda terpaksa harus mengundurkan diri. Tetapi operasi militer
Belanda itu diarahkan ke Luhak Agam seperti daerah Biaro dan Gunung Singgalang.
Pertempuran sengit terjadi antara pasukan Belanda dengan pasukan Padri, tetapi karena
kekuatan pasukan Belanda jauh lebih besar, akhirnya daerah-daerah itu dapat
direbutnya. Kemenangan pasukan Belanda diikuti oleh tindakan biadab dengan jalan
melakukan pembunuhan massal terhadap penduduk, besar-kecil, laki-laki maupun
perempuan.

Pengalaman pertempuran selama tahun 1823, membuat Belanda berhitung dua kali.
Sebab banyak daerah yang telah direbutnya, ternyata dapat kembali diambil oleh
pasukan Padri. Operasi militer besar-besaran dengan tambahan pasukan dari Batavia
terbukti tidak dapat menumpas pasukan Padri. Oleh karena itu, untuk kepentingan
konsolidasi, Belanda berusaha untuk mengadakan perjanjian gencatan senjata. Usaha ini
berhasil, sehingga pada tanggal 22 Januari 1824 perjanjian gencatan senjata di Masang
ditanda-tangani oleh Belanda dan kaum Padri.


Perjanjian Masang hanya dapat bertahan kira-kira satu bulan lebih sedikit. Sebab
Belanda dengan tiba-tiba mengadakan gerakan militer ke daerah Luhak Tanah Datar dan
Luhak Agam. Melalui pertempuran dahsyat, pusat Luhak Tanah Datar dan Luhak Agam
dapat sepenuhnya dikuasai pasukan Belanda, dan mereka mendirikan benteng dengan
nama Fort de Kock di sana. Dengan kekalahan pasukan Padri di Luhak Tanah Datar dan
Luhak Agam, maka Imam Bonjol memusatkan kekuatan kaum Padri di benteng Bonjol
dan sekitarnya sambil sekaligus melakukan konsolidasi pasukan yang telah jenuh
berperang selama lebih dari dua puluh tahun lamanya.

Sementara itu pada tahun 1825 di Jawa telah pecah perang Jawa. Dengan timbulnya
perang Jawa ini, kekuatan pasukan Belanda menjadi terpecah dua: sebagian untuk
menghadapi perang Padri yang tak kunjung selesai, dan yang sebagian lagi harus
menghadapi Perang Jawa yang baru muncul. Karena perang Jawa dianggap oleh
Belanda lebih strategis dan dapat mengancam eksistensi Belanda di Batavia, pusat
pemerintahan kolonial Belanda (Hindia Belanda), maka mau tidak mau semua kekuatau
militer harus dipusatkan untuk menghadapi perang Jawa.

Untuk itu perlu ditempuh satu kebijaksanaan guna mengadakan perdamaian kembali
dengan kaum Padri di Sumatera Barat. Pada tahun 1825 usaha perdamaian dan gencatan
senjata dengan kaum Padri berhasil dicapai, dengan jalan mengakui kedaulatan kaum
Padri di beberapa daerah Minangkabau yang memang masih secara penuh dikuasainya.
Perjanjian damai dan gencatan senjata dipergunakan oleh Belanda untuk menarik
pasukannya dari Sumatera Barat sebanyak 4300 orang, dan mensisakannya hanya 700
orang saja lagi. Pasukan sisa sebanyak 700 orang serdadu itu, digunakan hanya untuk
menjaga benteng dan pusat-pusat pertahanan Belanda di Sumatera Barat.

Setelah Perang Jawa selesai dan kemenangan diperoleh oleh penguasa kolonial Belanda,
maka kekuatan militer Belanda di Jawa sebagian terbesar dibawa ke Sumatera Barat
untuk menghadapi Perang Padri. Dengan kekuatan militer yang besar Belanda
melakukan serangan ke daerah pertahanan pasukan Padri. Pada akhir tahun 1831,
Katiagan kota pelabuhan yang menjadi pusat perdagangan kaum Padri direbut oleh
pasukan Belanda. Kemudian berturut-turut Marapalam jatuh pada akhir 1831, Kapau,
Kamang dan Lintau jatuh pada tahun 1832, dan Matur serta Masang dikuasai Belanda
pada tahun 1834.

Kejatuhan daerah-daerah pelabuhan ke tangan Belanda mendorong kaum Padri, yang
memusatkan kekuatannya di benteng Bonjol, mencari jalan jalur perdagangan melalui
sungai Rokan, Kampar Kiri dan Kampar Kanan, di mana sebuah anak sungai Kampar
kanan dapat dilayari sampai dekat Bonjol. Hubungan Bonjol ke timur melalui anak
sungai tersebut sampai ke Pelalawan, dan dari sana bisa terus ke Penang dan Singapura,
dapat dikuasai. Tetapi jalur pelayaran ini, pada akhir tahun 1834 dapat direbut oleh
Belanda. Dengan demikian posisi pasukan Padri yang berpusat di benteng Bonjol
mendapat kesulitan, terutama dalam memperoleh suplai bahan makanan dan
persenjataan.

Kemenangan yang gilang-gemilang diperoleh pasukan Belanda menimbulkan
kecemasan para golongan penghulu, yang selama ini telah membantunya. Kekuasaan
yang diharapkan para penghulu dapat dipegangnya kembali, ternyata setelah
kemenangan Belanda menjadi buyar. Sikap sombong dan moral yang bejat yang
dipertontonkan oleh pasukan Belanda-Kristen, seperti menjadikan masjid sebagai
tempat asrama militer dan tempat minum-minuman keras, mengusir rakyat kecil dari
rumah-rumah mereka, pembantaian massal, pemerkosaan terhadap wanita-wanita,


memanjakan orang-orang Cina dengan memberi kesempatan menguasai perekonomian
rakyat, akhirnya menimbulkan rasa benci dan tak puas dari golongan penghulu kepada
Belanda. Kebencian dan kemarahan para penghulu menumbuhkan rasa harga diri untuk
mengusir Belanda dari daerah Minangkabau untuk melakukan perlawanan terhadap
Belanda secara sendirian tidak mampu, karenanya perlu adanya kerjasama dengan kaum
Padri.

Uluran tangan golongan penghulu disambut baik oleh kaum Padri. Perjanjian kerjasama
dan ikrar antara golongan penghulu dengan kaum Padri untuk mengusir Belanda, dari
tanah Minangkabau dilaksanakan pada akhir tahun 1832 bertempat di lereng gunung
Tandikat. Gerakan perlawanan rakyat Sumatera Barat terhadap Belanda dipimpin
langsung oleh Imam Bonjol.

Dalam perjanjian dan ikrar rahasia di lereng gunung Tandikat itu, telah ditetapkan
bahwa tanggal 11 Januari 1833, kaum Padri dan golongan penghulu beserta rakyat
Sumatera Barat secara serentak melakukan serangan kepada pasukan Belanda. Awal
serangan rakyat Minangkabau ini terhadap pasukan Belanda banyak mengalami
kemenangan, terutama di daerah sekitar benteng Bonjol, di mana pasukan Belanda
ditempatkan untuk melakukan blokade. Pasukan Belanda yang langsung dipimpin oleh
Letnan Kolonel Vermeulen Krieger, pimpinan tertinggi militer di Sumatera Barat, di
daerah Sipisang diporak-porandakan oleh pasukan Padri, sehingga, banyak sekali
serdadu Belanda yang mati terbunuh. Hanya Letnan Kolonel Vermeulen Krieger dan
beberapa orang anak buahnya yang dapat menyelamatkan diri dari pembunuhan itu.
Karena semua jalan terputus maka terpaksa Letnan Kolonel Vermeulen Krieger dengan
anak buahnya yang tinggal beberapa orang itu menempuh jalan hutan belantara untuk
bisa kembali ke Bukittinggi.

Apabila di daerah Alahan Panjang, serangan secara serentak dapat dilakukan oleh rakyat
Minangkabau dan berhasil memukul mundur pasukan Belanda, tetapi di Luhak Tanah
Datar dan Luhak Agam, serangan itu tidak dapat dilaksanakan. Faktor penyebabnya
ialah banyak daerah-daerah di sini belum menerima informasi dari hasil Ikrar Tandikat;
disamping banyak daerah-daerah strategis yang dikuasai Belanda. Bahkan ada juga
informasi ikrar ini jatuh ke tangan Belanda, sehingga orang-orang yang dicurigai segera
ditangkap. Di samping itu memang masih banyak para penghulu atau kepala adat yang
tetap setia kepada Belanda.

Timbulnya perlawanan serentak dari seluruh rakyat Minangkabau, sebagai realisasi
ikrar Tandikat, memaksa Gubernur Jenderal Van den Bosch pergi ke Padang pada
tanggal 23 Agustus 1833, untuk melihat dari dekat tentang jalannya operasi militer yang
dilakukan oleh pasukan Belanda. Sesampainya di Padang, ia melakukan perundingan
dengan Jenderal Riesz dan Letnan Kolonel Elout untuk segera menaklukkan benteng
Bonjol, yang dijadikan pusat meriam besar pasukan Padri, Riesz dan Elout
menerangkan bahwa belum datang saatnya yang baik untuk mengadakan serangan
umum terhadap benteng Bonjol, karena kesetiaan penduduk Agam masih disangsikan,
dan mereka sangat mungkin kelak menyerang pasukan Belanda dari belakang. Tetapi
Jenderal Van den Bosch bersikeras untuk segera menaklukkan benteng Bonjol, dan
paling lambat tanggal 10 september 1833 Bonjol harus jatuh. Kedua opsir tersebut
meminta tangguh enam hari lagi, sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16
September 1833.

Meskipun demikian, kedua opsir tersebut belum yakin dapat melaksanakan rencana
yang telah diputuskannya, sebab besar sekali kesulitan-kesulitan yang harus


dihadapinya. Pertama, karena mereka harus rnengerahkan tiga kolone: satu kolonne
harus menyerang Bonjol dengan melalui Suliki dan Puar Datar di Luhak Lima Puluh
Kota, dan satu kolonne dari Padang Hilir melalui Manggopoh dan Luhak Ambalau, dan
kolonne ketiga dari Ram melalui Lubuk Sikaping. Dan disamping itu harus disiapkan
pula satu kolonne yang pura-pura menyerang Padri di daerah Matur, supaya pasukan
Padri mengerahkan pasukannya ke sana. Sebelum pasukan menyerbu ke Bonjol,
kolonne-kolonne itu harus mampu menundukkan dan menaklukkan daerah-daerah di
sekelilingnya, dan merusakkan semua pertahanan rakyat di Luhak Agam.

Rakyat Padang Datar umumnya marah betul kepada tentara Belanda, karena melihat
kekejaman dan kesadisannya di Guguk Sigadang; dan rasa benci kepada kaki-tangan
Belanda yang bersifat sewenang-wenang serta mencurigai dan menangkap rakyat awam.

Sementara itu, Mayor de Quay mengutus Tuanku Muda Halaban untuk membujuk
Imam Bonjol supaya suka berunding dan berdamai dengan Belanda. Imam Bonjol
menyatakan kepada Tuanku Muda Halaban, bahwa ia bersedia berunding di suatu
tempat yang telah ditetapkan. Akhirnya perundingan itu dapat dilaksanakan.

Dalam kesempatan perundingan ini, tenggang waktu yang tersedia itu digunakan
dengan sebaik-baiknya oleh Belanda untuk menyiapkan pasukannya, di samping
diharapkan pasukan Padri menjadi lengah. Untuk memudahkan mencapai Bonjol, maka
Mayor de Quay mengerahkan pasukannya yang dibantu oleh 1500 penduduk dari Lima
Puluh Kota untuk membuat jalan melalui hutan-hutan lebat, yang membatasi Luhak
Lima Puluh Kota dengan Lembah Alahan Panjang.

Pasukan Padri ternyata tidak lengah untuk terus mengamat-amati semua persiapan
tentara Belanda itu, sehingga semua jalan masuk ke Lambah Alahan Panjang ditutupnya
dengan pelbagai rintangan, di kiri kanan jalan dipersiapkan kubu-kubu pertahanan.

Di satu bukit, di tepi jalan ke Tujuh Kota, di dekat Batu Pelupuh, di puncaknya yang
kerap kali ditutupi kabut dan awan, dibuat oleh pasukan Padri sebuah kubu pertahanan.
Dari sini dapat diperhatikan segala gerak-gerik pasukan Belanda dari jarak jauh. Kubu
pertahanan pasukan Padri yang strategis ini diketahui oleh Belanda. Karenanya pada
tanggal 10 September 1833, Jenderal Riesz mengerahkan rakyat Agam yang setia
kepada Belanda untuk menaklukkan kubu tersebut. Usaha penaklukan kubu ini gagal
total, dimana sebagian besar pasukan rakyat Agam mati dan luka-luka, dan memaksa
mereka kembali ke Bukittinggi.

Besok paginya, yakni tanggal 11 September 1833, Belanda mengerahkan 200 orang
tentaranya yang dilengkapi dengan meriam dan diperkuat oleh pasukan golongan adat
dari Batipuh dan Agam. Pada Jam 05.00 pagi pasukan Belanda telah dapat mendaki
bukit pertahanan pasukan Padri. Tetapi kira-kira 150 langkah mendekati kubu
pertahanan, dengan sekonyong-konyong pasukan Padri mendahului menyerang pasukan
Belanda. Pertempuran sengit terjadi, diantara kedua belah pihak banyak korban
berjatuhan. Tetapi karena kekuatan yang tak seimbang, akhirnya pasukan Padri
mengundurkan diri turun ke desa Batu Pelupuh dan bertahan di belakang pematangpematang
sawah. Belanda mengerahkan pasukannya untuk mengejarnya, dengan sangat
cerdik pasukan Padri bersembunyi ke hutan-hutan lebat yang sulit untuk dikejar oleh
pasukan Belanda. Desa Batu Pelupuh dan tujuh desa lainnya yang ditinggalkan pasukan
Padri habis dirampok dan dibumi-hanguskan oleh pasukan Belanda. Walaupun pasukan
Padri kalah, tetapi di pihak Belanda pun banyak sekali yang mati dan luka-luka; dan
dengan susah payah mereka dapat kembali ke Bukittinggi.


Setelah kubu pertahanan di bukit dekat Alahan Panjang dapat direbut pasukan Belanda,
maka Jenderal Riesz memusatkan serangan tipuan ke Matur. Sebagian pasukannya
diharuskan menduduki daerah Pantar, sebuah desa yang letaknya di seberang jurang
dekat kubu pertahanan pasukan Padri. Pasukan Belanda ini dibantu oleh pasukan ada
600 orang dari Batipuh, 400 orang dari Banuhampu, 300 orang dari Sungai Puar, 340
orang dari Empat Kota, 604 orang dari Ampat Angkat, dan 240 orang dari Tambangan;
seluruhnya berjumlah 2400 orang. Tetapi sebelum tentara Belanda datang di Pantar,
pada pagi-pagi sekali tanggal 12 September 1833, desa tersebut telah dibumi-hanguskan
oleh pasukan Padri. Di selatan Pantar yang telah menjadi lautan api, Belanda membuat
kubu pertahanan untuk menahan serangan-serangan pasukan Padri. Tetapi pasukan
Padri pun mengerti bahwa serangan pasukan Belanda ini hanya merupakan pancingan,
karenanya mereka tetap bertahan di kubu-kubu pertahanan mereka masing-masing.

Sementara itu pasukan Padri memperkuat Kota Lalang guna menahan tentara Belanda
yang datang dari arah Suliki yang dipimpin oleh Mayor de Quay. Pada tanggal 13
September 1833 pasukan Belanda telah dihadang oleh pasukan rakyat dari Tanah Datar,
sehingga perjalanannya terhambat. Dan baru pada tanggal 14 September 1833 tentara
Belanda melanjutkan serangannya ke Kota Lalang, yang dipertahankan dengan gigih
oleh pasukan Padri. Tentara Belanda banyak yang mati dan luka-luka. Pertempuran
berlangsung siang-malam dengan dahsyatnya, yang masing-masing pihak mengerahkan
semua kekuatannya. Karena kekuatan pasukan Padri yang jauh lebih kecil dan lebih
sederhana persenjataannya, akhirnya mengundurkan diri ke hutan belantara yang sulit
dikejar oleh tentara Belanda.

Kota Lalang yang ditinggalkan pasukan Padri dijaga oleh pasukan Jawa dan Adat; dan
tentara Belanda yang dibantu oleh ratusan pasukan adat dari Batipuh dan Lima Puluh
Kota meneruskan penyerbuannya menuju Bonjol. Dalam perjalanan yang sulit ini
pasukan Belanda senantiasa terjebak dengan serangan pasukan Padri dari belakang yang
bersembunyi di hutan lebat.

Serangan gerilya pasukan Padri dengan taktik "serang dengan tiba-tiba dan lenyap
secara tiba-tiba", menimbulkan kerugian yang besar bagi pasukan Belanda; dan
karenanya menimbulkan rasa takut bagi pasukan-pasukan adat yang membantunya.
Dengan diam-diam pasukan adat meninggalkan pasukan Belanda, sehingga menyulitkan
pasukannya untuk melanjutkan penyerbuan. Hujan yang turun terus-menerus menambah
kesulitan lagi bagi pasukan Belanda, selain pasukan yang basah kuyup hampir mati
kedinginan, juga pasukan pembawa makanan dan perlengkapan perang yang terdiri dari
pribumi, banyak yang tak tahan dan akhirnya melarikan diri. .

Dengan sisa-sisa kekuatan, pasukan Belanda sampai memasuki lembah Air Papa. Di
lembah ini, yang sisi-sisi tebingnya cukup curam, digunakan oleh pasukan Padri sebagai
kubu pertahanan dengan mudah menembak pasukan Belanda yang berada di bawah
lembah. Dalam posisi yang demikian, terpaksa pasukan Belanda memusatkan
pasukannya di lembah yang agak gersang, yang jauh dari jangkauan pasukan Padri.
Daerah terbuka yang digunakan pasukan Belanda memudahkan serangan bagi Pasukan
Padri. Kelemahan ini benar-benar digunakan oleh pasukan Padri. Serangan yang datang
dengan tiba-tiba, menyebabkan timbulnya kepanikan di kalangan pasukan Belanda,
dimana akhirnya tidak ada jalan lain kecuali mengundurkan diri dan membatalkan
rencana penyerbuan selanjutnya. Dengan diam-diam pasukan Belanda pada malam hari
meninggalkan medan pertempuran kembali ke Payakumbuh, dengan meninggalkan
korban yang mati maupun yang luka-luka banyak sekali.


Dari front barat, pasukan Padri telah mengetahuinya bahwa tentara Belanda akan
menyerang dari Manggopoh. Rakyat yang tinggal di sekitar Manggopoh seperti Bukit
Maninjau dan Lubuk Ambalau diyakinkan dan diancam oleh pasukan Padri untuk tidak
membantu pasukan Belanda.

Kolonne Belanda yang menyerang dari jurusan Manggopoh itu dipimpin oleh Letnan
Kolonel Elout. Mereka berangkat ke Tapian Kandi tanggal 11 September 1835. Di
daerah ini saja pasukan Belanda telah mendapat perlawanan pasukan Padri yang cukup
sengit, hanya karena tembakan meriam yang bertubi-tubi pasukan Padri terpaksa
mundur ke daerah Pangkalan. Pasukan Belanda terus mendesak pasukan Padri di
Pangkalan; pertempuran sengit terjadi hampir tiap langkah dari perjalanan pasukan maju
Belanda. Hanya dengan pengorbanan yang besar pasukan Padri dapat dipukul mundur
dan pasukan Belanda dapat sampai di Kota Gedang.

Dari dataran tinggi Kota Gedang ini ada dua jalan; yaitu ke utara menuju Bonjol dengan
melalui Tarantang Tunggang, dan ke timur menuju XII Kota. Letnan Kolonel Elout
pergi ke Tanjung untuk bertemu dengan Tuanku nan Tinggi dari Sungai Puar guna
mendapat petunjuk jalan yang terbaik untuk mencapai Bonjol. Tuanku dari Sungai Puar
memberi petunjuk jangan pergi ke Bonjol melalui XII Kota, karena rakyat di sana pasti
akan menghambatnya. Karenanya ia kembali ke Kota Gedang, tetapi gudang perbekalan
pasukan Belanda yang dikawal tidak begitu kuat disaat ditinggalkan telah habis dibakar
oleh rakyat. Dalam kondisi seperti ini, Letnan Kolonel Elout sebagai komandan pasukan
Belanda dari sektor barat memutuskan untuk mengundurkan diri.ke Kota Merapak.
Gerakan mundur pasukan Belanda diketahui oleh pasukan Padri, kesempatan dan
peluang ini digunakan sebaik-baiknya untuk melakukan pengejaran, dengan taktik
gerilya.

Serangan gerilya yang dilakukan pasukan Padri berhasil dengan gemilang bukan saja
ratusan tentara Belanda dan pasukan adat yang mati terbunuh, tetapi juga hampir semua
perlengkapan perang seperti meriam dan perbekalan semuanya dapat dirampas. Pasukan
Belanda hanya dapat membawa senjata dan pakaian yang melekat di tangan dan
badannya.

Kolonne ketiga dari pasukan Belanda yang datang dari jurusan utara melalui Rao
dipimpin oleb Mayor Eilers. Pasukan Eilers yang memang tidak begitu kuat, diberikan
kelonggaran, jika pasukannya tidak mampu melawan pasukan Padri di sebelah utara
Alahan Panjang, ia boleh maju hanya sampi Lubuk Sikaping saja. Di sini pasukannya
harus bertahan sambil menunggu informasi kolonne yang lain, yang menyerang dari
timur dan barat daerah Bonjol. Sambil menunggu berita dari kolonne-kolonne yang lain,
Mayor Eilers menghimpun pasukan dari kepala-kepala adat dari Tuanku Yang
Dipertuan di Rao dan Mandahiling untuk memperkuat pasukannya yang hanya terdiri
atas 80 orang serdadu. Usahanya berhasil dengan 1000 orang Rao, 400 orang
Mandahiling dan 500 orang Batak lainnya. Dengan kekuatan sekitar 2000 orang; Mayor
Eilers maju menuju Bonjol. Sepanjang perjalanan pasukan Belanda mendapat
perlawanan sengit dari pasukan Padri, baik dalam bentuk serangan gerilya maupun
pertempuran frontal dari benteng ke benteng.

Pada tanggal 18 September 1833 pasukan Belanda telah sampai di Alai, kira-kira dua
kilometer dari benteng Bonjol. Di sini pasukan Belanda telah mendapat perlawanan
yang luar biasa oleh pasukan Padri, pertempuran sudah sampai satu lawan satu.
Akibatnya korban di pihak pasukan Belanda banyak sekali baik yang mati maupun luka



luka. Untuk menghindari korban yang lebih banyak, akhirnya-pasukan Belanda
mengundurkan diri ke Bonjol Hitam. Pengunduran diri pasukan Belanda ini diikuti terus
dengan serangan-serangan pasukan Padri, baik siang maupun malam hari.

Karena terancam oleh kehancuran total, disamping ternyata dua kolonne dari timur
maupun barat telah mengundurkan diri, maka Mayor Eilers, pada tanggal 19 September
1833 memutuskan untuk mengundurkan diri, kembali ke pangkalan. Agar selamat dari
sergapan pasukan Padri di tengah jalan, pengunduran diri harus dilakukan tengah
malam.

Pada saat maghrib tiba, disaat tentara Belanda sedang sibuk berkemas-kemas untuk
melarikan diri, tiba-tiba menjadi panik, karena pasukan Padri menyerbu dengan cepat
dan keras. Pasukan Rao dan Mandahiling berhamburan keluar mencari selamat dengan
meninggalkan segala persenjataan dan perlengkapannya. Tentara Belanda juga tak
mampu menguasi keadaan dan bahkan turut lari tanpa menghiraukan teriakan
komandannya Mayor Eilers. Keadaan panik dan kacau, menyebabkan pasukan Belanda.
meninggalkan begitu saja meriam dan granat-granat serta senjata-senjata lainnya.
Bahkan pasukan yang luka parah sebanyak 50 orang ditinggalkan begitu saja, sampai
mati terbunuh semuanya. Hanya dengan susah payah, sisa-sisa pasukan Belanda pada
tanggal 20 September 1833, baru dapat selamat ke pangkalan.

Pengunduran diri pasukan Belanda adalah atas persetujuan Jenderal Van den Bosch;
karenanya ia datang sendiri ke Guguk Sigandang untuk menerima pasukan-pasukan
yang kalah itu. Dihadapan pasukannya, Jenderal Van den Bosch berucap: "Bila keadaan
memang tidak mengizinkan, dan kesulitan begitu besar, sehingga sulit diatasi, pasukan
boleh ditarik mundur; menunggu waktu yang tepat. Tetapi bagaimana pun Bonjol harus
ditaklukkan".

Pada tanggal 21 september 1833, Jenderal Van den Bosch memberi laporan ke Batavia
bahwa penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang diusahakan untuk konsolidasi guna
penyerangan selanjutnya.

Selama tahun 1834 tidak ada usaha yang sungguh-sungguh yang dilakukan oleh
pasukan Belanda untuk menaklukkan Bonjol, markas besar pasukan Padri, kecuali
pertempuran kecil-kecilan untuk membersihkan daerah-daerah yang dekat dengan pusat
pertahanan dan benteng Belanda. Selain itu pembuatan jalan dan jembatan, yang
mengarah ke jurusan Bonjol terus dilakukan dengan giat, dengan mengerahkan ribuan
tenaga kerja paksa. Pembuatan jalan dan jembatan itu dipersiapkan untuk memudahkan
mobilitas pasukan Belanda dalam gerakannya menghancurkan Bonjol.

Baru pada tanggal 16 April 1835, pasukan Belanda memutuskan untuk mengadakan
serangan besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol dan sekitarnya. Operasi militer
dimulai pada tanggal 21 April 1835, dimana dua kolonne pasukan Belanda yang
berkumpul di Matur dan Bamban, bergerak menuju Masang. Meskipun sungai itu
banjir, mereka menyeberangi juga dan terus masuk menyelusup ke dalam hutan rimba;
mendaki gunung dan menuruni lembah; guna meghindarkan dari kubu-kubu pertahanan
Padri yang dipasang disekitar tepi jalan.

Pada tanggal 23 April 1835 pasukan Belanda telah sampai di tepi sungai Batang
Ganting, terus menyeberang dan kemudian berkumpul di Batu Sari. Dari sini hanya ada
satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yang dikuasai oleh pasukan Padri. Jalan
sepanjang menuju Sipisang dipertahankan oleh pasukan Padri dengan pimpinan Datuk


Baginda Kali. Serangan-serangan pasukan Padri untuk menghambat laju pasukan
Belanda memang cukup merepotkan dan melelahkan, tetapi tidak berhasil menahan
secara total.

Sesampainya di Sipisang, pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan pasukan
Padri berjalan sangat kejam, tiga hari tiga malam pertempuran berlangsung tanpa henti,
sampai korban di kedua belah pihak banyak yang jatuh. Hanya karena kekuatan yang
jauh tak sebanding, pasukan Padri terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba
dan menyeberangi kali. Jatuhnya daerah Sipisang, dijadikan oleh pasukan Belanda
untuk kubu pertahanannya, sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.

Selain itu, satu kolonne pasukan Belanda pada tanggal 24 April 1835 berangkat menuju
daerah Simawang Gedang, yaitu daerah yang dikuasai pasukan Padri. Dengan kekuatan
hanya 500 orang pasukan Padri mencoba menahan tentara Belanda yang jumlah dan
kekuatannya jauh lebih besar. Pertempuran dahsyat tak terhindari lagi, berjalan alot;
walau akhirnya pasukan Padri mengundurkan diri.

Satu kompi pasukan tentara Bugis yang dibantu oleh pasukan adat dari Batipuh dan
Tanah Datar bertugas untuk mengusir pasukan Padri yang berada di luar daerah
Simawang Gadang. Bahkan pasukan Bugis bersama-sama pasukan adat Batipuh dan
Tanah Datar berhasil mendesak pasukan Padri sampai ke Batang Kumpulan. Tetapi
disini telah menunggu 1200 orang pasukan Padri untuk menghadang gerakan maju
pasukan Belanda. Usaha ofensif pasukan Belanda yang terdiri dari pasukan Bugis,
Batipuh dan Tanah Datar diporak-porandakan oleh pasukan Padri, hampir-hampir
sebagian terbesar mati terbunuh.

Kalaulah tidak segera bala bantuan pasukan Belanda datang dengan cepat dan dalam
jumlah besar, dapat diduga bahwa pasukan Belanda yang terdepan itu akan musnah
seluruhnya. Datangnya bala bantuan pasukan Belanda bukan dapat menyelamatkan sisasisa
pasukannya yang telah cerai-berai; tetapi juga mampu mendesak pasukan Padri,
sehingga daerah Kampung Melayu yang menjadi ajang pertempuran dapat dikuasai oleh
Belanda.

Kampung Melayu terletak di tepi sebatang sungai kecil, Air Taras namanya. Tidak
berapa jauh ke hilir sungai itu bertemu dengan sungai Batang Alahan Panjang.
Kampung Melayu tersembunyi di dalam sebuah lembah yang dilingkari oleh bukit-bukit
tinggi yang terjal.

Pasukan Padri yang mengundurkan diri dari daerah Kampung Melayu, bersembunyi di
bukit-bukit terjal dengan kubu-kubu pertahanan yang tersembunyi, untuk menjepit
pasukan Belanda yang ada di Air Taras. Pada tanggal 27 April 1835, pasukan Belanda
mencoba menyerang pasukan Padri yang berada di bukit-bukit terjal itu; tetapi hasilnya
nihil, bahkan puluhan tentaranya yang mati dan luka-luka.

Selama tiga hari pasukan Belanda melakukan konsolidasi dengan menambah
pasukannya. Baru pada tanggal 3 Mei 1835 operasi militer dapat dilanjutkan. Tetapi,
baru saja dimulai, Letnan Kolonel Bauer komandan pasukan Belanda telah terluka kena
ranjau. Di saat pasukan Belanda menyeberangi sungai Air Taras diserang oleh pasukan
Padri, sehingga banyak pasukannya yang tenggelam dan mati, karena senjata yang
digunakan macet terendam air. Pertempuran kemudian berkembang menjadi perang
tanding, yang tentunya menguntungkan pasukan Padri. Tetapi karena pasukan Belanda
jauh lebih besar, akhirnya pasukan Padri terdesak dan meninggalkan kubu-kubu


pertahanan yang ada di bukit-bukit terjal itu. Kemajuan yang diperoleh pasukan Belanda
di daerah ini tidak langgeng karena tidak berapa lama pasukan Padri datang menyerang
dengan kekuatan sekitar 500 orang.

Karena merasa daerah ini kurang aman, maka pasukan Belanda sebelum
meninggalkannya telah melakukan perampokan dan pembakaran rumah-rumah
penduduk dan ladang-ladang, sehingga menjadi daerah yang hangus terbakar.

Laju pasukan Belanda menuju Bonjol sangat lamban, hampir sebulan waktu yang
diperlukan untuk bisa mendekati daerah Alahan Panjang. Front terdepan dari Alahan
Panjang adalah Padang Lawas, yang secara penuh dikuasai oleh Pasukan Padri. Pada
tanggal 8 Juni 1835 pasukan Belanda yang mencoba maju ke front Padang Lawas
dihambat dengan pertempuran sengit oleh pasukan Padri. Hanya dengan pasukan yang
besar dan kuat persenjataannya dapat memukul mundur pasukan Padri, dan menguasai
front Padang Lawas.

Pada tanggal 11 Juni 1835 pasukan Belanda menuju sebelah timur sungai Alahan
Panjang, sedangkan pasukan Padri berada di seberangnya pasukan musuh yang
bersembunyi di benteng-benteng partahanannya senantiasa mendapat serangan gerilya
dari pasukan Padri, sehingga selama lima hari-lima malam, pasukan musuh tidak dapat
maju dan bahkan kehilangan 7 orang serdadunya mati dan 84 orang luka-luka.

Kampung Bonjol kira-kira 1200 hasta panjangnya dan 400 sampai 700 hasta lebarnya,
sebab bagian selatan dari dinding barat mundur kira-kira 200 hasta ke belakang. Letak
kampung ini antara 1000 atau 1200 hasta dari tepi timur suang Batang Alahan Panjang.
Di timur dan tenggaranya terdapat tebing terjal dan sebuah bukit yang tegak hampir
lurus keatas, yang dengan Bonjol dipisahkan oleh sebatang anak sungai kecil. Bukit ini
Tajadi namanya, menguasai lapangan di setelah barat dan timurnya. Di atas bukit ini
pasukan Padri membuat beberapa kubu pertahanan yang kuat dan baik letaknya, dan
dari sana mereka menembakkan meriam yang bermacam kaliber kepada musuh di
seberang barat Alahan Panjang.

Di kampung itu banyak rumah yang terbuat dari kayu, yang sebagian besar dinaungi
oleh hutan bambu, pohon-pohon kelapa dan pohon buah-buahan. Di sebelah barat dan
utara kampung Bonjol terbentang sawah luas.

Di sebelah timur Bonjol membujur bukit barisan tinggi membujur, yang diselimuti oleh
hutan lehat. Di balik timur bukit barisan itulah terletak tanah Lima Puluh Kota. Tanah di
sebelah selatan dan tenggara Lambah Alahan Panjang ini bergunung-gunung dan berbukit
batu yang benjal-benjol. Keadaan alam ini dipergunakan oleh pasukan Padri
sebagai benteng pertahanan yang paling besar dan menjadi markas besar Imam Bonjol.
Pada umumnya, semak, belukar dan hutan yang sangat tebal di sekitar Bonjol ini,
sehingga kubu-kubu pertahanan pasukan Padri tidak mudah dilihat dari luar. Di tengah
lembah mengalir dan berliku-liku sungai Batang Alahan Panjang dari utara ke selatan.

Pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835 pasukan Belanda membuat kubu pertahanan
yang kira-kira hanya 250 langkah dari Bonjol. Dengan menggunakan houwitser, mortir
dan meriam besar, menembaki benteng Bonjol, yang dibalas kontan oleh meriammeriam
pasukan Padri yang berada di bukit Tajadi. Karena posisi yang kurang
menguntungkan pasukan musuh maka banyak pasukannya yang mati dan terluka, oleh
karena itu Letnan Kolonel Bauer meminta kepada Residen Francis untuk memberikan
bala bantuan sebanyak 2000 orang lagi. Dan pada tanggal 17 Juni 1835 bala bantuan itu


datang. Pada tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan yang besar pasukan Belanda
memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu Bonjol. Sebelum pasukan musuh
sampai pada sasaran terakhir, di kampung Jambak dan Kota mendapat perlawanan yang
sengit dari pasukan rakyat dan Padri.

Di Bonjol yang merupakan markas besar pasukan Padri telah berkumpul komandankomandan
pasukan Padri yang datang dari daerah-daerah yang telah ditaklukkan
pasukan Belanda, yaitu dari Tanah Datar, Lintau, Bua, Lima Puluh Kuta, Agam, Rao
dan Padang Hilir. Semua bertekad bulat untuk mempertahankan markas besar Bonjol
sampai titik darah penghabisan, hidup mulia atau mati syahid.

Melihat kokohnya benteng Bonjol, disamping banyak tentaranya yang mati dan lukaluka,
pasukan Belanda tidak melakukan gerakan ofensif menyerang Bonjol tetapi
melakukan blokade terhadap Bonjol, dengan tujuan untuk melumpuhkan suplai bahan
makanan dan senjata pasukan Padri. Blokade yang dilakukan Belanda, ternyata tidak
efektif, karena justru benteng-benteng pertahanan pasukan musuh dan bahan
perbekalannya yang banyak diserang oleh pasukan gerilya Padri yang memang berada
di belakang pasukan musuh.

Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol masih menunggu bala
bantuan tentara, walau di sekitar Bonjol pasukan Belanda telah berkumpul, pada awal
Agustus 1835, sekitar 14.000 orang. Baru setelah datang bala bantuan tentara Belanda
yang terdiri dari pasukan Bugis; pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan dilakukan
terhadap kubu-kubu pertahanan pasukan Padri yang berada di bukit Tajadi. Satu persatu
kubu-kubu pertahanan strategis pasukan Padri ini jatuh ke tangan pasukan musuh.

Pada tanggal 5 September 1835 pasukan Bonjol menyerbu ke luar benteng
menghancurkan kubu-kubu pertahahan musuh yang dibuat sekitar benteng. Dengan
keberanian yang luar biasa pasukan Padri menyerang benteng-benteng Belanda, yang
banyak menelan korban di kedua belah pihak. Setelah serangan dilakukan, pasukan
Padri segera masuk kembali ke dalam benteng.

Sementara itu pasukan Belanda yang berada di Puar Datar diperintahkan oleh Letnan
Kolonel Bauer maju menuju Bonjol. Dalam perjalanannya pasukan Belanda ini harus
melalui desa Talang. Sesampainya di sini pasukan Padri yang dibantu oleh rakyat
melakukan perlawanan yang sengit, sehingga memaksa pasukan musuh kembali ke Air
Papa dan terus ke Puar Datar. Usaha mendatangkan bantuan untuk menyerang Bonjol
dari jurusan Luhak Lima Puluh Kota gagal.

Kegagalan menyerang Bonjol dari jurusan Luhak Lima puluh Kota, pada tanggal 9
September 1835, serangan ditempuh melalui Padang Bubus. Hasilnya sama, gagal,
bahkan pasukan Belanda banyak yang mati dan luka-luka. Dan Letnan Kolonel Bauer
yang menderita sakit, terpaksa dikirim ke Bukittinggi dan digantikan oleh Mayor
Prager.

Kebijaksanaan Mayor Prager tidak melakukan serangan ofensif ke Bonjol sampai
datangnya bala bantuan baru dari markas besarnya di Bukittinggi. Dalam kesempatan
yang terluang ini, pasukan Padri melakukan serangan gerilya terhadap kubu-kubu
pertahanan Belanda, memusnahkan gudang-gudang perbekalan dan gudang mesiu
bukan saja daerah di sekitar Bonjol, tetapi sampai jauh menyelinap ke Kumpulan,
Sirnawang Gadang dan Puar Datar.


Blokade yang berlarut-larut, menimbulkan keberanian rakyat untuk memberontak
terhadap pasukan Belanda, sehingga pada tanggal ll Desember 1835 rakyat desa Alahan
Mati dan Simpang mengangkat senjata kembali. Tentara Belanda tak mampu mengatasi
pemberontakan rakyat desa-desa ini, sehingga mendatangkan pasukan bantuan dari
serdadu-serdadu Madura. Hanya dengan bantuan pasukan Madura, Belanda dapat
memadamkan pemberontakan ini. Di desa Kumpulan juga terjadi peristiwa yang sama,
yaitu pemberontakan terhadap pasukan musuh.

Gerakan maju pasukan Belanda menyerbu benteng Bonjol yang tinggal beberapa ratus
kilometer, dalam tiga bulan ini, hampir-hampir tidak mengalami kemajuan yang berarti,
malah sebaliknya daerah-daerah yang telah ditaklukkan kembali memberontak; dan
tidak sedikit menimbulkan korban bagi pasukan musuh. Sambil menunggu bala bantuan
dari Batavia, Belanda mencoba melakukan perundingan dengan pasukan Padri.
Perundingan, yang sebenarnya hanya untuk mengulur-ulur waktu saja, ternyata ditolak
oleh ImamnBonjol. Peluang waktu ini dipergunakan oleh Imam Bonjol untuk
membangkitkan rakyat yang tinggal di garis belakang pasukan musuh untuk berontak.

Setelah kegagalan perundingan ini, dan tambahan pasukan dari Batavia telah tiba, maka
pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan Belanda melakukan serangan besar-besaran
terhadap benteng Bonjol, sebagai pukulan terakhir penaklukkan Bonjol. Serangan
dahsyat mampu menjebol sebagian benteng Bonjol, sehingga pasukan Belanda masuk
menyerbu dan berhasil membunuh putera serta keluarga Imam Bonjol. Tetapi serangan
balik pasukan Bonjol (Padri) mampu memporak-porandakan musuh sehingga terusir
keluar benteng dengan meninggalkan banyak sekali korban.

Kegagalan penaklukkan benteng Bonjol sekarang ini benar-benar memukul
kebijaksanaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia. Oleh karena itu Gubernur
Jenderal Hindia Belanda mengirimkan panglima tertingginya Mayor Jenderal Coclius
ke Bukittinggi untuk memimpin langsung serangan ke benteng Bonjol untuk kesekian
kalinya. Dengan mengunakan pasukan artileri yang bersenjatakan meriam-meriam besar
untuk memboboIkan benteng; diperkuat dengan pasukan infantri dan kavaleri, pasukan
Belanda memulai lagi serangannya ke benteng Bonjol.

Serangan yang bertubi-tubi dan dahsyat dengan hujan peluru meriam, masih memerlukan
waktu yang cukup lama, kira-kira 8 bulan lamanya. Setelah bukit Tajadi jatuh pada
tanggal 15 Agustus 1837, maka pada tanggal 16 Agustus 1837 benteng Bonjol yang
anggun dapat ditaklukkan. Tetapi tak berhasil menangkap Imam Bonjol, karena sempat
mengundurkan diri keluar benteng dengan pasukan Padri yang mendampinginya dan
terus menuju daerah Marapak. Imam Bonjol mencoba mengadakan konsolidasi terhadap
pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah, karena telah lebih 3 tahun bertempur
melawan Belanda, ternyata sia-sia. Hanya sedikit saja lagi pasukan yang masih siap
bertempur.

Melihat kenyataan semacam ini, Imam Bonjol menyerukan kepada pasukannya yang
terserak di mana-mana untuk kembali ke kampung halamannya masing-masing, untuk
memulai hidup baru sebagai rakyat biasa. Dan yang memang benar-benar tak ada lagi
semangat berjuang, dibenarkan untuk menyerah kepada Belanda.

Dalam pelarian dan persembunyiannya Imam Bonjol dengan pengawalnya dari hutan ke
hutan, lembah dan ngarai, memang sangat melelahkan, penderitaan kurang makan,
kurang tidur, sakit dan lelah mengakibatkan para pengawalnya hampir-hampir mati


semuanya. Dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba datang surat tawaran dari Residen Francis
di Padang untuk mengajak Imam Bonjol berunding.

Setelah dirundingkan bersama antara Imam Bonjol dan para stafnya, tawaran
perundingan dari Residen Francis di terima. Daerah perundingan dipilih Pelupuh, di
mana Imam Bonjol akan bertemu langsung dengan Residen Francis. Pada tanggal 28
Oktober 1837 Imam Bonjol dengan stafnya keluar dari Bukit Gadang menuju Pelupuh.
Sesampainya di Pelupuh, bukannya perundingan yang terjadi, tetapi sepasukan Belanda
telah siap menangkap Imam Bonjol dengan stafnya. Karena Imam Bonjol dan stafnya
tidak membawa senjata, sesuai dengan syarat-syarat perundingan akhirnya dengan
mudah pasukan Belanda menangkap Imam Bonjol dan stafnya. Dari Pelupuh Imam
Bonjol di bawa ke Bukittinggi dan terus ke Padang. Pada tanggal 23 Januari 1838
dipindahkan ke Cianjur, dan pada akhir tahun 1838 itu juga Imam Bonjol dipindahkan
ke Ambon. Baru tanggal 19 Januari 1839 Imam Bonjol dipindahkan ke Menado. Di sini
ia menemui ajalnya pada tanggal 8 Nopember 1864, setelah menjalani masa
pembuangan selama 27 tahun lamanya.

Dari fakta-fakta sejarah yang terungkap di muka, terlihat dengan gamblang bahwa sejak
awal timbulnya gerakan Padri sampai meletusnya Perang Padri dan tertangkapnya Imam
Bonjol sebagai pemimpin Padri terbesar, adalah satu usaha perjuangan politik merebut
kekuasaan guna dapat menjalankan Syari'at Islam dengan utuh dan murni. Umat Islam
Sumatera Barat dengan kaum Padrinya, sama dengan Diponegoro dengan Perang
Jawanya, mempunyai tujuan politik yang sama yaitu berdirinya satu negara yang
melaksanakan ajaran Islam secara utuh dan konsekwen. Dengan kata lain, perjuangan
Diponegoro dan Imam Bonjol mempunyai tujuan yang satu yaitu berdirinya Negara
Islam.

Baca Juga Yang Ini
Islam Vs Kristen




Monday, May 24, 2010

PERANG JAWA Islam Vs Kristen

PERANG JAWA
Sebelum kita melangkah lebih jauh untuk membicarakan sekitar 'Perang Jawa',
sebaiknya kita berbicara serba sedikit tentang pelaku-pelaku utama dari perang Jawa
tersebut, untuk mendapat gambaran mengenai corak perang yang menggoncangkan
eksistensi kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia.

Pangeran Diponegoro, menurut Babad Diponegoro yang ditulisnya sendiri di Penjara
Menado, menceritakan bahwa ia sejak muda telah mengabdi pada agama, mengikuti
jejak dan hidup moyangnya yang sangat taat pada agama. Moyangnya itu tinggal di
Tegalrejo. Untuk menghindari diri dari pengaruh kraton Yogyakarta, ia tinggal bersama
neneknya di Tegalrejo.

Di tempat ini, selain memperdalam pengetahuannya tentang Islam, ia juga secara tekun
untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan syari'at Islam. Hal ini menyebabkan ia kurang
senang mengikuti kakeknya Sultan Yogyakarta dan karenanya jarang sekali datang di
kraton, kecuali pada waktu perayaan Grebeg, seperti perayaan Maulud Nabi
Muhammad SAW, Hari Raya Idul Fithri dan Idul Adha dimana kehadirannya
diharuskan.

Pada waktu ia berumur 20 tahun telah berhasrat hidup sebagai fakir (sufi), sehingga
seringkali keliling mengunjungi masjid, di mana ia dapat bergaul dengan para santri. Di
bagian lain dari bukunya itu, Diponegoro bercerita, ketika ia sedang berada di gua
Secang, ia dikunjungi oleh seorang berpakaian haji yang mengaku dirinya utusan Ratu
Adil, yang meminta pada Diponegoro untuk menemuinya di puncak gunung yang
bernama gunung Rasamani, seorang diri.

Diponegoro segera mengikuti utusan itu hingga sampai di puncak gunung. Di sana ia
berjumpa dengan Ratu Adil yang memakai serban (ikat kepala model Arab) hijau dan
jubah (pakaian khas Arab yang panjang dengan lengan tangan lebar pula) dari sutera;
dengan celana dari sutera juga. Ratu Adil mengatakan kepada Abdul Hamid
(Diponegoro) bahwa sebabnya ia memanggil Diponegoro adalah karena ia
mewajibkannya untuk memimpin prajuritnya untuk menaklukkan Pulau Jawa. Kalau
ada orang yang menanyakan padanya, kata Ratu Adil, "siapa yang memberi kuasa
padanya?" Diponegoro harus menjawab, bahwa: "yang memberi kuasa padanya adalah
Al-Qur'an".

Di bagian lain Diponegoro menceritakan, bahwa pada suatu waktu, ketika ia duduk di
bawah pohon beringin, ia mendengar suara yang mengatakan bahwa ia akan diangkat
menjadi Sultan Erucakra, Sayidina Panatagama, Khalifah daripada Rasulullah.

Oleh karena itu Diponegoro dalam memimpin "Perang Jawa" ini senantiasa diwarnai
oleh ajaran Islam dan bahkan berusaha agar syari'at Islam itu tegak di dalam daerah
kekuasaannya.

Hal ini dapat dilihat dari surat Diponegoro yang ditujukan kepada penduduk Kedu, yang
ditulis dalam bahasa Jawa, antara lain berbunyi "Surat ini datangnya dari saya Kanjeng
Gusti Pangeran Diponegoro bersama dengan Pangeran Mangkubumi di Yogyakarta
Adiningrat kepada sekalian sahabat di Kedu, menyatakan bahwa sekarang kami sudah
minta tanah Kedu. Hal ini harus diketahui oleh semua orang baik laki-laki maupun
perempun, besar atau kecil tidak usah kami sebutkan satu demi satu. Adapun orang
yang kami suruh bernama Kasan Basari. Jikalau sudah menurut surat undangan kami
ini, segeralah sediakan senjata, rebutlah negeri dan 'betulkan agama Rasul'. Jikalau ada
yang berani tidak mau percaya akan bunyi surat saya ini, maka dia akan kami penggal
lehernya…" Kamis tanggal 5 bulan Kaji tahun Be (31 Juli 1825).

Kiai Mojo adalah seorang ulama terkenal dari daerah Mojo Solo. Ia adalah seorang
penasehat keagamaan Diponegoro yang memberikan corak dan jiwa Islam kepada
perjuangan yang dipimpinnya. Disamping penasehat Diponegoro, ia juga memimpin
pasukan bersama-sama anaknya di daerah Solo.

Sebelum 'perang Jawa' pecah, ia telah berkenalan erat dengan Diponegoro, sehingga
tatkala perang dicetuskan ia bersama anaknya Kiai GazaIi dan para santrinya bergabung
dengan pasukan Diponegoro.


Alibasah Abdul Mustafa Prawiradirja (Sentot) adalah putera Raden Rangga Prawiradirja
III yang gugur di dalam pertempuran melawan pasukan Belanda. Ibu Prawiradirja
(nenek Alibasah) adalah puteri Sultan Hamengku Buwono I. Jadi apabila dilihat dari
silsilah keturunannya, ia adalah keturunan kraton Yogyakarta yang mempunyai
hubungan darah dengan Diponegoro. Dilihat dari namanya, ia adalah seorang muslim.

Pada saat 'perang Jawa' pecah, Alibasah masih muda sekali yaitu berumur 16 tahun.
Sebagai remaja yang penuh semangat perjuangan yang diwarisi dari ayahnya, pengaruh
agama Islam juga sangat besar dari tokoh utama perang Jawa, yaitu Diponegoro dan
Kiai Mojo.

Dilihat dari para pelaku utama dalam Perang Jawa ini dapat disimpulkan bahwa Islam
memegang peranan penting dalam memberikan motivasi dan inspirasi untuk menentang
kezaliman dan tirani yang bertitik kulminasi dengan meletusnya perang tersebut.
Kesimpulan ini sejalan dengan tulisan W.F. Wertheim yang antara lain menyatakan
bahwa faktor baru muncul pada abad ke-19, di mana daerah-daerah di Indonesia rakyat
tani banyak yang masuk Islam. Hal ini memperkuat posisi para kiai, karena sekarang
mereka dapat mengandalkan untuk mendapatkan dukungan kuat dari rakyat.

Para penguasa kolonial Belanda terus menerus konfrontasi dengan sultan-sultan
Indonesia mendorong mereka untuk mempersatukan diri dengan para kiai serta
mengibarkan bendera Istam, sultan-sultan itu dapat mengobarkan pemberontakan
umum. Ini dapat disaksikan dalam perang Jawa, perang Bonjol, perang Aceh. Lebih
daripada itu keadaan perang ternyata menambah prestise dan kekuatan para 'ekstremis'
di antara kiai itu untuk menggunakan senjata "Perang Sabil".

Sebagaimana telah diuraikan di muka bahwa Sultan Hamengku Buwono II dinobatkan
pada tanggal 2 April 1792. Dalam masa kesultanannya, Gubernur Jenderal H.W.
Daendels telah mengeluarkan peraturan yang mensederajatkan pejabat-pejabat Belanda
seperti Residen Surakarta dan Yogyakarta dengan sultan dalam upacara-upacara resmi.
Selanjutnya Daendels menuntut Patih Danureja II (kaki tangan Belanda) yang dipecat
oleh sultan supaya dikembalikan kepada posisi semula. Tetapi sebaliknya Raden
Rangga Prawiradirja III, yang menjadi bupati-wedana Mancanegara Yogyakarta, yang
senantiasa menentang campur tangan Belanda, untuk diserahkan kepada Belanda guna
mendapat hukuman.

Tuntutan Daendels ini ditolak oleh Sultan Hamengku Buwono II, sehingga ia
mengirimkan pasukan Belanda untuk menundukkan sultan. Pertempuran terjadi antara
pasukan Belanda dengan pasukan sultan; tetapi kekalahan berakhir bagi pasukan sultan,
di mana Raden Rangga Prawiradirja gugur dalam pertempuran, dan Sultan Hamengku
Buwono II pada bulan Januari 1811 diturunkan dari tahta dan digantikan oleh puteranya
Adipati Anom menjadi Sultan Hamengku Buwono III atau Sultan Raja.

Sultan Hamengku Buwono III ini adalah ayah dari Diponegoro. Pertentangan antara
Sultan Hamengku Buwono II (paman Diponegoro) dengan Sultan Hamangku Buwono
III (ayahnya sendiri), turut melibatkan Diponegoro yang pada saat itu telah cukup
dewasa yaitu berumur 26 tahun (lahir tahun 1785). Dan ia secara politik berpihak
kepada Sultan Hamengku Buwono II atau disebut Sultan Sepuh.

Kemarahan Sultan Sepuh dan Diponegoro, bukan hanya Daendels secara sewenangwenang
menurunkannya dari tahta kesultanan Yogyakarta, tetapi juga daerah-daerah


seperti Kedu, Bojonegoro dan Mojokerto yang selama ini berada dibawah kekuasaan
kesultanan Yogyakarta dirampas oleh Belanda.

Peran Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang kejam dan rakus
berakhir pada tanggal 16 Mei 1811, dan digantikan oleh J.W. Jansens. Jabatan Jansens
sebagai Gubernur Jenderal hanya beberapa bulan saja, sebab setelah itu pasukan Inggris
menyerbu Belanda, di mana akhirnya Belanda menyerah kalah di Kali Tuntang,
Salatiga, Jawa Tengah. Peralihan kekuasaan antara Belanda kepada Inggris,
dipergunakan sebaik-baiknya oleh Sultan Sepuh (Sultan Hamengku Buwono II) untuk
merebut kembali kesultanan Yogyakarta. Usaha ini berhasil dan bahkan Sultan Sepuh
memerintahkan agar Patih Danureja II dihukum mati, karena persekongkolannya
dengan Belanda.

Kehadiran Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Jenderal penguasa kolonial
Inggris di Indonesia, mengokohkan kekuasaan Sultan Sepuh dengan jalan tetap
mengakui Sultan Sepuh sebagai Sultan Hamengku Buwono II yang berkuasa di daerah
Yogyakarta dan menetapkan Sultan Hamengku Buwono III menjadi Adipati Anom.

Tetapi tatkala Raffles meminta daerah-daerah Kedu, Bojonegoro dan Mojokerto sebagai
warisan dari Daendels, Sultan Sepuh menolaknya; tetapi Adipati Anom (Sultan
Hamengku Buwono III) menerimanya bahkan membantu Inggris. Pertentangan ini
menjadi alasan bagi Raffles untuk mengirimkan pasukan guna menundukkan Sultan
Sepuh (Sultan Hamengku Buwono II), dan berhasil. Sultan sepuh ditangkap dan
dibuang ke Penang, Adipati Anom diangkat oleh Inggris menjadi Sultan Hamengku
Buwono III pada tanggal 28 Juni 1812.

Untuk memberikan imbalan jasa kepada para pembantu Adipati Anom dalam
mengalahkan Sultan Sepuh, maka Pangeran Natakusuma diberikan sebagian daerah
kesultanan Yogyakarta menjadi seorang yang merdeka dengan Gelar Paku Alam I; dan
Tan Jin Sing, seorang kapten Cina, diberikan pula tanah dan pangkat dengan gelar
Raden Tumenggung Secadiningrat (Maret 1813).

Hal ini tentu saja suatu pukulan hebat bagi kesultanan Yogyakarta dan bagi para
bangsawannya, karena kehilangan sumber penghidupannya; tanah-tanah lungguh makin
susut dan banyak yang hilang.

Seperti halnya Daendels, maka Raffles-pun menjual tanah-tanah pemerintah kepada
orang-orang swasta, seperti orang-orang asing Eropa dan Cina, untuk memperoleh
penghasilan bagi penguasa kolonial Inggris. Disamping itu Raffles banyak membawa
perubahan dan pembaharuan di dalam mengatur masalah-masalah agraria, antara lain
mengadakan pajak tanah. Para petani diharuskan menyerahkan sepertiga dari hasil
buminya kepada penguasa, baik dalam bentuk natura maupun uang.

Selanjutnya pada tanggal 3 Nopember 1814 Sultan Hamengku Buwono III wafat dalam
usia 43 tahun; ia digantikan oleh puteranya Pangeran Adipati Anom yang bernama Jarot
sebagai Sultan Hamengku Buwono IV. Sultan ini adalah adik Diponegoro dari lain ibu.

Karena usia sultan masih sangat muda, maka dibentuklah sebuah 'Dewan Perwalian'
dengan Pangeran Natakusuma (Paku Alam I) sebagai wakil sultan. Dalam priode ini,
pada tanggal 19 Agustus 1816 John Fendall sebagai wakil pemerintah kolonial Inggris


di Indonesia menyerahkan kekuasaan kepada Van der Capellen, Gubernur Jenderal
Belanda sebagai wakil pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Sultan Hamengku Buwono IV tidak lama berkuasa, sebab pada tanggal 6 Desember
1822 wafat; ia digantikan oleh puteranya yang masih kanak-kanak (lahir tanggal 25
Januari 1820), bernama Menol untuk menjadi Sultan Hamengku Buwono V. Karena
Sultan Bamengku Buwono V masih kecil, maka dibentuk 'Dewan Perwalian' yang
terdiri atas: Kanjeng Ratu Ageng (nenek perempuan Sultan), Kanjeng Ratu Kencana
(ibu Sultan), Pangeran Mangkubumi (anak Sultan Hamengku Buwono II atau paman
Diponegoro) dan Diponegoro sendiri.

Dewan perwalian, yang hampir sepenuhnya ditentukan oleh penguasa kolonial Belanda,
yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan agama dan adat, maka Diponegoro menolak
menjadi wali model penguasa kolonial Belanda. Penolakan ini dijadikan dasar untuk
memfitnah Diponegoro oleh penguasa kolonial Belanda dan para kolaborator dari
kalangan istana bahwa Diponegoro berambisi untuk menjadi sultan.

Peran penguasa kolonial Belanda dan Inggris yang seenaknya mengotak-atik pemegang
tampuk pimpinan kesultanan Yogyakarta, mengurangkan daerah kekuasaannya dengan
jalan merampas dari wilayah kekuasaan sultan serta membebani rakyat dengan berbagai
tanam paksa dan pajak-pajak yang tinggi, adalah masalah yang susun susul-menyusul,
yang menumbuhkan kebencian dan kemarahan Diponegoro dan rakyat yang mempunyai
harga diri dan cinta terhadap kejujuran dan keadilan serta benci kepada setiap kezaliman
dan tirani, baik yang dilakukan oleh bangsa asing maupun bangsa sendiri.

Perasaan kesal dan marah tambah membengkak dengan tampilnya golongan Cina
sebagai pemegang kunci yang menentukan di dalam kehidupan ekonomi dan sosial,
baik di daerah kekuasaan kolonial Belanda maupun di daerah kesultanan, bahkan
sampai ke kraton.

Dominasi Cina di dalam bidang ekonomi dan sosial, yang mulai sejak Sultan Agung
Mataram (1613-1646) sampai dengan Sultan Hamengku Buwono III (1812-1814),
dimana sebagian orang kapten Cina secara resmi diberikan sebagian daerah kekuasaan
sultan dengan pangkat Raden Tumenggung Secadiningrat (Maret 1813), adalah bentukbentuk
kekuasaan Cina yang begitu mencolok di dalam kehidupan kesultanan Mataram
dan dinasti penerusnya. Penguasaan kota-kota pelabuhan dengan syahbandarsyahbandar
yang berhak memungut bea-cukai dikuasai Cina, penyewaan tanah yang
jatuh ke tangan Cina, para tengkulak yang dimonopoli oleh Cina, baik di daerah
kekuasaan kolonial Belanda maupun sultan, menambah kemiskinan rakyat hingga
menjadi melarat dan sengsara.

Padahal sejak kehadiran Penguasa kolonial Belanda di Indonesia sampai saat
keruntuhan Mataram, Cina senantiasa membantu dan bekerjasama dengan penguasa
kolonial Belanda menghancurkan kesultanan Mataram. Letusan perang Jawa ini hanya
tinggal menunggu waktu yang tepat saja lagi. Api penyulut cukup sebatang korek api,
tetapi lalang kering kerontang yang kena sulutan korek api itu akan meledak menjadi
kebakaran yang sulit untuk dipadamkan.

Moment yang tepat itu ternyata sederhana sekali, yaitu pada pertengahan tahun 1825,
tepatnya pada awal Juli 1825, Patih Danureja IV, kolabolator Belanda yang setia, telah
memerintahkan pejabat-pejabat kesultanan Yogyakarta untuk membuat jalan, di mana
antara lain menembus tanah milik Diponegoro dan neneknya di Tegalrejo. Penggunaan


tanah milik Diponegoro untuk jalan tanpa sepengetahuan Diponegoro sebagai pemiliknya.
Oleh karena itu Diponegoro memerintahkan pegawai-pegawainya untuk mencabut
tonggak-tonggak yang dipancangkan sebagai tanda pembuatan jalan oleh Patih
Danureja IV. Tindakan Diponegoro ini diikuti oleh protes keras dan menuntut supaya
Patih Danureja dipecat dari jabatannya. Tetapi A.H. Smisaert, selaku Residen Belanda
di Yogyakarta menolak dan menekan sultan untuk tetap mempertahankan Patih
Danureja IV.

Suasana tegang ini dikeruhkan oleh informasi yang menyatakan bahwa penguasa
kolonial Belanda akan menangkap Diponegoro. Mendengar berita ini, rakyat yang telah
dendam dan marah terhadap penguasa kolonial Belanda berkumpul menyatakan setia
untuk membela dan mempertahankan Diponegoro, jika rencana penangkapan itu terjadi.
Ketegangan ini menimbulkan kegelisahan

Langkah pertama yang ditempuh oleh Diponegoro adalah mengeluarkan seruan kepada
seluruh rakyat Mataram untuk sama-sama berjuang menentang penguasa kolonial
Belanda dan para tiran, yang senantiasa menindas rakyat. Seruan itu antara lain
berbunyi: "Saudara-saudara di tanah dataran! Apabila saudara-saudara mencintai saya,
datanglah dan bersama-sama saya dan paman saya ke Selarong. Siapa saja yang mencintai
saya datanglah segera dan bersiap-siap untuk bertempur." Seruan ini disebarluaskan
di seluruh tanah Mataram, khusuanya di Jawa Tengah dan mendapat sambutan
hampir sebagian besar lapisan masyarakat. Dan daerah Selarong penuh sesak, dipenuhi
oleh pasukan rakyat!

Seruan ini disambut baik oleh Kiai Mojo, seorang ulama besar dari daerah Mojo-Solo;
yang datang bersama barisan santrinya menggabungkan diri dengan pasukan
Diponegoro; ia menyerukan 'perang sabil' terhadap pihak penguasa kolonial Belanda.
Jejak Kiai Mojo dengan santrinya, diikuti oleh para ulama dan santri-santri dari Kedu
dibawah pimpinan Pangeran Abubakar; juga Muhamad Bahri, penghulu Tegalrejo.
Perang sabil menentang penguasa kolonial Belanda-Kristen meledak membakar hampir
seluruh tanah Mataram, bahkan sampai ke Jawa Timur dan Jawa Barat. Tampilnya
Alibasah Abdul Mustafa Prawiradirja (Sentot) dan sebagian para bangsawan di
kalangan penguasa kolonial Belanda dan kraton Yogyakarta. Akhimya diutuslah
Pangeran Mangkubumi (paman Diponegoro) ke Tegalrejo untuk memanggil
Diponegoro ke kraton. Semula Diponegoro bersedia datang ke kraton, apabila ada
jaminan dari Pangeran Mangkubumi bahwa ia tidak akan ditangkap. Tetapi karena
Mangkubumi sendiri tidak berani menjamin dan bahkan ia sendiri tidak akan kembali
lagi ke Yogyakarta, maka Diponegoro memperkuat diri dengan pasukan rakyat yang
telah melakukan bai'ah (janji setia perjuangan).

Melihat kegagalan Pangeran Mangkubumi ini untuk memanggil Diponegoro, Residen

A.H. Smisaert mengutus kembali dua orang bupati yang dikawal dengan sepasukan
militer. Sebelum utusan Belanda ini sampai, Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi
yang sedang berunding menjadi terhenti, karena mendengar letusan senjata dan
tembakan meriam yang ditujukan ke arah rumah Diponegoro. Serangan Belanda
terhadap tempat kediaman Diponegoro, mengakibatkan Diponegoro dan Pangeran
Mangkubumi yang disertai kawalan pasukan rakyat mengungsi ke daerah Selarong,
guna selanjutnya melancarkan peperangan untuk mengusir penguasa kolonial Belanda
dari daerah kekuasaan kesultanan Yogyakarta khususnya dan Jawa umumnya. Peristiwa
ini terjadi pada tanggal 20 Juli 1825 dan disebut sebagai permulaan "Perang Jawa".

Yogyakarta seperti antara lain Pangeran Ngabehi Jayakusuma, putera Sultan Hamengku
Buwono II dan pangeran Mangkubumi melengkapi "Perang Jawa" yang dahsyat.

Strategi perang gerilya yang dipergunakan oleh Diponegoro dengan taktik "serang
dengan tiba-tiba pasukan musuh kemudian menghilang-bersembunyi", merupakan
strategi dan taktik yang dapat melumpuhkan pasukan kolonial Belanda; setidaktidaknya
pada awal perang Jawa.

Berita pecahnya perang Jawa sangat mengejutkan pihak Gubernur Jenderal Van der
Capellen di Batavia. Karenanya pada tanggal 26 Juli 1825, ia telah memutuskan untuk
mengirimkan pasukan dari Batavia langsung di bawah pimpinan Letnan Jenderal
Hendrik Marcus De Kock, pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda. Pada tanggal 29
Juli 1825 Let. Jend. De Kock telah tiba di Semarang untuk memimpin langsung operasi
militer terhadap pasukan Diponegoro.

Pasukan kolonial Belanda yang dipimpin oleh Kapten Kumsius dengan kekuatan 200
prajurit, yang dikirim dari Semarang, di daerah Pisangan dekat Magelang disergap oleh
pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Mulya Sentika. Hampir seluruh pasukan
Belanda berhasil dimusnahkan dan seluruh perlengkapan dan persenjataannya dirampas.

Kekalahan pertama, menyebabkan Belanda mengirimkan pasukan yang lebih besar dari
Semarang dan dipimpin oleh Kolonel Von Jett untuk langsung menyerang Selarong,
markas besar pasukan Diponegoro. Tetapi serangan ini gagal, karena pasukan
Diponegoro telah mengosongkan Selarong. Tatkala pasukan Belanda meninggalkan
Selarong, di perjalanan, di tempat-tempat yang atrategis, pasukan Belanda diserang;
sehingga menimbulkan kerugian yang cukup besar.

Ibukota Yogyakarta di kepung oleh pasukan Diponegoro, sehingga pasukan kesultanan
Yogyakarta dan Belanda terjepit, bahkan Sultan Hamengku Buwono V bersembunyi di
benteng Belanda untuk menyelamatkan diri. Pada tanggal 28 Juli 1825, Belanda
mengirimkan pasukan komando gabungan antara pasukan Belanda dan Mangkunegara
dari Surakarta untuk menembus barikade pasukan Diponegoro di Yogyakarta, guna
menyelamatkan pasukan Belanda dan Sultan Hamengku Buwono V yang terkurung.
Tetapi pasukan komando gabungan Belanda Mangkunegara di bawah pimpinan Raden
Mas Suwangsa di Randu Gunting dekat Kalasan disergap oleh pasukan Diponegoro
dibawah pimpinan Tumenggung Surareja. Sergapan ini berhasil dengan baik dan Raden
Mas Suwangsa, pimpinan komando gabungan itu sendiri tertangkap dan dibawa ke
Selarong, markas besar pasukan Diponegoro.

Operasi militer Belanda yang senantiasa mengalami kekalahan, maka Let. Jend. De
Kock menempuh jalan diplomasi, dengan jalan mengirim surat kepada Diponegoro;
surat pertama tertanggal 7 Agustus 1825 dan surat kedua tertanggal 14 Agustus 1825.
Isi surat-surat itu menyatakan keinginan Belanda untuk berunding dan bersedia
memenuhi tuntutan-tuntutan Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi, dengan syarat:
pertempuran dihentikan. Surat Let. Jend. De Kock diperkuat oleh surat Susuhunan
Surakarta, tertanggal 14 Agustus 1825. Surat-surat baik dari De Kock maupun dari
Susuhunan
Surakarta, semuanya dijawab oleh Diponegoro, dengan menekankan bahwa Perang
Jawa ini terjadi karena kesalahan Belanda yang bertindak otoriter dan zalim, yang
dibantu oleh pasukan militer Susuhunan Surakarta. Perdamaian yang diajukan oleh
Belanda dan Susuhunan Surakarta ditolak; kecuali pasukan kolonial Belanda angkat
kaki dari bumi Mataram. Jalan diplomasi gagal.


Karena tidak ada jalan lain, De Kock sebagai panglima tertinggi pasukan Hindia
Belanda, mengerahkan pasukannya dari berbagai daerah Batavia: Bone, Madura, Bali,
Ambon dan lain-lain untuk dipusatkan di sekitar Yogyakarta; guna menembus barikade
pasukan Diponegoro. Baru pada tanggal 25 September 1825, De Kock dengan pasukan
komando gabungan yang besar sekali berhasil memasuki Yogyakarta menyelamatkan
pasukan Belanda yang terkepung dan Sultan Hamengku Buwono V.

Pertempuran antara pasukan Belanda dengan pasukan Diponegoro tidak hanya terjadi di
sekitar Yogyakarta, tetapi juga menjalar dan terjadi di Magelang, Semarang,
Pekalongan, Banyumas, Bagelen dan daerah Kedu seluruhnya. Pertempuran makin hari
makin meluas, menjalar ke daerah Jawa Timur seperti Madiun, Ngawi dan Pacitan.
Pertempuran yang luas itu memang melumpuhkan dan melelahkan pasukan kolonial
Belanda dan para kolaborator; bahkan serangan kedua ke markas besar Selarong; tidak
berhasil menangkap dan melumpuhkan pasukan Diponegoro.

Pada tahun-tahun pertama (1825 -1826) pasukan Diponegoro memperoleh banyak
kemenangan. Dengan pasukan-pasukan berkuda, mereka dapat bergerak capat dan
mobile dari satu daerah ke daerah lain, dari satu pertempuran ke pertempuran lain dan
selalu lolos dari kepungan pasukan musuh yang jauh lebih besar jumlahnya.

Tetapi sejak tahun 1827 pasukan kolonial Belanda mulai unggul, selain karena besarnya
bala-bantuan yang didatangkan dari daerah-daerah, tetapi juga merubah strategi
pertempuran yang selama ini ditempuh. Let. Jend. De Kock, selaku panglima tertinggi
Hindia melaksanakan "sistem benteng" dalam operasi militernya. Pasukan Belanda
mendirikan benteng-benteng di wilayah yang telah dikuasai kembali. Antara benteng
yang satu dengan benteng yang lain dibuat jalan sehingga pasukan dapat bergerak
dengan cepat. Dengan sistem benteng itu, pasukan Diponegoro tidak lagi dapat bergerak
dengan leluasa; hubungan antar pasukan menjadi sukar. Tiap pasukan terpaku pada
daerah operasinya masing-masing. Gerakan mobile dan cepat yang selama ini menjadi
ciri pasukan Diponegoro menjadi lumpuh.

Daerah-daerah yang dikuasai kembali oleh Belanda didirikanlah benteng-benteng
seperti di Minggir, Groyak, Bantul, Brosot; Puluwatu, Kejiwan, Telagapinian,
Danalaya, Pasar Gede, Kemulaka, Trayema, Jatianom, Delanggu, Pijenan.

Di daerah-daerah pertempuran sebelah timur, benteng-benteng itu terdapat di Rembang,
Bancar, Jatiraga, Tuban, Rajegwesi, Blantunan, Blora, Pamotan, Babat, Kopas dan lain-
lain.

Di daerah-daerah pertempuran sebelah barat, benteng-benteng didirikan di Pakeongan,
Kemit, Panjer, Merden dan lain lain.

Sistem benteng ini memang dapat melumpuhkan pasukan Diponegoro, apalagi setelah
Sultan Sepuh yang telah berusia 70 tahun diangkat kembali menjadi Sultan Yogyakarta,
yang secara psikologi sangat mempengaruhi pasukan Diponegoro.

Oleh karena itu, berkat usaha Van Lawick von Pabst, Residen Yogyakarta, maka pada
tanggal 21 Juni 1827, Pangeran Natapraja dan Pangeran Serang Sutawijaya
beserta para pengikutnya lebih kurang 850 orang menyerah kepada Belanda dan
diperlakukan dengan baik.


Penyerahan Pangeran Natapraja dan Pangeran Serang adalah pukulan yang besar sekali
bagi perang Jawa. Sebab dengan menyerahnya kedua orang pemimpin ini, maka daerah
rawan dan daerah pertempuran di sebelah timur kehilangan pimpinan. Seperti telah
dimaklumi bahwa kedua orang inilah yang memimpin pasukan Diponegoro di medan
pertempuran sebelah timur, mengancam Semarang dan Demak.

Walau demikian, pukulan hebat ini tidak menyebabkan pasukan Diponegoro berputus
asa. Di kota Gede Yogyakarta telah terjadi pertempuran yang seru antara pasukan
Diponegoro di bawah pimpinan Mas Tumenggung Reksasentana melawan pasukan
kolonial Belanda. Pertempuran ini terjadi karena usaha Belanda untuk menggiring
pasukan Diponegoro untuk berada di daerah antara Sungai Progo dan Sungai
Begowonto.

Pertempuran terus berlangsung, tetapi usaha diplomasi juga dijalankan oleh Belanda,
apalagi setelah kedua Pangeran tersebut menyerah.Usaha diplomasi menunjukkan hasil
yang menggembirakan, dengan diselenggarakannya perundingan antara pasukan
Diponegoro di bawah pimpinan Kiai Mojo dan Pangeran Ngabehi Abdul Rahman
dengan pasukan Belanda di bawah pimpinan Stavers pada tanggal 29 Agustus 1827 di
Cirian-Klaten.

Perundingan ini tidak membuahkan suatu hasil apapun bagi kedua belah pihak.
Tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh Kiai Mojo dianggap terlalu berat oleh pihak
Belanda, sebaliknya syarat-syarat yang diajukan oleh Belanda, termasuk janji-janji
untuk memberikan kekuasaan yang luas kepada Diponegoro, tidak dapat diterima oleh
Kiai Mojo.

Perundingan yang gagal pada bulan Agustus 1827, mengakibatkan pada bulan
September 1827 berkobar lagi pertempuran antara pasukan Diponegoro dengan pasukan
kolonial Belanda di daerah-daerah Klaten, Puluwatu, Kemulaka dan Yogyakarta.
Operasi militer Belanda yang besar ini langsung dipimpin oleh Jenderal Van Geen.

Pada tanggal 10 Oktober 1827 diadakan kembali gencatan senjata untuk mengadakan
perundingan perdamaian antara kedua belah pihak, bertempat di Gamping. Pihak
Belanda di pimpin oleh Letnan Roeps, seorang opsir Belanda yang pandai berbahasa
Jawa, sedangkan di pihak Diponegoro dipimpin oleh Tumenggung Mangun Prawira.
Tetapi perundingan inipun gagal, sebab tuntutan mengenai pelaksanaan syari'at Islam,
seperti pernah diajukan pada perundingan pertama, sangat ditentang delegasi Belanda.

Kegagalan perundingan kedua ini, diikuti oleh operasi militer Belanda secara besarbesaran
di bawah pimpinan Kolonel Cochius dan Sollewijn menyerang daerah-daerah
sebelah selatan Yogyakarta, Plered, Tegalsari, Semen dan-lain. Pada tanggal 25 Oktober
1827 pasukan Belanda di bawah Mayor Sollewijn menyerbu markas perjuangan
Diponegoro di Banyumeneng, tetapi Diponegoro dengan pasukan-pasukannya berhasil
menghindar. Tetapi dalam perjalanan pulang pasukan Sollewijn berhasil dijebak dan
diserang oleh pasukan Diponegoro, sehingga memporak-porandakan pasukan Belanda;
dan hanya dengan susah payah pasukan Sollewijn dapat menyeberangi sungai Progo,
terus masuk ke kota Yogyakarta.

Pertempuran yang terjadi setelah kegagalan perundingan kedua ini, bukan hanya terjadi
di sekitar Yogyakarta saja, tetapi juga terjadi dan berkecamuk di daerah-daerah Kedu,
Banyumas, Bagelen, Bojonegoro, Rembang, Tuban. Hanya dengan susah payah,
pasukan Belanda bisa bertahan dan menyelamatkan diri.


Pertempuran yang timbul berkecamuk lagi ini, mendorong Jenderal De Kock untuk
mengerahkan bala bantuan, termasuk dari negeri Belanda sendiri. Dan memusatkan
markas besarnya di kota Magelang pada tanggal 13 Maret 1828; dengan menempatkan
markas besarnya di Magelang, maka pasukan Belanda dapat beroperasi lebih mobile,
karena tempat itu sangat strategis untuk menjangkau daerah-daerah Semarang di utara,
Surakarta di timur, Yogyakarta di selatan dan Banyumas di barat. Strategi ini cukup
berhasil, karena daerah Kedu hampir seluruhnya dapat diamankan oleh pasukan
Belanda.

Keunggulan Belanda di bidang militer, diikuti dengan kemenangan di bidang diplomasi,
dimana pada tanggal 28 April 1828, Pangeran Natadiningrat beserta isteri, ibu dan kirakira
20 orang pasukannya menyerah kepada Letnan Kolonel Sollewijn. Penyerahan
Natadiningrat ini sangat menggembirakan Belanda, karena sampai waktu itu; bolehlah
dikatakan tidak ada keluarga terdekat Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang
menyerah kepada Belanda. Pangeran Natadiningrat adalah putera kesayangan Pangeran
Mangkubumi yang diharapkan oleh Belanda dapat membujuk ayahnya sendiri untuk
menyerah kepada Belanda dan meninggalkan Diponegoro.

Selain itu, pasukan Diponegoro di daerah Rembang di bawah pimpinan Tumenggung
Sasradilaga, yang semula berhasil memukul mundur pasukan Belanda, lambat-laun
mulai terjepit dan akhirnya pada tanggal 3 oktober 1828 menyerah pula kepada
Belanda.

Kemudian operasi militer Belanda berhasil mempersempit daerah operasi pasukan
Diponegoro dengan jalan menggiringnya ke daerah antara sungai Progo dan sungai
Bogowonto. Usaha berhasil, setelah pertempuran sengit dengan pasukan Diponegoro di
daerah Belige di bawah pimpinan Pangeran Bei pada tanggal 31 Maret 1828. Dengan
daerah gerak yang makin sempit, sangat memungkinkan pasukan Belanda yang besar itu
dapat mengurung pasukan Diponegoro. Apalagi banyak pasukan bekas anak buah
Diponegoro yang menyerah kepada Belanda diikut-sertakan dalam operasi militer ini.

Dalam posisi terus terdesak dan terjepit, pasukan Diponegoro bukan hanya kekurangan
persenjataan, tetapi juga kekurangan suplai bahan makanan. Tambah ironis, dalam
situasi semacam itu di kalangan pimpinan pasukan Diponegoro terjadi perpecahan;
sehingga dengan tiba-tiba pada tanggal 25 Oktober 1828 Kiai Mojo dengan pasukannya
menyatakan keinginannya untuk berunding dan mengadakan gencatan senjata dengan
Belanda.

Pada tanggal 31 oktober 1828 perundingan berlangsung di Mlangi antara Kiai Mojo
dengan delegasi Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Wiranegara, komandan
pasukan kraton Yogyakarta. Perundingan dengan pengawalan yang ketat oleh pasukan
Betanda, berakhir gagal. Perundingan kedua dilanjutkan lagi pada tanggal 5 Nopember
1828, dengan pengawalan ketat oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan
Kolonel Le Bron de Vexela; juga berakhir dengan kegagalan.

Ketika perundingan gagal, Kiai Mojo beserta pasukannya kembali ke tempat semula,
tetapi senantiasa diikuti oleh pasukan Letnan Kolonel Le Bron de Vexela. Dengan tibatiba
pasukan Le Bron menyerang pasukan Kiai Mojo, tetapi gagal karena semua prajurit
Kiai Mojo telah siap mati syahid. Letnan Kolonel Le Pron tak kehabisan akal untuk
dapat menangkap Kiai Mojo. Tipu muslihat yang licik dan keji dipergunakan oleh Le
Bron dengan mengajak berpura-pura untuk melanjutkan perundingan di Klaten. Kiai


Mojo dengan pasukannya menyetujui tawaran ini. Kiai Mojo dengan pasukannya
memasuki kota Klaten dengan nyanyian-nyanyian agama seolah-olah sebuah pasukan
yang menang perang dari medan pertempuran.

Setelah sampai Klaten, Kiai Mojo diajak oleh Letnan Kolonel Le Bron de Vexela masuk
ke sebuah gedung, sedangkan pasukannya beristirahat di luar. Dengan serta-merta Kiai
Mojo ditangkap dan pasukannya yang sedang lengah disergap oleh pasukan Belanda
yang lebih besar dan kuat persenjataannya. Dalam kondisi tak berdaya, Kiai Mojo
beserta pasukannya tertangkap dan tertawan; tidak kurang dari 50 pucuk senapan dan
300 buah tombak yang dapat dilucuti dari pasukan Kiai Mojo. Bersamanya tertangkap
pula para ulama yang turut menjadi pimpinan pasukan di medan pertempuran, seperti
antara lain Kiai Tuku Mojo, Kiai Badren, Kiai Kasan Basari.

Kiai Mojo beserta stafnya dibawa ke Surakarta; dari sana terus ke Salatiga tempat
kediaman Jenderal De Kock. Dari Salatiga Kiai Mojo dengan teman-temannya dibawa
ke Semarang untuk kemudian dikirim ke Batavia. Tertangkapnya Kiai Mojo dan stafnya
dipergunakan sebaik-baiknya untuk bisa membujuk pasukan Diponegoro yang lainnya,
yang masih melakukan perang gerilya.

Pada awal Januari 1829, Komisaris Jenderal Du Bus telah mengirimkan Kapten Roeps
dan seorang staf Kiai Mojo untuk mengadakan perundingan dengan Diponegoro di
markas besarnya di Pengasih. Pada akhir Januari 1829 mereka dapat diterima di markas
perjuangan Diponegoro dan pembicaraan dimulai antara delegasi Belanda dengan
delegasi Diponegoro. Tetapi di saat pembicaraan sedang berlangsung, tiba-tiba terdengar
suara dentuman meriam dari pasukan Belanda yang dipimpin oleh Mayor Bauer.
Mendengar letusan meriam, serentak pasukan Diponegoro mau membunuh delegasi
Belanda yang sedang berada di tengah-tengah meja perundingan. Berkat kebijaksanaan
Alibasah (Sentot) delegasi Belanda itu dapat selamat dan memerintahkan agar pasukan
Belanda mengundurkan diri, jika jiwa para delegasi Belanda ingin selamat.

Pada bulan Februari 1829 Belanda mengadakan gencatan senjata secara sepihak. Sebab
Jenderal De Kock mencoba membujuk Alibasah, panglima muda remaja yang sangat
ditakuti oleh Belanda. Jenderal De Kock mengirimkan surat kepada Alibasah, yang
isinya antara lain menjamin kebebasan bepergian bagi Alibasah dengan pasukannya di
daerah kekuasaan Belanda tanpa ada gangguan. Bahkan De Kock mengirimkan
beberapa pucuk pistol kepada Alibasah sebagai tanda kenang-kenangan dan keinginan
mau berdamai.

Taktik licik Belanda ini mempengaruhi pimpinan pasukan Diponegoro, apalagi setelah
beberapa tokoh pasukan Diponegoro seperti Tumenggung Padmanegara, Pangeran
Pakuningrat diberikan kebebasan bepergian di daerah kekuasaan Belanda pada bulan
Ramadhan.

Dalam kesempatan gencatan senjata ini Jenderal De Kock menggunakan waktu untuk
terus mengirim surat kepada beberapa tokoh pasukan Diponegoro seperti Alibasah dan
Pangeran Pakuningrat, yang isinya tidak lain menyanjung-nyanjung tokoh-tokoh
tersebut dan keinginan Belanda untuk bekerjasama dengan mereka.

Setelah gencatan senjata berjalan tiga bulan tanpa mendapat hasil yang memuaskan bagi
Belanda, maka pertempuran dan operasi militer dilanjutkan. Terjadilah pertempuran
sengit di antara kedua belah pihak, sampai Komisaris Jenderal Du Bus diganti oleh
Johannes Van Den Bosch sebagai penguasa tertinggi Hindia Belanda di Indonesia, dan


Jenderal Mercus De Kock diganti oleh Jenderal Mayor Benyamin Bischop sebagai
pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda, pada bulan Mei 1829. Tetapi karena Jenderal
Benyamin Bischop sakit-sakitan pada tanggal 7 Juli 1829 meninggal dunia, maka
praktis pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda masih tetap berada di tangan Jenderal
De Kock.

Pada akhir bulan Mei 1829 pasukan kolonial Belanda mencari dengan seksama tempat
pangeran Mangkubumi yang menjadi kepala urusan rumah tangga pasukan Diponegoro.
Maksudnya tidak lain agar dapat menangkap para anggota keluarga tokoh-tokoh
pasukan Diponegoro, untuk dapat memancing tokoh-tokoh itu supaya bisa menyerah.
Pada tanggal 21 Mei 1829 tempat persembunyian Pangeran Mangkubumi dengan para
keluarga tokoh-tokoh pasukan Diponegoro di desa Kulur diserbu oleh pasukan Belanda
di bawah pimpinan Mayor Bauer dan Kapten Ten Have. Hasilnya nihil, karena
rombongan Pangeran Mangkubumi telah pergi bersembunyi ke tempat lain. Usaha
pengejaran akan dilakukan, tetapi dengan tiba-tiba pasukan Di ponegoro di bawah
pimpinan Alibasah menyerang pasukan Belanda tersebut, sehingga terpaksa
menghadapinya dan dengan demikian rombongan Pangeran Mangkubumi lepas dari
kejaran Belanda.

Operasi militer untuk menangkap Pangeran Mangkubumi tidak berhasil; diikuti dengan
diplomasi untuk mengajak berunding. Belanda menggunakan putera Pangeran
Mangkubumi yang telah menyerah yaitu Pangeran Natadiningrat untuk bisa membujuk
Pangeran Mangkubumi agar menghentikan pertempuran dengan Belanda, dengan alasan
usia telah lanjut dan Belanda berjanji untuk memberikan jabatan yang terhormat dengan
tempat dan gaji yang besar. Usaha ini tampak akan berhasil, sebagaimana dilaporkan
oleh Residen Van Nes pada tanggal 28 Juni 1829; tetapi hasilnya ternyata gagal.

Kegagalan ini mendorong untuk melakukan operasi militer besar-besaran ke pusat
pertahanan pasukan Diponegoro di desa Geger. Pada tanggal 17 Juli 1829 pasukan
kolonial Belanda di bawah pimpinan Kolonel Cochius; Letnan Kolonel Sollewijn dan
Mayor Cox van Spengler dibantu dengan pasukan Mangkunegara menyerang desa
Geger. Dengan kekuatan yang tidak seimbang, markas Geger dapat direbut oleh
pasukan Belanda dan beberapa pimpinan pasukan Diponegoro gugur sebagai syuhada,
antara lain Sheikh Haji Ahmad dan Tunenggung Banuja.

Operasi militer terus ditingkatkan oleh Belanda terhadap "kantong kantong"
persembunyian pasukan Diponegoro, sehingga pada akhir Juli 1829 putera Diponegoro
yakni Diponegoro Anom dan Raden Hasan Mahmud tertangkap oleh pasukan Letnan
Kolonel Sollewijn. Tertangkapnya putera Diponegoro ini dipergunakan untuk
melemahkan semangat perjuangan Diponegoro dengan cara mengancam akan
membunuh Diponegoro Anom oleh Belanda. Jiwa puteranya akan selamat jika
Diponegoro menghentikan pertempuran. Hal ini terlihat dari surat Jenderal De Kock
tertanggal 6 Agustus 1829. Tetapi usaha ini tidak berhasil melemahkan semangat
tempur Diponegoro.

Dalam usaha konsolidasi, karena Alibasah dan Pangeran Bei sakit keras, maka
Diponegoro telah mengangkat pimpinan pasukan infantri kepada Syeikh Muhammad
dan Baisah Usman, sedangkan pasukan kavaleri dipimpin oleh Pangeran Sumanegara.
Selesai konsolidasi, pasukan Diponegoro melakukan serangan terhadap pasukan
Belanda di bawah pimpinan Mayor Bauer dan Kapten Ten Have di Serma pada tanggal
3 Agustus 1829. Dalam pertempuran sengit ini, banyak korban yang jatuh di kedua
belah pihak, antara lain Syekh Muhammad dan Hasan Usman.


Untuk meningkatkan efektifitas operasi militer, Jenderal De Kock telah memindahkan
markas besarnya dari Magelang ke Sentolo. Dengan demikian pasukan Belanda akan
lebih dekat dengan pusat-pusat pertempuran yang dilakukan oleh pasukan Diponegoro.

Bersamaan dengan operasi militer Belanda yang ditingkatkan, Panglima Alibasah dan
Pangeran Bei telah sembuh, sehingga dapat aktif kembali memimpin pasukan
Diponegoro yang telah kehilangan dua orang panglimanya yaitu Syeikh Muhammad
dan Basah Usman. Pertempuran sengit tidak dapat dihindarkan lagi, di saat pasukan
Diponegoro melintasi sungai Brogo menuju Pajang diserang oleh pasukan Belanda.
Kedua belah pihak yang bertempur mati-matian, mengakibatkan banyak jatuh korban,
diantaranya seorang perwira Belanda mati terbunuh yaitu Letnan Arnold.

Seiring dengan operasi militer yang ditingkatkan, usaha diplomasi licik juga dilakukan.
Pada tanggal 7 Agustus 1829 Letnan Kolonel Sollewijn datang ke Kreteg untuk
membujuk keluarga Pangeran Mangkubumi untuk menyerah dengan janji jaminan dari
Belanda. Akhirnya Raden Ayu Anom (isteri kedua Pangeran Mangkubumi) beserta
anak-anaknya dan pengawalnya sebanyak 50 orang menyerah kepada Belanda.

Dengan posisi pasukan Diponegoro yang makin terjepit karena daerah operasinya makin
diperkecil oleh Belanda, kelelahan dan kekurangan bahan makanan dengan perang yang
telah berjalan lima tahun, akhirnya satu demi satu pasukan Diponegoro menyerah
kepada Belanda. Pada tanggal 5 September 1829 Tumenggung Wanareja dan
Tumenggung Wanadirja bersama dengan 44 orang pasukannya menyerah. Pada tanggal
6 September 1829, atas bujukan Tumenggung Surianegara yang sengaja ditugaskan oleh
Jenderal De Kock, menyerah pulalah Tumenggung Suradeksana dan Sumanegara
kepada Belanda di Kalibawang. Pada tanggal 9 September 1829, Pangeran Pakuningrat
bersama dengan pasukannya sebanyak 40 orang menyerah lagi kepada Belanda.

Pada tanggal 21 September 1829 atas nama pemerintah Hindia Belanda, Jenderal De
Kock mengeluarkan pengumuman tentang 'hadiah besar' bagi setiap orang yang dapat
menangkap hidup atau mati Diponegoro. Pengumuman itu antara lain berisi:
"Barangsiapa yang berani menyerahkan Diponegoro hidup atau mati kepada penguasa
Hindia Belanda, akan dinilai oleh Gubernur Jenderal Htndia Belanda sebagai seorang
yang sangat besar jasanya. Kepada orang itu akan diberikan hadiah berupa uang kontan
sebesar £ 50.000,- (lima puluh ribu pounds) dan diberikan gelar kehormatan dengan gaji
dan tanah yang cukup luas".

Pengumuman yang menyayat hati ini belum lagi kering, pada akhir September 1829
telah gugur Pangeran Bei bersama dua orang puteranya yaitu Pangeran Jayakusuma dan
Raden Mas Atmakusuma.

Bulan September 1829 benar-benar bulan yang menyedihkan bagi Diponegoro, sebagai
pemimpin tertinggi Perang Jawa. Pada tanggal 25 September 1829 Mayor Bauer
bersama Raden Mas Atmadiwirja (putera Pangeran Mangkubumi), Tumenggung
Reksapraja beserta rombongan mencari Pangeran Mangkubumi, tetapi hasilnya nihil.
Tetapi Belanda tidak berputus asa. Jenderal De Kock mengutus Pangeran Natadiningrat,
putera Pangeran Mangkubumi yang telah menyerah, untuk membujuk ayahnya. Maka
pada tanggal 27 September 1829 Pangeran Natadiningrat berhasil membujuk ayahnya
untuk menyerah kepada Belanda. Keesokan harinya, tanggal 28 September 1829
Pangeran Mangkubumi dibawa oleh puteranya ke Yogyakarta. Di pertengahan jalan (di


Mangir) rombongan Pangeran Mangkubumi telah dijemput oleh Residen Van Nes dan
pejabat-pejabat kesultanan Yogyakarta.

Pengaruh dari menyerahnya Pangerang Mangkubumi sangat besar bagi pasukan
Diponegoro, karena secara berturut-turut telah menyerah pula pangeran Adinegara,
Kanjeng Pangeran Aria Suryabrangta, Pangeran Suryadipura, Pangeran Suryakusuma,
Kanjeng Pangeran Dipasana, semuanya adalah mempunyai hubungan famiIi dengan
Diponegoro sendiri. Menyerahnya secara berturut-turut orang-orang di sekitar
Diponegoro, benar-benar dapat melumpuhkan pasukan Diponegoro.

Apalagi usaha untuk menarik Alibasah, panglima pasukan Diponegoro yang disegani
masih terus dilanjutkan. Melalui Pangeran Prawiradiningrat, yang menjadi bupati
Madiun dan saudara Alibasah sendiri, Belanda telah berusaha untuk menaklukkannya.
Sejak tanggal 23 Juli 1829 usaha ini telah dilakukan walaupun pada permulaannya
gagal, karena syarat-syarat yang diajukan oleh Alibasah cukup berat; yaitu:

(a) Memberikan uang jaminan sebesar £ I0.000.(
b) Menyetujui pembentukan sebuah pasukan di bawah Pimpinan Alibasah sendiri yang
berkekuatan seribu orang dan dilengkapi dengan persenjataan dan pakaian seragam;
(c) Memberikan 400 - 500 pucuk senjata api;
(d) Pasukan Alibasah ini langsung dibawah komando pemerintah Hindia Belanda, dan
bebas dari kekuasaan sultan atau pembesar bangsa Indonesia;
(e) Mereka bebas menjalankan agamanya,
(f) Tidak ada paksaan minum Jenever atau arak;
(g) Diizinkan pasukannya memakai surban.
Tawar-menawar syarat-syarat ini dilakukan pada tanggal 17 Oktober 1829 di Imogiri,
antara delegasi Alibasah dengan delegasi Belanda, yang hasilnya masih memerlukan
waktu untuk diputuskan oleh penguasa tertinggi Hindia Belanda di Batavia.

Dalam surat yang ditulis Jenderal De Kock kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda
di Batavia, tertanggal 20 Oktober 1829, antara lain berisi: "...saya telah menulis surat
kepada Residen dan Kolonel Cochius bahwa mereka harus sedapat mungkin berusaha
menyenangkan hati Alibasah, karena adalah hal yang penting sekali apabila orang
seperti Alibasah dapat kita tarik ke pihak kita dan turut membela kepentingan kita .....
seperti yang hendak saya nyatakan dengan hormat, bahwa karena sebab-sebab itulah
saya berpendapat bahwa adalah sangat penting apabila Alibasah sudah berada di pihak
kita, makin lama makin mengikat dia pada kepentingan kita. Sungguhpun hal ini harus
disertai beberapa pengorbanan dari pada kita."

Surat Jenderal De Kock ini mendapat jawaban dari pemerintah Hindia Belanda di
Batavia tertanggal 25 Oktbber 1829, antara lain berbunyi: "Pemerintah pada dasarnya
setuju dengan keinginan Jenderal (Jenderal De Kock) bahwa dari pihak kita harus dipergunakan
segala apa yang mungkin dapat dipakai, selama hal itu dapat sesuai dengan
kebesaran pemerintah dan berusaha sedapat mungkin mencegah kembalinya Alibasah
ke pihak pemberontak.

Melihat isi surat-surat pemerintah Bindia Belanda ini dapat disimpulkan bahwa Belanda
bersedia memenuhi syarat-syarat yang diajukan oleh Alibasah. Oleh karena itu kepada
Residen Yogyakarta diperintahkan untuk segera menyerahkan uang sebanyak £ 5.000,dan
200 pucuk senjata untuk dipergunakan pasukan Alibasah serta pasukannya itu


langsung dibawah komando Jenderal De Kock, walau secara yuridis masih berada
dibawah wewenang sultan. Syarat-syarat lainnya seluruhnya dipenuhi.

Untuk pelaksanaan penyerahan Alibasah dengan pasukannya, pada tanggal 23 Oktober
1829 Jenderal De Kock datang ke kota Yogyakarta untuk menyambutnya; dan pada
tanggal 24 Oktober 1829 Alibasah dengan pasukannya memasuki kota Yogyakarta dan
diterima oleh Jenderal De Kock dengan upacara militer yang meriah.

Dengan menyerahnya Pangeran Mangkubumi, Alibasah dan puluhan Pangeran dan
Tumenggung serta tertangkapnya Kiai Mojo dan gugurnya ratusan tokoh-tokoh Perang
Jawa, maka secara praktis Diponegoro tinggal sendirian. Pengalaman pahit dan getir
yang dialami oleh Diponegoro sebagai pimpinan tertinggi perang Jawa, karena
banyaknya sababat-sahabat meninggalkannya atau meninggal dunia. Dalam kondisi
yang demikian, ia harus menentukan pilihan: meneruskan pertempuran sampai mati
syahid di medan laga atau menyerah kepada musuh sampai mati di dalam penjara.
Kedua alternatif itu sama-sama tidak menyenangkan!

Setelah menyerahnya Alibasah dengan pasukannya, operasi militer Belanda terus
ditingkatkan guna memberikan pukulan terakhir terhadap pasukan Diponegoro yang
tinggal sedikit lagi itu. Tekanan-tekanan pasukan Belanda kepada posisi pasukan
Diponegoro yang terus-menerus ditingkatkan, banyak pula tokoh-tokoh Perang Jawa
yang menyerah, antara lain pada bulan Desember 1829; salah seorang komandan
pasukan Diponegoro yang masih ada yaitu Jayasendirga; Tumenggung Jayaprawira dan
beberapa tumenggung lainnya beserta pasukannya bertekuk lutut kepada Belanda.
Adapula yang karena kondisi kesehatan, akhirnya wafat di puncak gunung Sirnabaya
Banyumas seperti Pangeran Abdul Rahim (saudara Diponegoro sendiri).

Memasuki tahun 1830, musibah yang menimpa pasukan Diponegoro masih terus saja
bertambah. Pada tanggal 8 Januari 1830, putera Diponegoro yaitu Pangeran
Dipakusuma tertangkap oleh pasukan Belanda; pada tanggal 18 Januari 1830 berikutnya
Patih Diponegoro menyerah kepada Belanda.

Usaha untak menghentikan Perang Jawa dengan damai yang licik terus dilakukan.
Dengan menggunakan bekas tokoh-tokoh Perang Jawa seperti Alibasah dan Patih
Danureja dalam usaha perdamaian licik membawa hasil yang menggembirakan bagi
Belanda. Sebab pada tanggal 16 Februari 1830 telah terjadi pertemuan pertama antara
Diponegoro dengan Kolonel Cleerens, wakil pemerintah Hindia Belanda dalam rangka
perdamaian di Kamal, sebelah utara Rama Jatinegara daerah Bagelen.

Pertemuan perdamaian tidak dapat dilangsungkan, karena Diponegoro menuntut
perundingan itu harus dilakukan oleh seorang yang mempunyai posisi yang sama
dengan dia; setidak-tidaknya seperti Jenderal De Kock. Padahal Jenderal De Kock pada
saat itu sedang berada di Batavia.

Untuk menunggu kedatangan Jenderal De Kock, maka Diponegoro dengan pasukannya
terpaksa harus menginap di Kecawang sebelah utara desa Saka. Selama tenggang waktu
perundingan, gencatan senjata dilakukan oleh kedua belah pihak. Desa Kecawang masih
terlalu jauh, apabila perundingan akan dilangsungkan di sana. Oleh karena itu; untuk
memudahkan jalan perundingan Diponegoro dengan pasukannya harus pindah ke
Menoreh yang tidak begitu jauh dari Magelang, markas besar pasukan Belanda.


Pada tanggal 21 Februari 1830 rombongan Diponegoro telah tiba di Menoreh. Tetapi
sampai 5 Maret 1830 Jenderal De Kock belum juga datang ke Magelang padahal bulan
Ramadhan telah tiba. Berkenaan dengan bulan suci ini; Diponegoro tidak mau
mengadakan perundingan dengan Belanda karena ia akan memusatkan dirinya untuk
melakukan ibadah puasa selama sebulan. Kontak pertama antara Diponegoro dengan
Jenderal De Kock terjadi pada tanggai 8 Maret 1830, sebagai perkenalan dan
selanjutnya jadwal perundingan akan dilangsungkan sesudah bulan Ramadhan.

Menjelang hari raya Idul Fithri, Diponegoro telah menerima hadiah dalam bentuk
seekor kuda tunggang yang sangat baik dan uang sebesar f 10.000.- Kemudian diikuti
dengan pembebasan putera dan isteri Diponegoro yang ditahan di Semarang dan
membolehkan mereka berkumpul dengan Diponegoro di tempat penginapan
perundingan di Magelang.

Pada tanggal 25 Maret 1830, Jenderal De Kock telah memberikan perintah rahasia
kepada Letnan Kolonel Du Perron dan pasukannya untuk memperketat pengawalan dan
penjagaan kota Magelang dengan mengerahkan pasukan Belanda dari beberapa daerah
di Jawa Tengah. Instruksinya, apabila perundingan gagal, Diponegoro dan delegasinya
harus ditangkap!

Pada tanggal 28 Maret 1830 perundingan akan dilangsungkan di gedung Keresidenan
Kedu di Magelang. Sebelum jam 07.00 pagi Tumenggung Mangunkusuma datang
kepada Residen Kedu untuk memberitahukan bahwa sebentar lagi Diponegoro dengan
staf nya akan tiba. Pemberitahuan ini menyebabkan Letnan Kolonel Du Perron
menyiap-siagakan pasukannya, sesuai dengan perintah Jenderal De Kock. Jam 07.30
pagi Diponegoro dengan stafnya dikawal oleh seratus orang pasukannya memasuki
gedung keresidenan. Delegasi Diponegoro diterima langsung oleh Jenderal De Kock
dengan staf nya. Perundingan dilakukan di tempat kerja Jenderal De Kock. Pihak
Diponegoro disertai dengan tiga orang puteranya yaitu Diponegoro Anom, Raden Mas
Jonad, Raden Mas Raab, ditambah dengan Basah Martanegara dan Kiai Badaruddin.
Sedangkan di pihak Jenderal De Kock disertai oleh Residen Valk, Letnan Kolonel
Roest, Mayor Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps sebagai juru bicara.

Letnan Kolonel De Kock van Leeuwen, Mayor Perie dan opsir-opsir Belanda lainnya
ditugaskan untuk melayani dan mengawasi pemimpin-pemimpin pasukan Diponegoro
yang berada di kamar yang lain. Sedangkan Letnan Kolonel Du Peron tetap berada di
luar gedung keresidenan untuk setiap saat dapat melakukan penyergapan, sebagaimana
telah diperintahkan oleh Jenderal De Kock.

Kolonel Cleerens yang mula-mula sekali berhasil melakukan kontak dengan
Diponegoro dan berhasil merencanakan pertemuan perdamaian serta telah memberikan
jaminan diplomasi penuh kepada Diponegoro dan stafnya tidak diikutsertakan bahkan
tidak berada di kota Magelang tempat perundingan dilaksanakan. Dengan demikian jika
terjadi pengkhianatan maka secara moral Cleerens tidak terlibat langsung, karena
memang tidak hadir.

Babak pertama Jadwal perundingan, menurut Diponegoro sebagai pendahuluan untuk
menjajagi materi perundingan pada babak selanjutnya; tetapi menurut Jenderal De Kock
harus langsung memasuki materi Perundingan. Pembicaraan materi perundingan
menjadi tegang, karena De Kock bersikeras untuk langsung membicarakan materi
perundingan. Suasana tegang dan panas itu, sampai-sampai Diponegoro terlontar
ucapan: "Jika tuan menghendaki persahabatan, maka seharusnya tidak perlu adanya


ketegangan di dalam perundingan ini. Segalanya tentu dapat diselesaikan dengan baik.
Jikalau kami tahu bahwa, tuan begitu jahat, maka pasti lebih baik kami tinggal terus saja
berperang di daerah Bagelen dan apa perlunya kami datang kemari."

Ketika pihak Jenderal De Kock terus mendesak tentang tujuan penerangan yang telah
dilakukan oleh Diponegoro selama lebih lima tahun ini, maka akhirnya ia memberi
jawaban dengan tegas dan gamblang, yaitu antara lain: "Mendirikan negara merdeka di
bawah pimpinan seorang pemimpin dan mengatur agama Islam di pulau Jawa".
Mendengar jawaban ini Jenderal De Kock terperanjat, karena ia tidak mengira bahwa
Diponegoro akan mengajukan tuntutan semacam itu. Sewaktu De Kock memberi
jawaban bahwa tuntutan semacam itu adalah terlalu berat dan tak mungkin dapat
dipenuhi, Diponegoro tetap teguh pada tuntutannya.

Tanda-tanda perundingan babak pertama akan menemui jalan buntu, dan Belanda
khawatir jika perundingan ditunda sampai besok, berarti kesempatan buat Diponegoro
dan pasukannya untuk mengadakan konsolidasi guna menghadapi segala kemungkinan.
Sesuai dengan rencana Belanda bahwa perundingan adalah semata-mata methoda untuk
menangkap Diponegoro dan stafnya, maka dengan angkuhnya Jenderal De Kock
berkata: "Kalau begitu, tuan tidak boleh lagi kembali dengan bebas."

Mendengar ucapan ini, Diponegoro dengan marah menjawab : "Jika demikian, maka
tuan penipu dan pengkhianat, karena kepada saya telah dijanjikan kebebasan dan boleh
kembali ke tempat perjuangan saya semula, apabila perundingan ini gagal."

Jenderal De Kock berkata lagi: "Jika tuan kembali, maka peperangan akan berkobar
lagi." Diponegoro menjawab: "Apabila tuan perwira dan jantan, mengapa tuan takut
berperang?"

Tiba-tiba Jenderal De Kock menginstruksikan kepada Letnan Kolonel Du Perron dan
pasukannya untuk menyergap Diponegoro dan stafnya serta seluruh pengawalnya
dilucuti. Dalam posisi tidak siap tempur, Diponegoro dan pasukannya dengan mudah
ditangkap dan dilucuti.

Dengan cepat Diponegoro dimasukkan ke dalam kendaraan residen yang telah disiapkan
oleh Belanda dengan pengawalan ketat oleh Mayor Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps
berangkat menuju Ungaran. Dari sana kemudian Diponegoro dibawa ke Semarang
untuk selanjutnya dibawa ke Batavia. Pada tanggal 3 Mei 1830 Diponegoro beserta
stafnya dibawa ke tempat pembuangannya di Menado. Tidak kurang dari 19 orang yang
terdiri dari keluarga dan stafnya ikut dalam pembuangan di Menado. Pada tahun 1834
Diponegoro beserta keluarga dan stafnya dipindahkan ke kota Makasar. Dan pada
tanggal 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dalam usia kira-kira 70 tahun, setelah
menjalani masa tawanan selama dua puluh lima tahun.

Perang Jawa yang dahsyat dan penuh patriotisme telah digerakkan dan dipimpin oleh
tokoh-tokoh pejuang Islam, yang hampir sebagian terbesar berideologi Islam dan
bertujuan berdirinya negara merdeka yang berdasarkan Islam. Fakta-fakta sejarah yang
terungkap, baik latar belakang yang mewarnai para tokoh Perang Jawa, masa
peperangan yang memakan waktu lima tahun lebih, yang diisi dengan menegakkan
syari'at Islam di dalam kehidupan pasukan Diponegoro sampai pada saat perundingan
dengan Belanda serta tujuan yang akan dicapai, semuanya adalah bukti yang kuat
bahwa Diponegoro dan pasukannya telah melakukan perjuangan politik Islam untuk
mendirikan negara Islam di tanah Jawa.


Kegagalan yang diderita oleh Diponegoro dan pasukannya, bukan karena tujuan dan
methodanya yang salah, tetapi karena kekuatan yang tak seimbang, baik manpower,
persenjataan, perlengkapan dan pengkianatan bangsa sendiri yang sebagian besar
membantu Belanda-Kristen yang kafir; disamping tipu muslihat yang licik dan keji yang
dilakukan oleh penguasa kolonial Belanda-Kristen.

Tipu muslihat yang licik dan keji, yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang
bermoral rendah dan jahat, ternyata telah menjadi watak kepribadian penguasa kolonial
Barat-Kristen di Indonesia, baik Portugis-Kristen Katholik maupun Belanda-Kristen
Protestan.





Baca Juga Yang Ini
Islam Vs Kristen




[URL=https://cldmine.com/account/registration/13614][IMG]https://cldmine.com/assets/banners/en/728-90/1.gif[/IMG][/URL]